BAB 3. Mesin Waktu

1198 Kata
Sabrina berdiri mematung, tubuhnya bergetar ketakutan. Wajahnya pucat pasi, tapi tatapan matanya tidak bisa lepas dari tubuh Rayya yang tergeletak di lantai. “Sab! Sabrina sadar! Di—dia bukan mati karena aku bunuh. Bukan!” Yudhistira memeluk tubuh Sabrina erat. Dia pun sama ketakutan. Sangat ketakutan. “Ra—Rayya be—benarkah dia sudah … meninggal?” Sabrina melepas pelukan Yudhis, menatapnya penuh ketakutan. “Mas, coba dicek dulu, siapa tau dia masih hidup. A—aku takut, Mas! Bagaimana kalau polisi—” “Ssttt!” Yudhis langsung membekap mulut Sabrina. “Kamu harus tenang, Sab! Dia itu kanker stadium 4, dia bisa jatuh kapan saja. Pingsan atau—ahh pokoknya dia jatuh sendiri lalu menabrak cermin dan meninggal! Bukan karena aku dorong. Lagipula, tadi aku dorong dia karena mau nolongin kamu. Kalau nggak, bisa-bisa kamu yang mati, Sab!” Sabrina tersentak. Air matanya menetes. Bukan karena sedih sebab Rayya meninggal. Tapi lebih karena ketakutan. “Lalu … se—sekarang kita harus bagaimana, Mas?” Suaranya bergetar. Yudhistira memegang erat kedua lengan Sabrina. “Akan aku pikirkan. Yang penting kita harus tenang. Di sini nggak ada CCTV. Dan ibu juga sedang pergi. Jadi nggak ada bukti dan saksi mata. Lagipula Sab, kita harus dapat uang asuransi itu!” Keduanya menoleh pada tubuh Rayya, di lantai. Tidak bergerak, di atas darah yang menggenang, pekat. Di luar rumah, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Udara mendadak dingin. Lalu di atas telapak tangan kanan Rayya, jatuh sebongkah kecil es, seperti salju. September 2022 “Mbak Rayya! Hei! Hellooo!” “Hah?” Rayya menoleh. Matanya mengerjap beberapa kali. Masih tidak percaya, sekarang mengucek kedua mata beberapa kali. Pak Arjuna? Kok jadi Pak Arjuna sih? “Mana? Saya sudah minta dari pagi loh! Sekarang sudah jadi kan anggaran dan jadwal produksi?” Kedua tangan Arjuna menadah. “Hah?” Sekarang kedua bola mata bulat Rayya mengedip-ngedip. “Mbak produser, saya minta anggaran dana dan jadwal produksi! Mau dimulai kapan?! Ini film sudah harus tayang awal tahun depan!” Arjuna berkacak pinggang. Rayya menganga. Jelas bingung. Apa-apaan ini? Kok aku tiba-tiba di kantor? Dia memindai sekitar dengan perasaan campur aduk. Sekarang, semua mata sedang memandang ke arahnya. Kemudian kembali menatap Arjuna yang berdiri menjulang di hadapannya. Si bos seperti sudah akan keluar tanduk. “Hah?” “Haishhh! Kamu pikir saya kelomang?! Dari tadi hah heh hah heh! Selesaikan anggarannya sekarang! Dua jam lagi saya tunggu di ruangan!” “Ba—baik, Pak.” Rayya mengangguk pelan. Suaranya juga pelan. Dia memindai sekitar, mengangguk dengan canggung dan mencoba tersenyum. Meskipun bibirnya seperti terasa kaku. Mereka masih menatap bingung pada Rayya. “Kenapa itu Mbak Rayya? Tumben sampe kena marah pak bos, biasanya paling disayang tuh.” “Iya tumben kena omel, biasanya selalu dipuji.” “Kan kubilang juga apa, film ini tuh produksinya paling rumit. Lihat saja tuh, Mbak Rayya yang paling expert aja sampai linglung begitu. Hiii untung aku bukan bagian tim film ini.” Suara bisik-bisik yang dengan bodohnya masih terdengar jelas oleh Rayya. Namun Rayya tidak merasa terganggu sama sekali. Ada yang jauh lebih penting yang mengganggu pikirannya. “Rayya, kamu nggak apa-apa?” Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Rayya membalik badan dan tersentak. Mas Yudhis? Pembunuh! Dia yang berencana mau membunuhku! Ah atau—dia memang sudah membunuhku? Ingatannya langsung kembali pada kejadian pagi itu. Saat dia kembali ke rumah karena tidak sanggup berangkat ke kantor. Rayya ingat sekali, bagaimana dirinya memergoki suami yang ternyata berselingkuh dengan sahabat sendiri! Lalu Rayya juga masih bisa merasakan dengan jelas saat dia didorong oleh suaminya sendiri. Sampai tubuhnya membentur cermin besar. Dia terjatuh, kepalanya tertancap pecahan cermin. “Ahhh!” Rayya memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Yudhis berjengkit kaget. Dia sampai membelalak. “Rayya? Kamu kenapa?!” Rautnya kaget bercampur khawatir. “Kamu telah—ah, kamu!” Rayya menunjuk wajah Yudhis. Tapi dia tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Kening Yudhis mengernyit. “Sayang, kamu kenapa sebetulnya? Apa kamu sakit, Sayang?” Sayang? Sudah berapa lama dia tidak memanggilku sayang? Dia bahkan sering memanggilku istri bodoh. Istri penyakitan. Istri yang sebentar lagi mau mati. “Rayya? Ada apa ini?” Rayya menoleh. Sabrina? Wahh wajah tak berdosa itu? Sahabat penghianat! “Rayya? Hei! Kenapa malah bengong? Aku hanya meninggalkanmu sebentar. Hanya untuk beli kopi. Tapi kenapa kamu kelihatan bingung begini sih? Ah, ya ampun Rayya! Pasti karena deadlinemu padat, kan?” Sabrina meletakkan dua cup besar kopi dingin di atas meja kerjanya. Lalu menuntun Rayya yang tampak seperti orang linglung. Keduanya duduk di kursi kerja. Yang satu kursi milik Sabrina, satunya lagi milik rekan kerja yang lain. Yudhis meletakkan tangannya di bahu Sabrina. Dia berdiri tepat di samping kursi Sabrina. Rayya memperhatikan itu. “Entahlah, Sab. Tiba-tiba saja tadi Rayya seperti orang bingung. Bahkan dia teriak kencang tadi. Tolong kamu ajak ngobrol dulu, ya. Aku harus selesaikan laporan sekarang.” Sabrina mengangguk. Menoleh sekilas pada Yudhis lalu kembali beralih pada Rayya. Terlihat penuh empati. “Aku tinggal sebentar ya, Sayang.” Cup. Yudhistira mengecup kening Rayya, sekilas. Lalu pergi meninggalkannya. Rayya terdiam. Dia sangat terkejut. Selama pernikahannya dengan Yudhis, sepertinya hanya di awal-awal pernikahan saja suaminya itu terasa romantis. Kecuali dulu, saat mereka masih berpacaran, memang Yudhis begitu romantis dan perhatian. Bahkan orang-orang di kantor sampai tidak kaget lagi melihat perlakuan romantis Yudhistira pada Rayya Bhumi. Sebab terlalu biasa. “Ini Ray, minum dulu kopimu. Supaya otakmu kembali fresh. Aku sampai nyebrang kantor tuh buat beliin kopi favoritmu.” Sabrina mengulurkan satu cup besar kopi latte. Rayya mengangguk, menerima kopi itu. Tapi masih belum menjawab apapun. Dia masih celingukan, mengamati sekitar. Dia sudah tidak jadi pusat perhatian orang-orang lagi. Mereka sibuk bekerja masing-masing. Karena semua staff mengejar deadlinenya masing-masing. “Hei Rayya, kamu kenapa sih?” Sabrina terlihat semakin khawatir. Dia memegang kedua pipi Rayya, sehingga mereka saling menatap. Saat itulah Rayya sadar, rambut Sabrina sepanjang bahu, lurus dan hitam. Padahal, yang dia tahu rambut Sabrina sudah disambung jadi sepanjang pinggang, bergelombang besar-besar, dan berwarna coklat terang. Ini kan, rambut Sabrina yang lama. Kenapa dia ganti lagi model rambutnya? Balik lagi seperti dulu? Ini aneh. “Hemm film ‘Bismillah Kunikahi Suamimu’ memang berat banget alurnya ya, Ray.” Sabrina terkekeh kecil. “Nggak aneh sih kalau kamu sebagai penanggung jawab film ini, agak agak stres gitu lah. Aku aja sempet stres kok mikirin film ini. Pasti capek banget nanti ngurusinnya. Pengennya sih aku pegang film lain aja. Kalau bisa itu juga.” Sabrina kembali terkekeh seraya mengerling pada Rayya. “Yaa tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa deh. Selama produsernya masih kamu, aku aman kok.” “Umm … film apa tadi, Sab?” “Hem?” Sabrina mengangkat kedua alis. “Film ‘Bismillah Kunikahi Suamimu’, kenapa memangnya Ray?” “Film itu bukannya … tayang di awal 2023, ya?” “Yaa rencananya sih begitu. Maunya Pak Juna juga begitu. Semoga aja proyek kita yang satu ini lancar juga kayak yang lainnya. Masih ada waktu beberapa bulan lagi kok.” “Hah?!” Rayya berdiri. Sibuk mencari-cari kalender. Lalu dilihatnya tanggal dan jam di layar komputer. Kedua bola matanya terbelalak. “Sepuluh September … 2022?” Itu kan tanggal—tiga tahun yang lalu?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN