Dirga terpekur diam sambil mengusap-ngusap Tirta yang melingkar manja di sampingnya. Beberapa hari ini tidak ada kabar dari Rania. Dirga yang mendadak merasa dicampakkan dan tidak diinginkan, juga tidak menghubunginya. Lelaki itu pernah merasa mencintai seseorang, berkeyakinan penuh orang itu juga mencintainya dan tidak akan pernah berpaling darinya.
Tapi nyatanya, gadis itu mencampakkannya dengan mudah demi orang lain. Itu Padma.
Dan sepertinya, sejarah berulang. Ia sempat berpikir ia dan Rania memiliki sesuatu yang spesial di antara mereka, yang hanya hati mereka mengerti. Ikatan istimewa yang terjalin antara jiwanya dan Rania.
Apa kali ini dia juga salah?
Mereka sebetulnya, hanya sedang saling memanfaatkan.
Lari dari masa lalu masing-masing, terikat pada masa kini, tapi tanpa masa depan.
Smartphonenya berbunyi. Tirta mengangkat kepalanya, lalu kucing itu tidur lagi. Dirga membaca pesan dari Rania. "Kamu mau aku datang?"
Dirga menimbang sejenak. Gadis itu akan datang jika dia memang peduli.
"Terserah kamu saja. Kondisiku sudah lebih baik."
Tidak ada balasan lagi dari Rania.
Pertanyaan gadis itu terngiang.
Bagaimana jika mereka punya kesempatan mendapatkan cinta lama mereka?
Dirga tidak pernah memikirkan hal itu. Ia telah memutuskan melupakan apapun yang ada pada dirinya dan Padma. Melupakan dengan mutlak!
Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu lagi.
Akan tetapi…. sekarang pertanyaan Rania mulai mengusiknya. Jika dia punya pilihan... Jika dia bisa mendapatkan cinta yang ia inginkan...
Apakah ia akan memilih Rania, atau… Padma?
Dirga berdiri meninggalkan Tirta setelah meletakkan kucingnya dengan lembut di sofa. Ia mencari barang-barang yang dibawanya saat kecelakaan di laci meja tulisnya. Barang-barang itu masih tersimpan rapi. Satu persatu Dirga keluarkan. Lalu, pandangan Dirga jatuh pada tempat cincin beledu biru. Ia meraih dan membukanya. Cincin itu masih ada di sana. Tersimpan baik tanpa terusik. Dirga tercenung memandanginya lalu mengeluarkannya.
Jika... Cincin ini bisa melingkar di jari Padma...
Seorang gadis terdengar terkesiap, Dirga sontak menoleh. Ia mendapati Padma di ambang pintu.
"Padma... Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ada berkas Mas Raka yang tertinggal. Aku hendak mengambilnya dan..." Padma menjeda, lantas bicara lebih jujur, "aku juga ingin melihat keadaanmu."
Keduanya bertatapan tanpa kata.
Sudah lama. Rasanya sudah sangat lama mereka hanya berdua saja seperti sekarang ini. Entah kenapa, Dirga pun merasa kenangannya dan gadis teman kuliahnya itu kian memudar.
Ah… mungkin ini karena cedera yang mendera kepalanya.
Dirga tak sadar gadis itu melangkah kian mendekat. Ia menyempatkan diri menutup pintu kamar Dirga. Lelaki itu tersadar, sontak seluruh ototnya waspada, mengamati gerakan pintu itu dengan waswas. Entah kenapa Dirga hanya diam terpaku. Otot kaki yang sebenermya sudah cukup fleksibel mendadak kembali kaku. Membeku.
Jakun yang menonjol bergerak naik turun, berusaha menelan kecanggungannya.
"Dirga..." gadis berrupa melankolis itu mendekat, menatap sendu penuh rindu. "Sudah lama kita tidak punya kesempatan untuk bicara.”
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," tukas Dirga berusaha tegas.
"Ada! Kenapa kamu berbohong? Aku tahu kamu dan Rania hanya pura-puta pacaran!” Padma menuding pasti.
Dirga terkesiap tak mampu membantah.
"Aku mendengar saat kalian berdua bicara. Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu berbohong, Dirga?” desakan tunangan Raka terdengar menghiba.
Segera Dirga mengumpulkan logika untuk memperkuat keputusannya. "Itu semua tidak penting lagi!"
"Penting!" Padma balas berseru. “Kamu mencintaiku, Dirga! Mencintaiku!!" telunjuknya yang gemetar menunjuk dadanya sendiri.. "Dan aku... Mencintaimu..." Airmata gadis itu meluncur pelan dan mulai berderaian.
Rahang Dirga mengetat. "Hentikan, Padma! Jangan bicara lagi!"
"Kenapa? Kamu takut ada yang mendengar? Atau karena kamu sebenarnya tidak bisa lari dari perasaanmu yang sesungguhnya? Sama seperti aku, kamu juga ingin kita bersama. Iya ‘kan?" Padma menyentuh lengan Dirga dan meremasnya cukup kuat.
Dirga diserang kalut. Ia mencari kata untuk diucapkan, namun tidak kunjung menemukan. Ia tidak sanggup melihat Padma yang tampak begitu terluka. Air mata yang meluruh itu menyayat hatinya. Sejak dulu Padma perasa. Dan Dirga selalu berusaha melindunginya. Tapi sekarang dia malah menjadi pihak yang melukai hatinya.
"Dirga, setelah aku tahu apa yang terjadi, aku yakin sekali kamu melakukannya karena kamu tidak bisa melupakan aku, ‘kan? Kalau kamu tidak berusaha lari dari perasaanmu kepadaku, kamu pasti tidak akan melakukan hal itu bersama Rania.” Jarang terjadi, tetapi Padma yang sekarang, memang lebih keras kepala dari yang Dirga kenal sebelumnya.
Banyak hal berpurar di kepala Dirga. Termasuk pembicaraannya dan kekasih bohongannya sebelumnya. Dengan kondisinya saat ini, lelaki itu benar-benar tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.
“Kumohon, jangan bohongi hatimu lagi, karena aku juga sudah lelah berbohong. Aku sudah memutuskan ingin mengakhiri semuanya. Aku tidak bisa mencintai Mas Raka seperti aku mencintaimu.” Padma melemahkan sentuhannya di lengan Dirga dan menatap penuh hiba.
“Tolong, jangan hukum aku lebih lama lagi. Aku akui telah membuat kesalahan. Aku tersanjung, awalnya kukira Mas Raka hanya berbaik hati. Tetapi seiring waktu, dalam hatiku, aku sebenarnya tahu Mas Raka menaruh hati. Dan aku… Aku membiarkan harapannya berkembang. Aku tidak mengira hubungan kami berlanjut serius saat dia melamarku. Aku tidak punya alasan menolaknya. Kebaikan hatinya, rasa bersalahku telah membiarkannya berharap, serta keadaan kita yang tidak pasti, membuatku menerimanya." Padma terisak. "Tapi aku tidak bisa bersamanya karena rasa bersalah. Aku tidak akan bisa membuatnya bahagia... Saat aku tahu kamu melamar Padma saat Bu Puspa ulang tahun… Aku… aku rasanya tak sanggup bernapas lagi… aku…" Padma menangis pedih, tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya.
Dirga mengamati Padma yang meratap di hadapannya. Sejujurnya, ia menyadari hal itu. Sejak Padma bersama Raka, entah ia pernah melihat Padma benar-benar bahagia atau tidak.
Gadis itu yang tidak banyak bicara yang tidak perlu, menjadi lebih pendiam. Apalagi saat Raka jatuh sakit dan suasana hatinya sering buruk, kakaknya itu tidak jarang bersikap menyakitkan kepada Padma. Dirga yang selalu menjadi pengobat hatinya, menjadi tempat gadis itu mengadu dan bermanja.
Sebenarnya, apakah pengunduran dirinya berbuah kebahagiaan bagi Raka dan Padma? Dirga baru menyadari bahwa sama sekali tidak ada jaminan untuk itu.
Mungkin Raka dan Padma malah akan jadi korban dari sandiwara cinta mereka sendiri.
Lalu bagaimana dengan perasaannya? Bagaimana sebenarnya perasaannya kepada Padma saat ini?
Perlahan lelaki itu mengangkat telapaknya, menyentuh pipi Padma yang basah. Hatinya tergores sembilu melihat gadis yang pernah menguasai hatinya itu kini menangis terluka.
Padma meraih menatap cincin di tangan Dirga. "Ini kamu siapkan untukku, bukan?" lirihnya. "Aku bermimpi kalau kamu benar-benar menyematkannya di jariku. Bahagianya..."
Sudah terlambat... batin Dirga. Ia tidak bisa menganulir keputusannya.
Benar. Ia memang pernah memimpikan hal itu. Dahulu. Melihat cincin cantik yang dia beli dikenakan oleh si empunya. Gadis lembut sensitif yang menyentuh hatinya dan menyanderanya bertahun-tahun.
Dan itulah yang terjadi. Padma tiba-tiba meraih dan memasang cincin itu di tangannya.
Dirga terkesiap, emosi berkecamuk di dadanya. Emosi yang tidak dia mengerti.
Mungkin... Sesal? Rasa sesal saat sesuatu yang berharga lepas dari genggaman karena ia tidak mencengkeramnya cukup kuat.
Padma tergugu di hadapannya. Ia lalu memeluk Dirga, menangis di dadanya.
"Jangan lari lagi," pinta Padma. "Kembalilah kepadaku, Dirga." Ia mendongak, melingkarkan tangan di leher Dirga, mendekatkan bibirnya. "Pulanglah... kepadaku," pintanya.
Jarak wajah keduanya semakin dekat. Dirga melingkarkan tangannya di pinggang Padma, merundukkan wajahnya, menyambut tawaran Padma.
Seluruh sel di tubuh Rania membeku seketika. Belati kekecewaan menghujam jantungnya saat melihat adegan dari sudut sempit pintu kamar Dirga. Pemandangan minimal yang bisa dipahami secara maksimal oleh logikanya.
Napasnya terpatah-patah, jauh lebih menyakitkan dari segala rasa sakit yang Rania tahu. Air mata merambat cepat ke pelupuknya.
Gadis yang patah arang itu berbalik, menghapus tergesa-gesa airmatanya. Ia bergegas menuruni tangga.
"Bi, jangan bilang Dirga saya datang ya," pesannya pada pelayan yang bepapasan dengannya, lalu bergerak cepat meninggalkan rumah itu. Ia berlari cepat menyusuri halaman rumah Kamajaya yang luas, kepalanya kosong tak berpikir memesan taksi.
Sepanjang jalan kompleks ia menangis tergugu, tidak menghiraukan tatapan heran para penghuni kawasan elit yang melihatnya dari balik kaca mobil mereka.
Napas Rania tersengal sengal. Kecepatan aliran air matanya bersaing dengan kecepatan langkah kakinya yang ia harap bisa membawanya pergi dari kenyataan yang baru dilihatnya.
Pandangan berkabutnya membuat Rania tidak awas, dan terjerembab karena sebuah akar pohon besar. Rania bahkan tidak berusaha bangkit. Ia hanya meneruskan tangisnya yang menyayat hati.
Ia tahu kisahnya dan Dirga pendek saja. Tahu dimana semuanya akan selesai.
Tetapi yang ia tidak tahu, bahwa ternyata rasanya akan sesakit ini.
***
Rania masih tidak bisa meredakan tangisnya saat taksi yang dia tumpangi berhenti di depan rumah. Dia pasti sudah berhasil membuat bingung si sopir taksi. Saat masih terisak-isak memasuki pagar rumahnya, ia mendapati Aditya sedang menunggunya.
"Rania, kamu kenapa? Aku dari tadi berusaha menghubungimu tetapi tidak bisa." Rania tidak sempat menghiraukan ponselnya. "Kenapa kamu menangis? Ada apa? Apakah Sasti melakukan sesuatu kepadamu? Katakan, jangan diam saja," pinta Adit, panik, begitu penuh perhatian. Rania membutuhkan pethatian itu sekarang.
Ia memeluk Adit dan tergugu lagi di dalam pelukan hangatnya. Lama kemudian, Rania berusaha menenangkan dirinya. Dia sudah bersikap berlebihan di hadapan Aditya.
"Terima kasih," ucapnya tersendat, saat menerima segelas teh chamomile dari Aditya. Mantan kekasihnya itu tahu benar apa yang Rania butuhkan saat gundah seperti sekarang.
Aditya duduk di sampingnya, membelai rambut ikal Rania perlahan saat gadis itu menyesap tehnya. Walaupun merasa rikuh, belaian itu terasa menyenangkan. Kombinasi keduanya bisa menenangkan. Hangat.
"Kalau bukan masalah Sasti apakah ada yang lain? Masalah toko? Ibu? Bapak? Katakan, Ran..." bujuk Aditya. Dia tidak pernah melihat Rania menangis sehisteris tadi.
Seandainya dia tahu apa yang terjadi pada Rania saat dia meninggalkannya dulu.
"Dirga?"
Sontak napas Rania tertahan. Dia menelan ludahnya sakit, tenggorokannya tercekik.
Rania menggeleng. "Aku ada masalah tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Maaf, aku…”
"Tidak apa-apa," Adit menggenggam tangan Rania lembut. "Kamu tidak perlu cerita kalau belum siap. Tapi kalau kamu membutuhkanku, aku akan ada untukmu."
Rania menatap nanar. Perasaan menemukan kembali sesuatu yang hilang tanpa dicari, itu seperti menerima hadiah yang benar-benar kita inginkan. Sangat menyenangkan. Iya, kan?
Perasaan Rania tidak sesesak sebelumnya.
"Kenapa kamu ke sini, Dit?" Rania baru menyadari pertanyaan yang seharusnya ia lontarkan sejak tadi.
"Oh, ya. Ini, aku menemukan dvd milikmu. Kungfu Panda."
Wajah Rania naik setingkat keriangannya melihat kartun favoritnya yang selalu bisa membuatnya tertawa. "Aku masih punya unduhannya di laptop. Tapi terima kasih."
Padahal Aditya hanya mencari-cari kesempatan menemui Rania, dia menyeringai saja.
"Sepertinya kamu sedang membutuhkannya sekarang. Mau nonton? Tapi aku tidak bisa menemani, ada latihan, tapi aku bisa menyalakannya untukmu," tawar si pelontos baik hati.
"Baiklah." Rania tersenyum. “Pasti menyenangkan.”
Itu sebelum dia ingat bahwa Kungfu Panda juga salah satu film kesukaan Dirga. Rania berusaha menarik napas dalam, menghilangkan rasa sesaknya.
Dirga... Mengingat nama itu menyakitinya.
Sangat.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Rania membeku melihat nama A. DIRGA di sana, tangannya gemetar dikendalikan pilu dan amarah.
[Ran, bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.]
Rahang Rania menegang. Mau apa? Mau menjelaskan dia memilih kembali kepada Padma? Atau moralnya terusik lagi dan meminta Rania sekali lagi bersekutu dengan rencana baru? Mungkin kali ini dia mengajak kawin kontrak atau apa.
[Aku tidak bisa. Aku sedang bersama Aditya sekarang]
"Ran, akhir pekan ini ada acara? Aku mau mengajakmu main ice skating," kata Aditya setelah menyalakan dvd dan meraih ponselnya. "Kamu mau pergi?"
Rania melirik ponsel miliknya. Dirga tidak menjawab pesannya lagi. "Tentu."
Adit sangat bahagia mendengarnya.
***