Kebohongan

1057 Kata
Hasil rontgen yang sudah menunjukkan hasil memuaskan, melegakan semua orang. Pembengkakan di tangannya sudah membaik. Dirga hanya harus rajin fisioterapi. Rania lega sekaligus cemas. Fisioterapi bukan hal yang mudah. Ia ingat bagaimana dirga berusaha keras menahan nyeri setiap kali sesi fisioterapi. Tiga kali seminggu Rania menemani Dirga menjalani sesi fisioterapinya. Setelahnya, Dirga biasanya mengajak Rania makan dulu di luar. Dirga bisa merasakan ketidaknyamanan Rania saat berada di kediaman Kamajaya. Tapi sepertinya, bukan hanya itu, belakangan, Rania juga tampak tidak nyaman berada di dekatnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Ran?" Dirga memusatkan perhatiannya kepada gadis di hadapannya yang tidak banyak menyentuh makanannya. “Kamu lelah menemaniku?" "Tidak! Bukan itu..." sanggahnya cepat. "Jangan sungkan. Seingatku kamu selalu mengatakan apa pun yang ada di benakmu. Tidak apa-apa, kalau kamu mulai kerepotan menemaniku, aku bisa pergi sendiri." "Bukan," tampik Rania lembut. "Tapi memang ada sesuatu yang seharusnya kamu tahu." "Mengenai apa?" "Kecelakaan yang menimpamu, sebetulnya ini benar-benar salahku." Kalimat Rania tersekat. Matanya langsung berkaca-kaca karena rasa bersalah yang menghujamnya lagi. Terbata-bata Rania menjelaskan semuanya. Dirga sudah mengingat masalah Adit dan Sasti saat ingatannya soal reuni Rania kembali. Namun ia baru menyadari kejinya Sasti hingga Rania menceritakan apa yang telah terjadi dan apa yang Aditya katakan baru-baru ini. "Sasti bermaksud melukaiku, tapi dia berakhir menyakitimu. Sungguh, maafkan aku," Rania terisak-isak. "Tidak seharusnya kamu melalui semua kesakitan ini kalau bukan karena aku. Seandainya saja waktu bisa diputar lagi, aku lebih memilih tidak melibatkanmu." "Jika waktu bisa diulang kembali, aku lebih memilih celaka seribu kali ketimbang aku tidak mengenalmu." Aliran darah Rania menderas tiba-tiba saat jantungnya memompa cepat. "Aku sudah ingat, saat Sasti mengajakku bertemu dan kamu marah kepadaku, lalu kejadian di dalam lift." Lelaki itu tersenyum hangat. "You are my lovely dream, Ran..." Semuanya sudah semakin jelas bagi Dirga. Arti kehadiran gadis itu dalam mimpinya, kenapa ingatannya selalu terpusat kepada Rania, kenapa perasaannya menjadi lengkap saat gadis itu ada bersamanya. Rania seakan mendengar keajaiban saat Dirga mengatakannya. Ternyata Dirga juga menyimpan perasaan yang sama. Ternyata hilangnya ingatan lelaki itu tidak memupus rasa yang sempat mereka pupuk. Rania menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merona dan senyum bahagia tidak terperi yang terbit di wajahnya. Rania menghapus air mata dengan punggung tangannya. Namun seiring rasa bahagia yang mengisi hatinya, logikanya mengingatkan pada fakta yang hampir saja dilupakannya. Perlahan Rania memisahkan diri dari Dirga. "Apa kamu berrencana mengusut kasusnya dan menuntut Sasti?" Dirga membantu menghapus airmata Rania yang tersisa. "Cinta yang tidak dimaknai dengan benar, seringkali malah membutakan mata hati. Kita tidak pernah tahu apa yang mampu dilakukan seseorang yang sedang jatuh cinta. Mungkin, pelakunya juga tidak benar-benar menyadari ia sudah menempuh jalan yang salah. Seperti aku sebelumnya," senyum tipis nan getir membayang di wajah Dirga. "Jika saja ia berhasil mencelakaimu, aku akan mengejarnya hingga kemana pun. Tapi aku sudah bersyukur kamu baik-baik saja.. Aku akan menganggap hal yang menimpaku sebagai hukuman atas kesalahanku. Saat ini fokusku adalah segera pulih seperti sedia kala dan mengerjakan hal-hal yang tertunda. Aku tidak ingin membuat masalah ini lebih rumit. Tapi, jika Sasti masih berusaha mengganggumu lagi, aku tidak akan pernah melepaskannya." "Kamu sangat baik hati, Dirga. Terima kasih." "Tidak perlu berterima kasih. Kurasa kamu pun akan melakukan hal yang sama." Ya. Dirga benar, satu sudut di hatinya tidak sanggup membayangkan akan memenjarakan Sasti dengan tangannya. Ragu-ragu Rania menatap Dirga. Lelaki itu sudah tampak lebih segar dan kondisinya semakin baik. Dirga sudah tidak menggunakan kruk. Dan saat ini, hubungannya dan Dirga telah hampir mencapai titik terakhir yang sempat mereka tinggalkan. Di sinilah batasnya. Mereka tidak boleh melangkah lebih jauh lagi. "Jadi hubunganmu dan Aditya sudah membaik?" Saat melontarkan pertanyaan itu, sebersit rasa cemburu muncul di hati Dirga. Rania menegakkan diri dan merapikan rambutnya agak gugup. Menelan ludahnya tegang. "Mengenai aku dan Adit... Kami belakangan mulai sering bertemu lagi." ia berusaha terdengar senatural mungkin walaupun sekali dua kali kalimatnya tersekat di tenggorokan. "Lalu?" Mendadak nada suara Dirga mendingin di luar kehendaknya. "Ya, aku merasa cukup lega karena ternyata Adit tidak sejahat yang pernah aku tuduhkan. Dia sudah menjelaskan semuanya. Aku senang bisa memperbaiki hubungan kami." Dan seberapa baik memperbaiki itu? "Kalian... Kembali dekat?" korek Dirga. "Begitulah," Rania memasang senyum tipis diiringi anggukan riang yang meyakinkan betapa senang dia dengan perkembangan hubungannya dan Aditya. Dirga termenung, terdiam dalam. Perasaannya mulai gundah. Ia mengamati Rania penuh tanya, apakah ia sudah salah memaknai hubungan dan perasaan di antara mereka? "Dirga, pernahkah kamu berpikir jika seandainya Padma tidak memilih Kak Raka, dan lebih memilihmu? Maksudku, Mengesampingkan semua hal yang menghalangi perasaan kalian, jika ada jalan dimana kalian bisa bersama tanpa menyakiti pihak mana pun, kamu pasti pernah mengharapkannya, bukan?" "Itu bukan hal yang harus dipikirkan lagi sekarang." "Aku sering memikirkan, bagaimana jika saat itu pernikahanku tidak batal, kira-kira... Seperti apa kehidupanku dan Adit sekarang?" Dirga menegakkan tubuhnya, waspada. Diamatinya Rania semakin lekat. Gadis ini hendak menyampaikan sesuatu. Dirga bisa merasakannya. Jadi inilah yang telah memuat Rania berjarak darinya belakangan ini. "Aditya memintamu kembali kepadanya?" ia bertanya hampir tanpa intonasi. Rania menguatkan diri menatap Dirga. "Ya." Seketika Dirga merasakan kapasitas paru-parunya menciut. Ia bahkan hampir goyah mempertahankan ketenangan pada dirinya. "Lalu?" "Aku belum memutuskan. Aku ingin tahu pendapatmu. Maksudku, keputusan ini akan mempengaruhi hubungan kita. Kamu ingat, bukan? Jika salah satu dari kita jatuh cinta atau ingin bersama orang lain, kerjasama kita berakhir. Hubungan palsu ini disudahi." Rasa gusar memenuhi d**a Dirga. Rahangnya mengetat. Apakah Rania tengah mempermainkannya? Tarikan sinis mencuat tipis di bibirnya. "Kenapa kamu bertanya kepadaku? Yang dia minta kembali kan, kamu. Bukan aku." Jika Rania merasakan hal yang sama dengannya, gadis itu tidak harus melontarkan pertanyaan ini. Dirga mendadak ingin tertawa. Menertawakan diri. Jadi, dia selama ini sedang bereuforia dalam ilusinya sendiri. Tragis. Tidak harus ia mengucap kalimat tadi jika ternyata berakhir seperti ini. "Jadi, tidak masalah? Benar tidak apa-apa?" "Kalau kamu begitu ingin kembali kepadanya, kenapa harus memikirkan ini dan itu? Kembali saja. Apa yang menjadi masalahku, biar nanti menjadi urusanku." Belum pernah Rania mendengar kalimat Dirga setajam itu sebelumnya. "Baguslah, aku lega mendengarnya." sahut Rania. Lantas diam. Mendadak ruang dan waktu membeku bagi mereka. Hingga Rania kembali ke rumahnya, sikap mereka tetap sama. Rania sempat melongok lewat jendela mobil. "Jaga dirimu baik-baik," pesannya. Dirga menelan ludahnya, menjawab lunak dengan intonasi hampir datar. "Kamu juga." Saat lelaki itu berlalu, Rania menunduk, menahan tangis yang mendesak. Sepertinya ia sudah sukses merusak semuanya. Bagaimana Dirga mendadak begitu kecewa tadi. Jangankan Dirga, Rania pun kecewa kepada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN