Tanpa menghiraukan Sabrina yang bengong keheranan, Rayya berjalan meninggalkan meja kerja Sabrina. Dia mendatangi beberapa meja rekan kerja lainnya di tim satu. Mengecek komputer mereka satu-persatu. Hanya untuk memastikan tanggal hari ini. Semua orang kembali dibuat terheran.
Rayya berjalan cepat. Berpindah dari satu meja ke meja lain. Tapi fokusnya hanya untuk melihat tanggal hari ini. Sampai dia terpental satu langkah ke belakang, karena tidak sengaja menabrak seseorang.
Orang itu adalah—Arjuna. Sang CEO yang terkenal galak luar biasa. Sedang berdiri menjulang di hadapannya.
“Kamu lagi ngapain?” Suara bariton Arjuna seketika membuat semua orang menunduk. Berpura-pura sibuk bekerja.
Tapi tidak dengan Rayya. Gadis itu justru melirik handphone yang sedang dipegang Arjuna. Lalu tanpa permisi atau basa-basi, diambilnya handphone itu dari tangan Arjuna. Sanking cepatnya, Arjuna sampai tidak sempat mengelak atau menolak.
Ternyata layar handphonenya memang masih menyala. Rayya langsung melihat tanggal dan jam yang terpampang nyata di sana.
“Ahhh!” Teriakan Rayya tertahan. Lalu dia menatap Arjuna. “Pak, handphone Bapak nggak ngaco nih? Ini benar tanggalnya? Sepuluh september—2022?”
Dengan menahan kesal, Arjuna merebut handphonenya kembali. “Handphone saya nggak ngaco! Dan tanggalnya benar! Mbak produser, kepala kamu habis kepentok atau gimana? Malah ngurusin tanggal hari ini, kamu pikirin tanggal rilis film proyekmu itu!” Arjuna mendengkus kesal. Lalu dia pergi meninggalkan Rayya.
Tinggallah Rayya sendirian. Diam. Termenung. Dia membalik badan. Dilihatnya semua orang di ruangan ini sedang sibuk di meja kerjanya masing-masing. Ketika sorot matanya terhenti pada sisi lain ruangan ini, dia membaca tulisan ‘Produser’ pada bagian atas sebuah pintu ruangan tertutup.
Itu adalah ruang kerjanya. Rayya berjalan cepat kesana. Dia yakin, di dalam ruang kerjanya sendiri pasti akan menemukan petunjuk yang lebih jelas.
Masuk ke dalam ruang kerjanya. Menutup pintu rapat-rapat. Memindai seisi ruangan. Sama. Warna cat tembok dan letak furniture, sama. Seperti tiga hari lalu, terakhir dia masuk ke ruangan ini. Sebab kemarin lusa dia izin tidak masuk kerja karena ke rumah sakit. Lalu kemarin dia tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke kantor.
Tiba-tiba Rayya tersentak. Punggungnya menegak. Tegang. Kenapa aku nggak ngos-ngosan ya? Kenapa aku kuat sekali? Dari tadi jalan cepat kesana-kesini tapi nggak merasa capek?
Dirabanya perlahan rambut panjangnya. Tebal. Lebat. Halus dan harum. Di pojok ruang kerjanya ada cermin dekat wastafel. Dia berjalan kesana. Bercermin. Melihat pantulan dirinya dan seketika Rayya tersadar. Ini adalah dirinya sebelum sakit.
Tidak pucat. Wajahnya cerah dengan kulit putih mulus. Tidak ada lingkaran gelap di sekitar mata. Rambutnya indah tergerai. Hitam panjang dan terlihat sehat berkilau. Pantulan dirinya betapa—cantik.
Lalu Rayya meraba d**a kirinya. “Oh ya ampun!” Seketika air matanya jatuh. d**a kirinya tidak rata. Disentuh pun tidak ada rasa sakit sama sekali.
“Ini memang aku—sebelum sakit. Ini tahun—2022,” desisnya pelan. Air mata Rayya terus turun, tapi bibirnya tersenyum. Hatinya mengucap syukur tanpa henti. “Oh Tuhan, inikah kesempatan kedua untukku?”
Dreettt dreettt. Dering handphone di atas meja kerja. Nama Bos Arjuna yang tertera pada layar handphone.
“Hallo? Iya, Pak?”
“Waktumu satu jam lagi, Mbak Rayya. Saya tunggu di ruangan saya, satu jam lagi.”
“Siap Pak!”
Jawaban cepat dari suara lantang Rayya Bhumi. Seorang produse di kantor ASP, alias Arjuna Sparkling Pictures. Setelah meletakkan kembali handphone. Segera Rayya duduk di kursi kerjanya. Lalu menatap layar laptop yang menyala. Dia mulai bekerja dengan hati sangat bahagia.
Sangat bahagia.
Tidak sampai satu jam kemudian. Tepatnya satu jam kurang sepuluh menit. Rayya mengetuk pintu dengan tulisan ‘Chief Executive Officer’.
“Ya, masuk.” Arjuna mendongak. Kedua alisnya terangkat ketika melihat Rayya di ambang pintu. “Ohh, kamu. Silakan masuk. Kamu—baik-baik saja, kan?”
Rayya mengangguk. Dengan senyuman manis yang dia rasa, telah cukup lama tidak dia tunjukkan. “Semua anggaran sudah saya buat. Jadwal produksi film ‘Bismillah Kunikahi Suamimu’ siap dimulai pertengahan bulan ini, Pak,” ucapnya dengan sangat meyakinkan.
“Hemm, saya tau kamu sangat bisa diandalkan. Oke. Siapkan semuanya.”
“Baik, Pak Juna. Kalau begitu, saya permisi.”
Arjuna mengangguk. “Umm—Mbak Rayya.”
Rayya yang sudah akan keluar ruangan CEO, kembali menoleh. “Iya, Pak?”
“Nanti sepulang kerja, bisa kita ngobrol sebentar? Di café sebelah.”
Rayya mengangkat kedua alisnya. Dia tampak ragu. “Umm—ohh … yaa?”
“Mas Yudhis itu pacarmu, kan? Bilang sama dia, kita hanya membahas pekerjaan. Tentang proyek film. Saya hanya ingin suasana lebih santai, sambil minum kopi. Itu saja. Bisa ya?”
Rayya tersenyuma seraya mengangguk. “Baik. Saya bisa, Pak. Ada lagi Pak?”
“Ohh, nggak ada. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.”
“Baik, Pak. Permisi.” Rayya keluar ruang CEO. Menutup pintunya rapat. Kemudian berjalan cepat menuju ruangannya sendiri. Dia suka berjalan cepat. Dan sebenarnya ingin berlari saja. Napasnya normal. Di sungguh sangat merindukan rasanya bernapas normal begini.
Rayya duduk di kursi kerja. Lalu tanpa sengaja tatapannya berhenti pada sebuah frame foto di atas meja. Di pojokan meja kerjanya. Itu fotonya bersama dengan Yudhistira.
Cepat tangan Rayya terulur, menutup frame di atas meja. Dia muak melihat wajah Yudhistira di foto itu. Aku nggak perlu kabarin dia kalau nanti mau diajak ke café sama Pak Juna. Aku nggak perlu minta izin apapun sama dia!
Kembali teringat bagaimana pacarnya itu sangat menginginkan kematiannya. Hanya untuk bisa menerima uang asuransi. Yang mereka rencanakan untuk dipakai liburan keliling dunia. Yudhistira b******k!
Brak! Rayya tanpa sadar menggebrak meja. Bertepatan dengan Sabrina yang membuka pintu ruang kerjanya.
Sabrina tampak terkejut mendengar suara kencang. Tapi dia tidak sempat melihatnya. “Suara apa itu, Ray?”
“Oh, kamu Sab. Umm itu, suara kakiku nendang meja. Tadi ada kecoak makanya coba kuusir.”
“Hah?! Kecoak?! Ihhh! Di mana, Ray?” Sabrina menutup pintu kembali. Lalu dia berdiri berjinjit, menempel pada tembok.
Rayya melihatnya acuh tak acuh. Cih! Lebay! Dasar pengkhianat!
Namun Rayya tersenyum. Tipis. “Sudah kuusir kok kecoaknya. Sudah pergi.”
Sabrina menarik napas lega. “Huft, syukurlah.” Lalu dia berjalan menuju meja kerja. “Ini Ray, salinan naskah film “Bismillah Kunikahi Suamimu’, sudah aku print semua.
Sabrina meletakkan setumpuk kertas di dekat laptop. Rayya melihatnya sekilas. “Tolong kamu pisahkan peradegan ya.”
“Hah? Aku, Ray?”
Rayya menatap lurus ke seberang meja. “Ya iya kamu. Masa’ aku sih. Kamu kan asistent produksi. Cepat ya, Sab! Jangan pakai lama.” Lalu kembali fokus pada layar laptop.
Sabrina terdiam untuk beberapa detik. Dia bingung. Sebab biasanya Rayya akan memanjakan dia dengan tidak terlalu merepotkan. Itu memang tugas Sabrina, tapi biasanya Rayya akan dengan mudah meminta beberapa orang dari tim satu, untuk membantunya. Dan sekarang sungguh berbeda. Rayya langsung memerintahkan pada Sabrina. Bahkan dengan nada suara yang—agak ketus menurut Sabrina.
“Oke Ray, aku kerjakan dulu.” Sabrina kembali mengangkat tumpukan kertas dari atas meja.
“Oh ya Sab, lain kali kalau masuk ke ruanganku ketuk pintu dulu ya.”