September 2025
Ceklek.
Rayya berjalan perlahan memasuki rumahnya yang cukup besar ini. Ya, rumahnya. Bukan rumah milik berdua dengan Yudhistira. Sebab rumah ini dibeli hanya dengan hasil jerih payah Rayya. Yudhistira tidak menyumbang sepeserpun.
Saat melewati ruang tengah, dilihatnya sang suami sedang asyik bermain games online di handphone. “Mas, kamar kita sudah kamu bereskan?” tanya Rayya. Suaranya pelan karena memang napasnya lebih mudah tersengal sekarang. Berbicara lantang saja sudah cukup menguras energi bagi Rayya.
Tidak ada jawaban.
“Mas Yudhis, kamar sudah dirapikan belum?”
“Belum,” jawab Yudhis tanpa menoleh. Fokusnya masih hanya pada layar handphone.
Rayya mendesah pelan. Kecewa. Padahal tadi sebelum dia berangkat ke rumah sakit, dia sudah meminta tolong dengan cukup jelas. Kalau tenaga Rayya masih normal, masih sanggup mengerjakan semuanya, dia akan kerjakan sendiri, semuanya. Daripada lagi-lagi menelan kecewa seperti ini.
“Kok nggak dirapikan sih, Mas? Kalau nggak disapu pel nanti malah jadi sarang debu loh. Kotor Mas kamar kita.”
“Heh! Berisik banget sih kamu! Udah sakit udah mau mati masih juga cerewet! Sok ngatur-ngatur!” Yudhis bangkit dari duduknya, lalu berjalan cepat sampai menyenggol lengan Rayya.
Cukup kencang. Rayya yang lemah sampai terhuyung lalu bersandar pada tembok.
“Ganggu saja!” Masih terdengar gerutuan Yudhistira sampai lelaki itu menghilang di balik tembok pembatas dengan ruang tamu. Dia melanjutkan bermain games online di teras depan rumah.
Tinggallah Rayya sendirian, menghela napas dalam. Dia memandang tangga yang menjulang ke arah lantai dua. Kamarnya di sana. Ingin rebahan di kamar saja rasanya berat sekali. Membayangkan dia harus menaiki anak tangga.
“Heh, Rayya! Kok malah bengong? Sana ke dapur! Kan tadi Ibu sudah bilang, belum ada makanan untuk makan malam.”
“Tapi Bu, aku lemas banget ini. Kayak nggak ada tenaga.”
“Halah! Manja banget sih. Sakit tuh jangan terlalu dirasa, yang ada malah makin sakit. Besok juga kamu tetap harus berangkat kerja, jangan kebanyakan liburnya, nanti kalau gaji banyak potongannya gimana? Ibu nggak mau nombok uang belanja loh ya.”
“Ya ampun, Bu. Aku ini bukan lagi sakit masuk angin biasa. Aku kanker stadium 4, Bu! Uhuk … uhuk ….” Rayya terbatuk lalu mengusap dadanya yang terasa nyeri. Napasnya ngos-ngosan. Seperti habis lari marathon.
“Nah, kan, kualat tuh kamu! Berani ngomong pakai nada tinggi sedikit sama Ibu, langsung deh batuk-batuk. Sudah makanya nggak usah banyak ngomong, tenaga lebih baik dipake buat kerja. Lebih bermanfaat.”
Rayya menatap sendu pada ibu mertua. “Bu, sebaiknya mulai sekarang Mas Yudhis yang bekerja. Menggantikan aku. Terus terang aku sudah nggak kuat kerja ini, Bu. Aku gampang banget capek. Apalagi kalau harus naik kereta—”
“Halaaahh sudah deh ah! Pusing Ibu dengarnya. Tiap hari kerjaan kamu tuh ngeluuuhh terus. Pokoknya, kamu nggak boleh berhenti kerja! Belum meninggal ini, kan?” Prisha mendelik tajam. Tersenyum mencibir lalu mulai berjalan meninggalkan Rayya.
Baru beberapa langkah dia kembali membalik badan. “Jangan lupa masak buat makan malam! Kuplukmu jangan dilepas! Nanti rambutmu rontok ke piring lagi. Ibu nggak mau ketularan kena kanker!” Lalu benar-benar beranjak pergi dari sana.
Rayya mengusap wajah. Langkahnya menuju dapur seperti mengambang. Dia memilih masak nasi goreng, yang paling mudah dan cepat menurutnya. Selesai memasak, Rayya memilih rebahan di sofa ruang tengah. Dia sungguh tidak sanggup untuk naik tangga ke lantai atas, ke kamarnya.
Entah berapa lama Rayya tertidur, rasanya lelap sekali. Sampai dia mendengar namanya dipanggil-panggil. Lalu bahunya terasa bergoyang.
“Rayya! Heh, bangun! Tidur apa mati nih? Susah banget dibanguninnya!” Prisha terus menggoyangkan badan Rayya.
Sampai kemudian kedua bola mata Rayya mengerjap. Dia mengernyit karena merasa pusing. “Hem? Ibu?”
“Nah, sudah bangun kamu. Cepat siap-siap! Nanti kamu terlambat kerja lagi! Sudah nggak usah bikin sarapan, Ibu mau pergi arisan ke rumah teman Ibu di Pondok Indah. Kamu cepat mandi lalu berangkat kerja. Awas ya kalau sampai nggak kerja!”
“Umm—Mas Yudhis mana, Bu?”
“Masih tidur di kamar. Jangan diganggu!”
Blam! Prisha menutup pintu depan dengan agak kencang. Dia terburu-buru sebab acara arisan kali ini spesial, sebab dibarengi dengan acara ulang tahun sang tuan rumah. Digelar pesta meriah mulai dari pagi sampai sore hari.
Rayya terduduk. Dia ingat semalam seusai masak nasi goreng, dia tertidur di sofa ini. Tidak ada yang membangunkan sampai pagi begini. Bahkan semalam juga dia tidak sempat makan malam.
Seperti ada tambahan tenaga, Rayya bisa naik ke lantai dua tanpa harus ngos-ngosan. Benar, dilihatnya Yudhis masih terlelap di ranjang, memeluk guling. Rayya mematikan AC, geleng-geleng kepala. Padahal dia sudah bilang pada suaminya untuk lebih berhemat, uangnya semakin menipis sejak rutin ke rumah sakit.
Selesai mandi, Rayya bersiap untuk ke kantor. Melihat isi dompet, dia urung naik taksi. Pikirnya, biarlah naik kereta saja, lebih hemat. Setidaknya bisa bertahan sampai nanti gajian.
Saat di ojek online Rayya mulai merasa pusing. Mungkin karena semalam dia tidak makan dan pagi ini juga belum sempat sarapan. Ojek berhenti di depan stasiun.
“Hati-hati ya, Mbak. Sepertinya Mbak lagi sakit, pucet banget,” ucap abang ojek dengan raut khawatir.
Rayya berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa. Makasih, Bang.” Dikembalikannya helm, lalu mulai berjalan masuk ke stasiun.
Hemm, bahkan abang ojek saja lebih perhatian daripada suami sendiri. Rayya membatin. Sambil terus melangkah perlahan menaiki anak tangga. Namun belum sampai di atas, napas Rayya mulai tersengal. Dia mengusap d**a yang terasa nyeri.
Terpaksa. Rayya duduk di tangga. Seorang satpam yang melihat langsung menghampiri.
“Mbak sakit, ya? Istirahat dulu di pos kesehatan yuk, Mbak!” Satpam itu sudah memegangi tangan Rayya untuk membantunya.
Tapi Rayya menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak usah, Pak. Saya hanya butuh istirahat sebentar.”
Akhirnya satpam menemani Rayya sampai kembali mampu berdiri. Namun Rayya memutuskan untuk kembali saja ke rumah. Tidak masuk kerja hari ini. Dia merasa tidak sanggup melanjutkan menaiki anak tangga.
Masih dibantu satpam tadi, yang memesankan ojek online, Rayya kembali ke rumah. Di perjalanan dia kembali merasa pusing. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat saja sekarang.
Bahkan abang ojek sampai membantu menuntunnya sampai ke gerbang pagar. Sebab Rayya terlihat begitu lemah. Dilihatnya di teras depan rumah tidak ada mobil sedan putih. Itu adalah mobil miliknya yang selalu dipakai oleh Yudhis dan Prisha. Kali ini sudah pasti dipakai Prisha untuk acara arisan.
Dilihatnya juga motor sport hitam masih parkir di garasi samping. Itu berarti Yudhistira masih di rumah. Namun, keningnya sempat mengenyit ketika melihat sepatu wanita berwarna merah di teras depan. Pikirnya, mungkin itu sepatu baru Prisha. Atau ada adik iparnya di dalam, baru saja datang.
“Mas Yudhis! Mas! Bisa tolong aku buatkan sarapan, Mas?! Aku mau minum obat!”
Rayya duduk bersandar di sofa ruang tengah, pandangan matanya yang sendu menatap ke arah anak tangga. Ke arah lantai dua. Tidak ada jawaban. Atau mungkin karena suaranya yang begitu lemah, hingga tidak terdengar sampai ke atas.
Rayya berusaha berjalan kembali, menaiki anak tangga, menuju ke kamarnya. Meskipun rasanya sudah mau pingsan.
“Mas Yudhis … tolong aku, Mas ….” Suara Rayya timbul tenggelam.
“Mas Yudhis sejak kapan daftarin si Rayya memangnya?”
Langkah Rayya terhenti mendadak. Dia mendengar suara perempuan, dari dalam kamarnya. Siapa perempuan yang ada di kamarku?
“Sejak pertama kali tau kalau dia terkena kanker. Bayangkan Sab, nanti kalau dia meninggal, uang asuransi yang cair itu ratusan juta!”
Rayya langsung menutup mulut. Nyaris saja dia berteriak karena sangat kaget mendengar kalimat jahat suaminya.
Terdengar suara kekehan yang wanita. Dan sepertinya Rayya mengenali suara itu. Dia mengintip lewat pintu yang terbuka, dan langsung terbelalak. Sabrina? Ternyata kamu—jahat!
Sebetulnya bisa saja Rayya langsung masuk, tapi dia ingin tahu apalagi yang akan mereka bicarakan tentang dirinya.
“Mas Yudhis pinter banget sih! Nanti, kalau uang asuransinya cair, kita honeymoonnya keliling dunia ya?”
“Ohh tentu Sayang! Pokoknya apapun yang kamu mau akan aku kabulkan. Yang penting dia mati dulu, lalu uang asuransinya cair.”
Sabrina memeluk tubuh telanjang Yudhistira. Sebenarnya, mereka berdua memang benar-benar polos, hanya ada satu selimut yang menutupi—hanya kaki mereka berdua. Di atas ranjang yang dibeli dengan uang milik Rayya.
“Kapan sih dia matinya?” Mulut lancang Sabrina membuat air mata Rayya tumpah. Mungkin itu adalah sisa-sisa air mata.
“Paling lama enam bulan lagi kata dokternya. Dia bilang begitu. Yaahh semoga lebih cepat. Sabar ya, Sayang. Payudaranya saja sudah diangkat sebelah, lama-lama kanker itu juga merembet ke bagian badannya yang lain.” Yudhistira terkekeh bagaikan kalimatnya hanyalah hal biasa. Kemudian wajah tengilnya mulai menyelusup ke ceruk leher Sabrina.
Rayya melengos, saat melihat suaminya—mencumbu sahabatnya. Sabrina adalah sahabat terdekat Rayya. Sejak sekolah. Bahkan hingga sekarang, di kantor. Semua keluh kesahnya, curahan hatinya yang penuh duka, hanya dia percayakan pada Sabrina. Yang selama ini selalu membelanya. Selalu siap menjadi tameng kegagalannya. Tapi ternyata, di balik semua kebaikan itu, Sabrina telah menghianatinya.
Rayya tidak tahan lagi. Dadanya sesak menahan amarah. Ketika sorot matanya melihat sebuah vas bunga kaca, kekuatan itu datang tiba-tiba. Dengan cepat diangkatnya vas bunga itu, lalu dia lemparkan sekuat tenaga ke arah ranjang.
“Ahhh!” Sabrina dan Yudhistira sama-sama terkejut. Melihat ada Rayya di sana, segera keduanya memakai baju mereka kembali.
“Kalian jahat! Pergi kalian dari rumahku! Terserah kalian mau ngapain tapi jangan di kamarku! Jangan di ranjangku!” teriak Rayya histeris.
Yudhis yang baru selesai memakai bajunya kembali, tersenyum mencibir. “Heh! Siapa bilang rumah ini milikmu? Semuanya sudah menjadi atas nama aku!”
“Apa?” Rayya terkejut. Sakit sekali mendengar itu. Tapi lebih sakit lagi saat mendengar suara tawa Sabrina. Rayya langsung menatap tajam pada si pengkhianat itu.
“Sabrinaaa!” Dengan tenaga yang tersisa, Rayya berlari menerjang Sabrina. Dia menjambaknya. Mencekiknya. Menamparnya.
Sampai tiba-tiba satu tenaga besar mendorong tubuh Rayya hingga menabrak kaca cermin besar.
Brak! Rayya jatuh ke lantai. Darah kental mengalir. Kepala Rayya yang tertancam pecahan kaca, tergenang darah.