Janji Rania

1054 Kata
Hati Rania maju mundur, saat melihat punggung Bayu Kamajaya di kamar rawat Dirga. Keberadaan pria itu memang selalu membuat Rania merasa sungkan, merasa seperti tidak diharapkan. Tetapi Dirga sudah menunggunya. Rania melangkah masuk dan langsung mendapat tatapan ayah dan anak tersebut. Dirga tersenyum melihatnya. Sebaliknya, Pak Bayu langsung berdiri. "Ya sudah, Papa pulang dulu. Mama jalan mungkin sebentar lagi sampai." Pak Bayu berjalan melewati Rania setelah menanggapi sapaan gadis itu dengan anggukan tidak berarti dan melaluinya. Rania menghela napas antara lega dan kecewa. "Cafenya ramai?" tanya Dirga saat Rania mendekat kepadanya. "Iya," Rania mengangguk sambil tersenyum. Tapi kepalanya tidak beranjak dari Bayu Kamajaya. "Dirga, sebentar ya, nanti aku kembali..." pamitnya. Ia  menyusuri selasar mencari sosok bertubuh besar yang belum lama meninggalkan kamar putranya itu. Rania bisa melihat sosok tambun pria itu dan ia segera mengejarnya. Bayu berhenti melangkah saat mendengar namanya dipanggil, lalu menoleh. Alisnya agak berkerut melihat Rania mendekat, sebelum wajahnya jadi tampak khawatir, "Ada apa? Terjadi sesuatu kepada Dirga?" tanyanya cemas. "Bukan. Ada yang ingin saya bicarakan, sebentar." Rania memberanikan diri. Bayu menatap jam tangannya sejenak agar terlihat buru-buru. "Memangnya ada apa?" "Soal Dirga, Bapak pasti sudah tahu, bahwa Dirga seperti ini karena saya." "Saya tahu dia bermaksud menyelamatkan kamu. Dulu juga begitu, saat bersama Padma," tukas Bayu tampak jelas menyembunyikan emosinya. "Ya. Ini semua salah saya. Karena itu, saya... ingin meminta maaf. Saya akan berusaha menebus kesalahan saya, bagaimana pun caranya." Rasa bersalah itu terus menghantuinya siang dan malam. Tidak hanya kepada Dirga, tetapi juga keluarganya. Dan ia merasa, sikap Bayu yang semakin dingin, juga karena hal itu. "Jika saya meminta kamu putus dari Dirga, bersedia?" Bayu bertanya. Bukan canda. Mata Rania membundar, airmata tampak berkilau di balik kelopaknya. "Putus?" "Ya, hubungan kalian belum lama kan?" Bayu menghela napasnya, ia mengusap bibir dan dagunya sejenak, mengatur kalimat dan bicara dengan nada lebih lemah dari sebelumnya. "Begini, Rania... bukan saya tidak menyukaimu. Tapi, Dirga itu penerus keluarga kami. Perusahaanku. Entah ini saat yang tepat atau tidak untuk mengatakannya, tapi kamu yang mengatakan akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahanmu, bukan?" Berpisah dengan Dirga. Ternyata memang itu yang Tuan Kamajaya inginkan...? Rania belum sanggup menjawab saat Bayu kembali bicara. "Jujur saya akui, saya punya harapan sendiri untuk putra saya. Dirga dan Raka berbeda. Sejak kecil, Raka bertubuh lemah, sering sakit. Saat dia mengatakan dia melamar Padma, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kami memang sudah mengenal Padma sangat lama sebelum dia masuk ke keluarga kami," Seperti biasa Bayu Kamajaya berkata tanpa basa basi. "Sementara Dirga lebih sering melakukan sesuatu yang dia kehendaki. Tetapi setelah Raka sakit parah dia mulai menunjukkan sikap yang lebih perhatian terhadap perusahaan. Karena itu, saya berharap Dirga bisa menikahi gadis yang lebih sepadan dengannya." Tuhan, rasanya sakit sekali. Dia sering memikirkan mengenai caranya mengakhiri hubungan dengan Dirga. Tapi tidak begini. Bukan sesakit ini. "Saya pernah berjanji kepada seorang sahabat untuk mengikatkan diri sebagai keluarga dengan menikahkan anak kami. Saya belum sempat mengungkapkannya kepada Dirga, saat dia datang membawamu. Sangat mengejutkan, karena dia sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang kamu sebelumnya." Rania menelan ludahnya, getir. "Tapi sekarang, Dirga kehilangan sebagian ingatannya, termasuk mengenaimu. Pasti lebih mudah menyudahinya saat Dirga tidak banyak mengingat kenangan tentang kalian. Kalau kamu memang berniat menebus kesalahanmu, aku dan keluargaku akan sangat berterima kasih jika kamu mau melepaskan Dirga." Rania menghirup udara dalam-dalam, namun rasa sesaknya tidak mau hilang. Ia kembali berusaha tersenyum walau tampaknya gagal. Tapi sebetulnya, semua sederhana saja. Ia sudah bersalah menyebabkan Dirga tergolek di ranjang ICU. Ia yang sudah menyeretnya ke dalam masalah. Ia sudah tahu dari awal hati Dirga tidak seutuhnya untuknya. Dia bisa melihat bagaimana Dirga berreaksi saat ada Padma. Rania hanya pelarian. Dari dulu begitu. Dia sudah tahu hubungannya dan Dirga itu semu. Bayu benar, jauh lebih mudah menghapus sesuatu yang mulai terlupakan. "Baiklah," Rania mengangguk. "Saya akan berada di samping Dirga selama dia membutuhkan. Ini salah satu bentuk tanggung jawab saya. Nanti, jika Dirga sudah pulih, sudah tidak tergantung lagi. Saya pasti pergi." *** Dirga mengamati Rania, bisa melihat sepertinya gadis itu menangis lagi. Kenapa Rania selalu menangis? Apa ada masalah yang gadis itu tutupi darinya? "Ran, bisa mendekat padaku?" Permintaan yang membingungkan. Di samping tempat tidurnya sudah cukup dekat, 'kan? Tetapi gadis itu tetap menggeser duduknya lebih dekat. "Bukan, dekatkan wajahmu kepadaku," kata Dirga. Walaupun bingung, Rania melakukannya juga, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Dirga, "Lebih dekat lagi." Jantung Rania mulai di luar kendali. Ia mengurangi lagi jaraknya wajahnya dan Dirga. "Lebih dekat lagi," Lelaki itu memalingkan wajahnya ke area antara leher dan pundak Rania. Dia memejamkan matanya. Benar, aroma ini. Walaupun dia tidak merasa terlalu mengenai Rania, dia sangat menyukai aroma Rania yang familiar baginya. Terasa begitu menenangkan dan menyenangkan. Dirga mengamati kulit Rania yang seputih s**u dan aromanya yang mencandu. "Aku sangat menyukai aroma kulitmu," bisik Dirga di telinga Rania. Suara halus itu berefek dahsyat pada diri Rania. Listrik menjalari tubuhnya. Rania langsung menjatuhkan piring berisi gelato dalam genggamannya ke atas selimut Dirga. "A-aduh! M-maaf, maaf ya... Maaf..." Rania meraih tisu dan membersihkan noda gelato "Tidak.. tidak apa-apa, sudah, tenang saja, tidak apa-apa," sergah Dirga. Bagaimana mungkin Rania bisa tenang setelah yang lelaki itu lakukan kepadanya? "Ran, kamu punya kekasih?" tanya Dirga yang sedari tadi masih tidak lekang mengamati Rania. "Kekasih sungguhan?" Tangan Rania berhenti bergerak. Ia menelan ludahnya, lantas menoleh kepada Dirga. Gadis itu menggeleng. *** "Sasti tidak pernah muncul lagi?" tanya Rania saat ia datang ke country club Tirtayasa.   “Ya, setelah Lovely, kuda milik Sasti yang mengamuk itu berhasil ditenangkan dan diperiksa keadaannya, kami mendapati perutnya terkena luka tusuk. Saat itu Lovely baru saja berlatih dan keadaannya baik-baik, tidak ada luka. Kami kira, Sasti yang melakukannya, entah kenapa dia begitu tega menusuk kudanya sendiri dan… hingga menyebabkan tragedi tersebut. Dan sejak itu, Sasti tidak dapat kami hubungi.” “A-apakah… pihak keluarga Dirga, mengetahui mengenai hal ini?” tanya Rania. Pak Kusuma tampak resah, tatapannya gamang. Ia menatap Rania lama, lantas mencondongkan tubuh berrahasia. “Rania, karena kamu teman dekat Dirga, mungkin saya bisa mengatakan hal ini. Tetapi… saya harap kamu jangan mengatakannya kepada siapa-siapa lagi. Pak Bayu menghubungi kami dan bertanya mengenai apa yang terjadi. Kami menjelaskan semuanya. Dan… saya pikir, apa mungkin pihak Pak Bayu berusaha membuat perhitungan dengan Sasti karena sudah menyebabkan Dirga celaka?” bisiknya misterius. Rania tercenung mendengarnya. Ia tidak tahu pasti apa yang harus dipikirkannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN