"Aku tidak bisa..." bisik Dirga di bibir Padma. "Kita sudah menyakiti banyak orang. Kak Raka tidak layak diperlakukan seperti ini. Dia sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Dia layak bahagia, dan kita tidak pantas menyakitinya. Aku tidak bisa memintamu kembali karena kamu memang tidak pernah jadi milikku. Sekarang... Kembalilah kepada Kak Raka." Dirga mengusap lembut pipi Padma. "Hanya dia yang bisa membahagiakanmu, percayalah kepadaku. Orang itu bukan lagi aku.” Dirga melepaskan pelukan mereka.
Lamunan Padma atas kejadian di kamar Dirga diinterupsi Raka.
"Mapnya jatuh," Raka menyerahkannya kepada Padma yang menerimanya tanpa suara. "Kamu memikirkan sesuatu? Sepanjang hari ini kamu sangat pendiam dan sering melamun."
"Maaf, Mas..." lirih Padma.
Raka mengamati Padma yang pendiam dan penurut. Gadis itu selalu berusaha memuaskan orang-orang di sekelilingnya. Melakukan apa yang orang lain minta, mengatakan apa yang orang lain ingin dengar. Mirip dengannya, dalam versi sebaliknya.
Raka melakukan itu semua sebagai kekuatan berdiplomasi, cara mendapatkan keinginannya. Sementara Padma, karena lemah dengan pendiriannya. Tidak pernah melawan, protes, atau mengemukakan apa yang benar-benar dia pikirkan.
Saat di Singapura, Padma semakin pendiam saja. Apalagi, saat Raka sedang sakit-sakitnya dan masa pemulihan yang menyiksa, gadis itu beberapa kali menjadi pelampiasan kekesalannya. Padma tidak pernah sekalipun berbalik marah. Dia terus meminta maaf atas kesalahan kecil yang tidak seberapa atau malah bukan benar-benar kesalahannya.
Raka pernah mendapati Padma tertidur sambil menggenggam sebuah gantungan kunci bunga edelweys. Raka tahu itu adalah bunga edelweys yang Dirga berikan sendiri untuknya.
Dan, Raka juga sempat mencuri lihat ponselnya. Walaupun sepertinya gadis itu sudah menghapus hal-hal yang mencurigakan, sekali waktu Padma lupa menghapus pesan yang dia kirim. [Aku sangat merindukanmu... Aku kehilangan arah tanpamu...]
Dan itu dikirimkan untuk Dirga. Tidak pernah sekali pun Raka mendapatkan pesan seperti itu darinya. Padma hanya selalu berkata, "Aku juga," atau, "terserah Mas saja," atau "Aku senang asal Mas juga senang"
Kalimat yang terasa menyenangkan di awal, namun menjemukan di akhir.
Karena Raka menyadari yang ia jalani hanya sebuah cinta sendiri. Soal lokasi kencan, lamaran, tunangan, pernikahan, apa pun yang berkaitan dengan hubungan mereka, tidak lebih dari Raka yang menyeret dan Padma yang terseret. Bukan berjalan bersama, seirama.
Tidak pernah berselisih bukan berarti hubungan mereka sempurna. Sebaliknya, kisah kasih mereka hanya bingkai cantik untuk kanvas kosong. Hampa.
"Padma, nanti kita langsung pulang, ya, kamu sepertinya kurang sehat, makan malamnya lain waktu saja, bagaimana?"
Padma tersenyum tipis sehangat mungkin. "Iya mas, terserah Mas saja."
***
Dirga menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan hampa. Tidak ada Rania yang dapat dia genggam tangannya ternyata bisa membuatnya merasa begitu kosong. Tidak lengkap.
Ternyata dia membutuhkan Rania lebih dari yang dia kira. Dirga sudah menyadari hal itu sejak lama. Tetapi, Rania malah mulai bersikap tidak acuh. Gadis itu bahkan tidak sungkan mengungkap apa yang terjadi antara dirinya dan Aditya, mantan calon suaminya itu.
Apakah ingatannya salah? Ia ingat Rania selalu hangat dan merona malu-malu di hadapannya. Cara gadis itu merajuk atau mengaku cemburu kepada Padma. Tidak mungkin hal itu tidak berarti apa-apa. Dirga yakin mereka memiliki perasaan yang sama—mungkin hanya pernah, dan sekarang tidak lagi?
Bisa jadi saat Aditya kembali, Rania menyadari bahwa pebasket itulah cinta sejatinya. Sementara dengan Dirga, gadis itu hanya terbawa peran. Atau malah sebaliknya. Bisa jadi saat ini Rania merasa yang dia cintai adalah Aditya, tapi sebetulnya pria itu hanya bagian dari masa lalunya. Yang Rania cintai adalah dirinya. Abimanyu Dirga Kamajaya.
Dirga tidak bisa membiarkan apa yang terjadi kepada Padma juga terjadi kepada Rania.
Dirga memutuskan menghubungi Rania. Cukup lama sebelum gadis itu mengangkatnya. “Ran, aku ingin bertemu denganmu. Aku bisa ke tempatmu sekarang?”
“Aku sibuk, toko ramai sekali.” Lalu jeda. “Sebetulnya, aku juga ingin membicarakan sesuatu denganmu. Lusa? Bisa datang ke rumahku?” Dirga setuju.
***
Rania mengamati cincin di tangannya. Ia sudah melepas cincin pemberian Dirga. Saatnya mengembalikan apa yang tidak pernah menjadi miliknya.
Dirga datang setelah jam makan siang. Walaupun hati Rania masih sakit akan pemandangan terakhir yang dilihatnya, ia tetap saja harus mengakui bahwa dia merindukan lelaki itu. Rania menghela napas dalam sebelum membuka pintu.
“Halo, Ran,” lelaki itu tersenyum tipis. Aroma khasnya menguar dari balik kulit berlapis kaos longgar berkerah V dan celana PDL warna khaki. Tampan seperti biasa.
“Masuklah,” Rania berusaha tidak lama-lama menatapnya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” Dari kasat mata Dirga sudah tidak terlihat ada masalah.
“Aku baik,” jawab Dirga, tidak melepaskan tatapannya dari Rania walau sejenak.
Mereka sempat berbasa-basi saat Rania menyiapkan minum untuknya.
“Kamu mau pergi?” Dirga melihat Rania tampak rapi dengan celana panjang pink muda, kaos panjang motif garis horizontal bergradasi kuning. Rambutnya diikat tinggi dan Dirga bisa melihat riasan tipis di wajah cantiknya.
Tatapan Dirga jatuh ke lehernya. Dia sangat menyukai pemandangan dan aroma kulit Rania di sana. Mengingatnya saja sudah membuat Dirga diam-diam menelan ludah.
“Iya, aku mau main skating.” Rania menyajikan teh di meja lalu duduk di sofa yang agak jauh dari tempat duduk Dirga.
Siapa pun akan menyadari gadis itu menjaga jarak darinya.
“Bagaimana hubunganmu dan Aditya?” tanya Dirga.
“Lebih baik,” jawab Rania, tanpa menatap Dirga.
“Ada yang mau kukatakan. Mungkin, seharusnya aku mengatakan hal ini lebih cepat.”
“Dirga,” Rania menyela. Dia berusaha tidak menebak apa yang hendak Dirga katakan.
Aku memilih kembali kepada Padma, kita sudahi saja sandiwaranya atau Aku sadar tidak bisa menghindari Padma jika dia mendekat. Apa kamu mau menikah kontrak denganku?
Dia tidak mau dengar. “Bisa aku bicara lebih dulu?”
Dirga menatap Rania beberapa jeda. “Tentu. Mengenai apa?”
Rania tampak menghela napas dalam, sebelum mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
“Aku ingin mengembalikan ini.” Dia mengangsurkan kotak kecil yang Dirga kenal.
Sejenak napas Dirga tertahan. Ia menelan ludah berusaha tenang. “Kenapa?”
“Aku tidak bisa menyimpannya lagi. Aku ingin menyudahi semuanya.”
Dahi Dirga berkerut dalam. “Semuanya?” Bukan begini rencananya saat menginjakkan kaki di rumah ini. Susah payah Dirga berusaha bangun dan beringsut mendekat kepada Rania. Ia agak membanting tubuh saat mendudukkan diri di samping Rania.
Dirga menyentuh bahu gadis itu. “Aku sudah ingat semuanya. Apakah kamu tidak bisa memberikan kesempatan kepadaku?”
“Kesempatan? Kesempatan apa?” Rania memasang air muka naif yang gagal.
“Untuk kamu dan aku. Bisakah kamu memberi kesempatan kepada… kita?”
Jantung Rania serasa berhenti. Kesempatan untuk kamu dan aku. Kita.
Rasa tidak terperi membuncah di dadanya. Ia pasti sudah melonjak bahagia dan memeluk erat lelaki itu jika saja keadaannya bukan seperti ini. Jika dia tidak tahu kebenarannya. Nyatanya, Pak Bayu tidak menghendakinya, dan Dirga… di balik hati yang diperlihatkannya, Rania tahu pasti masih ada Padma di sana. Begitu lekat.
Napasnya menyesak jika ingat bagaimana Dirga berselingkuh—jika bisa disebut begitu—dengan Padma. Di kamarnya, berpelukan dan berciuman. Rasa sakit itu berubah marah jika Rania mengingatnya. Gadis itu memejamkan matanya yang terasa panas.
“Aku tidak bisa,” Rania menegaskan. “Aku memutuskan menyudahi semuanya. Aku sudah lelah.” Ia meraih tempat cincin itu dan mengepalkan kepada Dirga. “Aku sudah tidak ingin berpura-pura lagi. Aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku.”
“Aditya?” tanya Dirga dingin.
“Ya,” bohong Rania.
Keduanya lantas terdiam, menghayati rasa sakit yang mengendap semakin dalam dan tebal di hati masing-masing. Mereka tidak lagi mengerti siapa yang menyakiti atau disakiti.
Mereka hanya mengerti ini akhir segala hal yang pernah mereka jalani. Apapun itu.
Dirga tidak bisa memaksakan kehendak jika Rania tegas mengharapkan orang lain. Sejenak dia membayangkan tidak ada lagi Rania dalam hari-harinya, hatinya remuk redam
“Aku mengharapkan yang terbaik, untukmu dan Padma.”
“Padma tidak ada kaitannya dengan ini semua!” tandas Dirga gusar, merasa tidak harus lagi mengait-ngaitkan gadis itu di antara mereka. “Ini hanya mengenai kamu dan aku. Kita.”
“Tidak pernah ada kita, Dirga!” wajah Rania memerah. “Yang ada hanya kamu dan masa lalumu, aku dengan masa laluku.”
“Mungkin hanya kamu dan masa lalumu,” sinis Dirga. “Aku tidak pernah berpaling lagi pada masa laluku.”
“Bohong,” Rania tidak kalah sinis.
“Bohong?” alis tebal pria itu berkerut. “Siapa yang bohong?”
Rania membuang mukanya lagi. Dia terlalu sakit untuk membahasnya.
“Terserah kamu saja,” Tidak biasanya Rania mudah sekali menyerah. “Hal itu sudah di luar kepedulianku. Kamu mau kembali pada masa lalumu atau tidak, aku sudah tak mau tahu,” tukasnya, membuat Dirga merasa terbuang. “Kamu mau tetap jadi selingkuhan pun, terserah saja.” Ia tertawa hambar yang dipaksakan. “Ternyata jika hati sedang bahagia, hal seburuk apa pun bukan masalah besar. Itu hidupmu. Aahh… Kenapa aku selama ini mencampuri urusanmu? Padahal tidak ada kaitannya denganku. Sama sekali tidak ada pengaruhnya pada hidupku.” Rania menyeringai lebar walaupun matanya terasa amat panas.
Dirga mendengus pahit. “Kamu benar,” suara rendahnya menggeram. “Memang tidak ada kaitannya denganmu… kamu benar,” ia mengangguk-angguk gamang, menggenggam cincinnya. “Baiklah, aku juga tidak mau lebih lama lagi mengganggu hidupmu dan menahanmu mendapatkan kebahagiaan. Maaf, aku sudah melantur, bicara yang tidak-tidak.”
“Mengenai kiosmu, aku sedang mencari lokasi baru. Nanti kalau sudah deal, aku akan segera pindah dari sana.”
“Ya, kamu atur sajalah,” tukas Dirga gusar.
Dirga berusaha bangkit. Ia tampak masih kesulitan, menahan ringisan.
“Pelan-pelan! Masih sakit, ya?” sigap Rania menangkap, melingkarkan lengannya di tubuh gagah lelaki itu. “Pelan-pelan saja,” lirihnya cemas.
Dirga memandangi Rania yang penuh rasa peduli, bagaimana caranya agar dia layak mendapatkan perhatian seperti ini setiap saat? Dipeluknya seperti ini.
Saat lelaki itu sudah tegak berdiri, Rania merasakan lengan kukuh Dirga masih melingkar di pundaknya. Malahan, terasa semakin ketat.
“Dirga…” protesnya lirih, mendorong pinggangnya lemah. Sesuatu membuat kekuatannya menghilang. Permintaan tanpa keinginan kuat itu sama sekali tidak dihiraukan.
Lelaki itu memeluk Rania kian erat, dan menjaraki wajahnya semakin dekat. Sebelum Rania berhasil mengumpulkan seluruh tekad dan kekuatannya untuk menolak Dirga, bibir menggoda lelaki itu sudah menyambar bibirnya.
Rania terbeliak. Napasnya sesak. Tapi dia tidak bisa memberontak.
Terlalu menyenangkan, akalnya melesat ke awang-awang. Dirga menciumnya dengan cara yang tidak pernah Rania pahami. Membutakan pikirannya dan melumpuhkan motoriknya. Di bawah kesadaran ia membalas setiap rayuan dari bibir lelakinya.
Seakan-akan dia tidak pernah mendapatkan kesenangan sehebat ini seumur hidupnya. Rasanya dia bisa mati jika tiba-tiba berhenti.
Dia menginginkannya lagi, lagi, dan lagi. Masalah hidupnya sekarang hanya soal ciuman Dirga yang sangat memabukkan itu. Sepertinya lelaki ini memang sudah menyihirnya sejak pertama mereka bertemu dulu. Sekarang Rania dalam dekapan hangatnya, dengan paru-paru bekerja keras menagih oksigen yang suplainya sempat tersendat.
Lelaki itu berbisik di telinganya, “Kamu itu milikku Ran… Milikku…” Bisikan serupa mantra lainnya yang seketika membuat Rania semakin lumpuh tanpa daya.Milikku