PROLOG
Aku baru menyadari satu hal penting di hari ketiga masa magangku, bahwa bertahan hidup di kota ini jauh lebih sulit daripada lulus kuliah.
Gajiku sebagai anak magang bahkan belum turun, sementara tabunganku malah semakin menipis dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Entah untuk ongkos transportasi pulang-pergi kantor, untuk makan sehari-hari, dan biaya hidup yang terus mengejar seperti bayangan. Semuanya membuat kepalaku terasa penuh dan berisik bahkan sebelum jam kerja selesai.
Dan itulah sebabnya, sore ini, aku berdiri di depan sebuah apartemen sempit di lantai delapan, menatap pintu cokelat kusam dengan nomor 8B, sambil menggenggam tas ranselku seolah itu adalah satu-satunya hal yang menahanku untuk tetap waras.
“Rae… ini cuma sementara,” gumamku pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.
Satu kali... Tidak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi. Lebih keras.
Tetapi masih tetap sunyi.
Saat aku hampir menyerah dan berpikir bahwa ini adalah tanda dari semesta agar aku kabur sejauh mungkin, pintu itu akhirnya terbuka.
Seorang pria dengan rambut hitam berantakan, mengenakan kaus abu-abu lusuh dan celana rumah yang juga lusuh, nampak berdiri di balik pintu. Tatapannya datar, nyaris tanpa ekspresi, seolah aku hanyalah bagian dari pemandangan yang kebetulan lewat di depan matanya.
“Ya?” suaranya rendah, sedikit serak.
Aku menelan ludah. “Hai... A-aku Rae, roommate baru di rumah ini. Katanya, Bu Andin udah ngehubungin kamu, dan memberitahukan soal kepindahanku hari ini,” kataku, canggung.
Pria itu menatapku beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya, lalu menggeser tubuhnya memberi jalan.
“Masuk.”
Hanya satu kata. Tanpa senyum. Tanpa basa-basi.
Tapi... Justru hal itulah yang membuatku merasa sedikit canggung menjadi roommate seorang pria.
Aku melangkah masuk, dan pintu pun tertutup di belakangku dengan bunyi klik pelan.
Apartemennya… kecil. Sangat kecil. Dapur dan ruang tamu menyatu dengan sofa tua yang warnanya sudah pudar dan meja kecil yang tampak lebih sering digunakan untuk menaruh barang acak daripada makan.
Dan saat aku melihat ada satu kamar tidur, dan satu kamar mandi mungil di sudut sana, mataku seketika membulat sempurna.
‘Bukannya Bu Andin bilang ada dua kamar di apartemen ini?’ gumamku membatin.
Aku melirik pria itu perlahan. “Apa… kita akan berbagi kamar?”
“Enggak,” jawabnya singkat. “Kamar itu punya kamu.”
Aku berkedip. “Lalu kamu?”
“Aku udah beresin gudang di belakang buat dijadiin kamarku.”
Aku tercekat, dan menggeleng cepat. “Biar aku aja yang tidur di gudang. Aku nggak apa-apa kok.”
Dia menggeleng. “Aku udah pindahin barang-barangku ke sana.”
Tidak ada nada kesal. Tidak ada kesan terpaksa. Seolah keputusan itu sudah final bahkan sebelum aku datang.
“O-oh… terima kasih,” ucapku pelan.
Pria itu mengambil botol air dari kulkas dan meneguknya langsung, lalu baru menatapku lagi. “Lio.”
“Hah?”
“Namaku. Lio.”
“Oh... Aku Rae,” kataku cepat, lalu sadar betapa bodohnya itu. “Maksudku… aku udah kasih tahu namaku tadi.”
Sudut bibirnya bergerak sedikit. Nyaris tak terlihat. Entah itu senyum atau hanya refleks otot.
Aku menatap punggung pria yang kini sudah kembali duduk santai di atas sofa, kemudian berkata dalam hati, ‘Rae... Jangan membuat masalah. Setidaknya untuk tiga bulan ke depan, tolong tetap tenang dan jadi wanita baik.’
***