Part 3

1028 Kata
Suasana pagi hari di kediaman keluarga Widjaya sudah sangat ramai. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mama Rita yang sedang ribut dengan suaminya perkara dasi. Allea yang berusaha menenangkan Nio yang sedari tadi menangis, dan Rara yang sedang sibuk konser di dapur sambil menggoreng ikan. Sedangkan Bi Endang hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat keributan yang selalu terjadi di keluarga ini. "Pak Suryo! Tolong matiin keran di belakang!" teriak Mama Rita. Pak Suryo adalah tukang kebun, satpam, sekaligus supir di keluarga Widjaya. Beliau sudah bekerja di sini selama 15 tahun, sejak Allea masih kecil. "Siap Nyonya," balas Pak Suryo, seraya mengangkat jempolnya. "Teteh... ini bubur buat Nio ya. Mama taruh di meja makan!" teriak Mama Rita lagi. "Rara! Bisa diam nggak? Mama pusing denger suara kamu," geram Rita, saat mendengar suara Rara yang bernyanyi dengan sangat nyaring. Dirinya benar-benar frustasi pagi ini. Bagaimana tidak? Dia sudah kesal dengan suaminya yang selalu teledor, ditambah lagi mendengar suara Rara yang seperti knalpot rusak. Apalagi saat ini cucu kesayangannya tidak berhenti menangis karena sedang tidak enak badan. Rara hanya menatap malas ke arah Mamanya. Dia kesal dengan Mamanya yang selalu menghina suaranya. Padahal Jika dia ikut Indonesian Idol, sudah bisa dipastikan akan masuk ke Grand final. "Udah ya Nak, nangisnya. Sekarang Nio makan dulu, biar cepet sembuh," ujar Allea sambil berusaha menyuapi Nio makan. "Nggak mau! Huaaaaa." Nio semakin mengencangkan tangisannya. Mulutnya ia tutup menggunakan tangan kecilnya, membuat Allea kesusahan untuk menyuapinya. "Buna nangis nih, kalau Nio nggak mau makan,” ancam Allea. Jujur saja, dia sedikit capek. Semalaman dia tidak bisa tidur karena harus menjaga Nio. Dan paginya, keadaan Nio semakin parah. Panasnya semakin tinggi dan tangisannya tak kunjung reda. "Bawa kerumah sakit aja ya, Teh. Takutnya nanti kenapa-napa, kalau nggak cepet-cepet dibawa ke Dokter," ujar papanya, yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Allea sambil menenteng tas kerjanya. Arman Widjaya, seorang pengusaha makanan yang terkenal dengan kekayaannya. Suatu kebanggaan bagi Allea dan Rara, bisa mempunyai Papa yang hebat dan penyayang seperti Arman. Meskipun sempat terjadi cekcok antara dirinya dan juga Allea, mereka tetap menyayangi satu sama lain. Apapun itu alasannya, tidak ada yang bisa mengubah rasa sayang orang tua kepada anaknya. Begitu juga sebaliknya. "Jangan dulu, nunggu sampai siang aja. Kalau panasnya belum juga turun, baru dibawa ke Rumah Sakit," sahut Mama Rita dari arah dapur. "Oh, yaudah. Nanti hubungi Papa ya, kalau ada apa-apa. Papa berangkat dulu. Assalamualaikum," pamitnya, seraya mencium kepala Nio dan kening Allea. "Wa'alaikumsalam." "Ra, beliin koolfever di Apotek depan Komplek!" Rara yang sedang menikmati gorengan kesukaannya pun langsung mendengus, ketika sang Mama meneriaki namanya. "Mana duitnya?" tanya Rara, seraya menodongkan tangan kearah sang Mama. "Ambil di dalam case hp Teteh. Di situ ada duit dua puluh ribu," sahut Allea. "Kembaliannya buat Rara ya," ucapnya, yang hanya di angguki oleh Allea. Dia sudah hafal dengan tabiat adeknya yang selalu minta upah. Tanpa berlama-lama lagi, Rara langsung berjalan keluar rumah dan menaiki scoopy kesayangannya untuk pergi ke apotik. Saat sedang berusaha menyuapi Nio, handphone Allea yang tergeletak di meja berdering dan menampilkan nama "Setania" di layarnya. "Halo Tan, ada apa?" tanya Allea to the point saat panggilannya tersambung. "Neng, gue nebeng dong. Mobil gue lagi di bengkel." "Gue nggak masuk hari ini." "Bolos lagi lo?" tanya Tania sedikit nge gas. "ANAK GUE SAKIT, TANIA!" balas Allea ikutan ngegas. "Santai we, ngegas mulu! Nanti cantiknya ilang loh," goda Tania. "Bodo amat. Udah ya, anak gue rewel. Jangan lupa izinin gue." "Siap Bos." Allea langsung mematikan sambungan teleponnya secara sepihak, dan lanjut menyuapi Nio yang sudah mulai tenang. "Nih Teh koolfevernya," ucap Rara, sambil menyerahkan satu kantong berisi koolfever kepada Allea. "Beli apaan lo?" tanya Allea, saat melihat Rara menenteng satu plastik berwarna hitam. "Cirengnya Mang Udin, mau lo?" tawar Rara. "Ogah. Lo kenapa gak sekolah?" tanya Allea, ketika menyadari Rara yang terlihat santai dan masih menggunakan piyama tidurnya. "Libur, Gurunya lagi ada rapat." Allea hanya menganggukan kepalanya. Meskipun adeknya ini tergolong bandel, tetapi dia tidak pernah bolos sekolah. Beda dengan dirinya yang hobi bolos sejak SMA. "Jangan dimakan di sini Ra. Nanti diminta sama Adek kamu," tegur Allea. Namun tidak dipedulikan oleh Rara, dia tetap fokus menikmati cirengnya. "Mau cileng," rengek Nio saat melihat Rara yang memakan cirengnya dengan lahap. "No, Nio ! Ini cireng rasa ayam pedas. Nanti perut kamu sakit kalau makan ini," ujar Rara, membuat tangis Nio kembali pecah. Mama Rita yang mendengar keributan antara anak dan cucunya pun, langsung menghampiri Rara dengan membawa sutil penggorengan. Lalu ia todongkan sutil tersebut ke wajah Rara. "Nih anak bener-bener ya! Sana, makan di belakang rumah!" geram Mama Rita, membuat Rara langsung lari terbirit-b***t. *** "Aksa... bangun, Sayang. Kamu ada jadwal ngajar kan hari ini," ujar sang Mama, seraya membangunkan Aksa dari tidurnya. "Lima menit lagi Ma," balas Aksa dengan suara seraknya, dan mata yang masih tertutup. "Nggak ada lima menit, lima menitan. Cepet bangun!" Tanpa berlama- lama lagi, Diana langsung menarik selimut Aksa. Hingga membuat Aksa langsung mendengus kesal. "Masih ngantuk Ma," rengek Aksa. "Kamu lihat! Ini udah jam berapa? Jam tujuh lewat lima belas menit! Udah nggak sholat shubuh, dibangungin susah lagi," omel sang Mama, membuat Aksa langsung berdecak kesal. "Ck. Iya, iya. Aksa bangun," kesal Aksa. Dengan mata yang masih merem melek, Aksa bangun dari tidurnya. Kemudian mengambil handuk, dan langsung masuk ke kamar mandi. "JANGAN LAMA-LAMA MANDINYA! MAMA TUNGGU DI MEJA MAKAN!" teriak Mama Diana. "IYA, DULUAN AJA. NANTI AKSA NYUSUL!" teriak Aksa dari dalam kamar mandi. Lima belas menit kemudian, Aksa sudah rapi dengan setelan jas abu-abu dan celana berwarna hitam. Tanpa berlama-lama lagi, dia langsung turun ke bawah. Menghampiri Mamanya yang sudah menunggunya dari tadi. "Papa udah berangkat?" tanya Aksa. "Udah barusan," jawab Mama Diana. "Tumben banget, masak udang kari," "Iya, Mama masakin spesial buat kamu. Biar semangat ngajarnya," ujar Mama Diana, seraya tersenyum manis. Dengan semangat, Aksa langsung melahap makanan kesukaannya itu. Membuat Mama Diana tersenyum haru. "Enak nggak?" tanya Mama Diana. "Masakan Mama nggak pernah gagal," jawab Aksa, sambil terus melahap makanannya. "Nanti malam, mau dimasakin apa?" "Kayak gini aja." "Beneran? Emang nggak bosen?" "Aksa nggak pernah bosen sama udang Ma," ujar Aksa, membuat Mama Diana langsung tertawa kecil. "Yaudah deh. Apa sih yang enggak, buat anak Mama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN