BAB 5. Rayya Yang Berbeda

1414 Kata
Sabrina tertegun. Rayya sungguh berbeda hari ini. Padahal biasanya Rayya sangat tenang, nada suaranya tidak penah tinggi, terutama padanya. Sabrina yang usianya setengah tahun di bawah Rayya, sering dianggapnya sebagai adik. Tapi sekarang, Rayya memperlakukannya benar-benar seperti pada bawahannya. Sungguh aneh bagi Sabrina. Dia menutup pintu ruang kerja Rayya. Masih dengan kening mengernyit, cepat berjalan menuju meja kerjanya sendiri. Untuk mengerjakan perintah Rayya, sang atasan langsung. “Ada apa, Sab? Kok kayak bingung gitu?” Yudhis yang baru saja melewati meja kerja Sabrina, sampai berbalik kembali. “Mas Yudhis, sini deh!” Sabrina melambaikan tangan. Yudhis mendekat lalu agak membungkuk, menopangkan kedua tangan di meja kerja Sabrina. “Kenapa, Sab?” “Mas, Rayya kenapa, ya? Kayak beda aja gitu hari ini. Aneh deh!” Yudhis tampak berpikir, lalu kemudian dia membulatkan bola mata. “Ah, iya benar, Sab! Tadi juga agak aneh gitu. Dia bengong, habis itu teriak sendiri. Sampai kena tegur Pak Juna. Kenapa ya?” Sabrina mengedikkan kedua bahu. “Ya nggak tau, Rayya kan pacar kamu, Mas.” “Loh, Rayya kan sahabat kamu. Gimana sih? Sudah ah, aku banyak kerjaan nih.” Yudhistira kembali melanjutkan langkah menuju meja kerjanya sendiri. Jam istirahat makan siang. Sabrina kali ini mengetuk pintu ruang produser. Padahal selama ini dia selalu langsung nyelonong masuk. “Ya, masuk,” jawab Rayya dari dalam. Sabrina menongolkan kepalanya lalu tersenyum sumringah. “Ray, makan yuk! Di kantin. Nanti Mas Yudhis nyusul aja, dia lagi sibuk banget dari tadi.” “Hemm ….” Rayya juga sebenarnya sedang sangat sibuk—ralat! Lebih tepatnya sedang sangat bersemangat. Sebab selama ini hanya keinginannya yang tinggi untuk bisa melakukan pekerjaan ini dan itu, tapi tenaganya sungguh tidak mampu. Sekarang, saat Rayya tiba-tiba merasa sangat sehat. Rasanya dia ingin melakukan pekerjaan ini dan itu, tanpa berhenti. “Ray? Hei! Kok malah bengong sih? Ayolah! Meskipun kerjaan kamu banyak, harus tetap makan loh. Ingat, jaga kesehatan, Ray.” Tiba-tiba Rayya teringat dengan kanker p******a yang mulai dia rasakan gejalanya di akhir tahun 2023, itu berarti di tahun depan. Segera dia menutup layar laptop lalu berdiri dan berjalan menghampiri Sabrina di ambang pintu. “Yuk!” Sabrina langsung bersorak senang lalu menggandeng tangan Rayya. Seperti anak kecil yang kegirangan, sesekali Sabrina berjalan sambil melompat-lompat kecil, lalu bercerita tentang apapun pada Rayya. Sesekali Rayya menoleh pada Sabrina di sampingnya. Sikap ceria Sabrina dan juga keramahannya yang terlihat sangat manis, tentu membuat gadis itu akan mudah disukai oleh orang lain. Dia sungguh menarik perhatian. Apalagi penampilannya yang modis, membuat Sabrina terlihat cantik menawan. Dibandingkan dirinya sendiri yang … Rayya menoleh ke samping. Mereka berdua sedang berjalan melewati deretan kaca-kaca besar. Itu adalah dinding kaca milik salah satu restoran besar di lobi utama kantor ini. Oh, ya ampun! Ini memang diriku. Sejak dulu aku hanya seperti ini. Sungguh penampilan yang membosankan. Rayya membatin. Melihat pantulan dirinya yang seperti gadis di jaman 80-an mungkin. Memakai celana kulot polos berwarna coklat yang dipadukan dengan kemeja putih motif garis-garis. Rambut panjangnya hanya dikuncir satu di belakang, tanpa anak rambut. Rayya juga memakai kacamata persegi dengan bingkai hitam, terlihat sangat biasa. “Kita makan di kantin, ya. Seperti biasa.” Sabrina terus menggandeng tangan Rayya. “Di kantin?” Keningnya mengernyit. Pikirnya, dengan gaji sebagai produser, tentu dia mampu makan siang setiap hari di salah satu restoran di lobi utama kantor. Tapi setelah dia mencoba mengingat-ingat. Memang benar, sepertinya dia memang selalu makan siang di kantin. Terutama setelah berpacaran dengan Yudhistira. Tapi kenapa? Ingatan Rayya masih belum mencerna sampai kesana. Sabrina yang memilih meja, di depan stand mie jebew. “Kamu mau level berapa, Ray? Aku sih seperti biasa, level 3 aja udah pedes banget. Eh, atau—kita coba level 5, yuk!” Kedua bola mata Sabrina mengerling indah. Rayya menoleh pada stand mie jebew. Dia bergidik saat melihat mbak penjual sedang meracik mie di mangkok, begitu merah dengan aroma bumbu yang tercium tajam. Dia teringat. Andaikan dia bisa mengubah takdir hidupnya di masa depan, Rayya jelas akan memilih tidak mau terkena penyakit kanker p******a itu, yang membuat salah satu payudaranya harus diangkat. “Uhh!” Rayya memegang d**a bagian kiri. Meringis seakan merasa kesakitan. “Loh! Rayya, kamu kenapa?” Sabrina terlihat sangat cemas. Dia melihat tangan Rayya lalu kembali menatap wajahnya, keheranan. “Dadamu—dadamu sakit?” “Hah?” Rayya baru tersadar. Dia tidak sedang merasa sakit sama sekali. Tangannya langsung saling menggenggam di bawah meja. Dia menggeleng. “Ohh, aku nggak apa-apa kok. Umm kamu saja ya yang makan mie jebew. Aku ….” Rayya memindai sekitar. “Nah! Itu saja. Aku mau makan sop ayam saja.” Rayya memilih makanan sehat ketimbang mie dengan bumbu pekat seperti itu. Pikirnya, jangan-jangan dia sampai terkena sakit kanker p******a, karena pola makan yang tidak sehat. Sabrina terlihat agak heran. “Serius, Ray? Biasanya kamu paling suka makan siang pakai mie. Yahh nggak seru dong! Masa’ aku makan mie jebew sendiri sih!” Sabrina memberengut. Bibir merahnya mengerucut. “Iya. Umm aku—aku lagi sariawan. Aku nggak bisa makan pedas. Kamu saja, ya. Aku pesan sop dulu.” Rayya berdiri. Meninggalkan Sabrina yang masih memandangnya keheranan. Tapi kemudian Sabrina beranjak untuk memesan mie jebew level 5. “Siang, Bu,” sapa seseorang yang sedang duduk di depan stand bakso. Rayya harus melewati beberapa stand makanan sebelum sampai di tempat sop ayam. Rayya mengangguk, tersenyum tipis. Dia kenal wanita muda yang menyapanya barusan. Salah satu staff di tim satu, itu berarti masih anak buahnya. “Bu Rayya itu selain penampilannya sederhana, gaya hidupnya juga sederhana ya. Sekelas produser makannya di kantin loh! Dan itu setiap hari!” “Iya. Tapi Bu Rayya tuh sederhana atau pelit sih? Hihihiii ….” Bisik-bisik anak buahnya masih bisa terdengar jelas oleh Rayya yang belum berjalan terlalu jauh. Panas juga telinganya mendengar itu. Tapi Rayya sendiri belum menemukan jawaban, kenapa dia rela makan siang di kantin, yang katanya setiap hari? Padahal kalau dia mau, makan di restoran seminggu tiga kali juga dia masih bisa berhemat dan menabung. Setelah memesan sop ayam tanpa nasi, Rayya kembali duduk di kursinya. Berseberangan dengan Sabrina. Aroma bumbu pedas dari mangkuk di depan Sabrina langsung tercium tajam. Rayya bersin-bersin. “Ya ampun, Sab. Itu mienya kelihatannya pedas banget! Kamu sanggup makannya?” Sabrina mengangguk, dia mulai menyuap mie jebew level 5 ke mulutnya. “Ray, aku lupa belum pesan minuman. Kamu juga belum, kan? Aku titip dong!” Gadis itu terlihat mulai kepedasan. Rayya mengangguk. “Ya, aku mau pesan minuman. Kamu mau apa?” “Umm—aku mau es jeruk saja. Cepat ya, Ray! Aku kepedesan nih!” Rayya kembali mengangguk lalu berjalan menuju stand minuman. “Bu, es jeruk 1 dan air mineral botol 1, ya.” “Baik, Mbak.” Rayya kembali ke mejanya. Tidak lama kemudian, sop ayam, es jeruk, dan juga air mineral botol, diantar ke meja mereka. Sabrina langsung meraih gelas es jeruk. Baru saja rayya membuka tutup botol air mineral, Sabrina langsung mengambil dari tangan Rayya. Dan meminumnya dengan cepat, sampai habis nyaris setengah botol. “Huh hah huh—aku kepedesan, Ray! Kamu pesan saja lagi air mineralnya ya. Yang ini untuk aku saja.” Rayya tidak menjawab apa-apa. Dia hanya memperhatikan Sabrina yang bersikap seenaknya. Rayya menghela napas dalam. Lalu kembali berjalan ke stand minuman untuk membeli air mineral lagi. Yudhis yang melihat Rayya di stand minuman, menepuk pundaknya lembut lalu tersenyum. “Lagi beli minuman ya, Ray? Sekalian dong, aku mau latte dingin, ya. Sabrina mana?” Rayya menunjuk ke meja mereka. Yudhis langsung berjalan kesana tanpa berucap apa-apa lagi. “Bu, tambah latte dingin satu, ya.” “Oh iya, Mbak.” Rayya menoleh ke arah mejanya di depan stand mie jebew. Tampak Yudhis menggeser kursi kosong ke sebelah kursi Sabrina. Dia duduk di sana lalu tampak mengambil garpu dari piring Sabrina. Tanpa ada rasa sungkan, Yudhis ikut makan mie jebew milik Sabrina. Sesaat kemudian tampak Yudhis kepedasan. Sabrina langsung menyodorkan es jeruknya. Kening Rayya mengernyit. Ah, kenapa aku nggak sadar, kalau mereka berdua memang sedekat itu. Tapi, kenapa Mas Yudhis justru bilang cinta sama aku? Batin Rayya bergejolak. Dia teringat Yudhistira mengejar cintanya selama berbulan-bulan. Sebab pertama kali Yudhis menyatakan cinta, langsung ditolak oleh Rayya. Kedua kali masih ditolak. Ketiga kali, bahkan keempat kali juga masih ditolak. Dengan gigihnya Yudhis mengejar cinta Rayya. Sampai kelima kali Yudhis menyatakan cinta, baru diterima oleh Rayya. “Ray?” Rayya tersentak dari lamunannya. Dia mendongak. Seorang pria tampan menjulang tinggi di depannya. “Pak Juna?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN