BAB 6. Mulut Pedas Arjuna

1192 Kata
“Iya. Kok kaget?” “Umm—yaa—Pak Juna bukan mau makan siang di kantin, kan?” “Memangnya kenapa kalau saya mau makan siang di kantin? Nggak boleh?” Seperti biasa, gaya Arjuna yang terkesan dingin dan angkuh, langsung membuat Rayya canggung. “Eh—bukan gitu Pak, maksud saya. Umm—ya nggak apa-apa kok. Pak Juna mau makan apa?” Arjuna menoleh ke stand tepat di sampingnya. “Hemm ini saja. Nasi goreng.” Lalu dia mendekati ibu penjaga stand. “Bu, nasi gorengnya satu, tolong diantar ke meja … hem Mbak Rayya, mejamu sebelah mana?” Rayya menaikkan kedua alisnya. “Ohh—umm itu, Pak. Di sana!” Dia menunjuk ke aeah mejanya, tepat saat melihat Yudhis dan Sabrina sedang saling bercanda dan tertawa lepas. “Nah, itu ya Bu, di meja sana.” “Baik, Pak Juna.” Siapa yang tidak kenal Arjuna di kawasan kantor dengan dua puluh lantai ini. Arjuna kembali menatap Rayya, ekspresinya masih datar. “Boleh kan saya ikut gabung duduk dengan kalian?” “Ohh ya tentu saja boleh, Pak!” Aslinya Rayya benar-benar merasa canggung sekarang. Dia juga merasa aneh harus satu meja dengan CEO di kantin ini. “Mari, Pak.” Rayya berjalan lebih dulu dan diikuti Arjuna. Karena Yudhis dan Sabrina terlalu asyik bercanda, mereka sampai tidak melihat kedatangan Rayya. Sampai Rayya berdeham agak kencang, lalu menarik satu kursi kosong untuk Arjuna. Terpaksa kursi itu di sebelah kursinya sendiri. Sebab Sabrina dan Yudhis duduk berdampingan di seberang meja. Tadi Rayya agak kesal juga, kenapa Yudhis memilih duduk di samping Sabrina? Kenapa bukan di samping kursinya? “Ohh, Pak Juna!” Yudhis langsung berdiri. Masih sempat dia mencolek pinggang Sabrina sehingga gadis itu ikut berdiri. Keduanya tampak menunjukkan sikap hormat. “Santai saja, Mas Yudhis, Mbak Sabrina, saya hanya mau ikut gabung meja kok. Boleh kan kita makan siang bareng di sini?” Yudhis dan Sabrina menatap Rayya, lalu mereka saling berpandangan. Aneh, pikir mereka. Baru kali ini melihat sang CEO makan siang di kantin, apalagi gabung dengan meja mereka. “Yaa kalau nggak boleh nggak masalah, saya bisa—” “Ehh! Boleh kok, Pak! Siapa bilang nggak boleh.” Cepat Yudhis menyela. Lalu dia mencoba tersenyum ramah. Duduk kembali sambil melirik Sabrina. Gadis itu juga ikut duduk kembali. “Pak Juna mau pesan apa? Biar saya pesankan.” Sabrina menawarkan. “Terima kasih, saya sudah pesan nasi goreng. Loh, Mas Yudhis apa sedang diet? Kok nggak makan?” Arjuna melihat hanya ada sebotol air mineral di depan Yudhis. “Oh iya Pak, saya belum pesan, tadi baru cobain mie punya Sabrina. Umm Rayya, boleh tolong pesenin aku sop ayam juga? Sama kayak kamu, tapi aku pakai nasi ya.” “Kakinya lagi sakit, Mas Yudhis? Asam urat? Atau keseleo?” “Hah? Eh maaf, bagaimana Pak?” Yudhis tidak mengerti apa maksud Arjuna. “Memangnya nggak bisa jalan sendiri untuk pesan makanan? Dan menurut saya, seharusnya laki-laki yang menawarkan pacarnya, memesankan makanan, bahkan mengambilkan minuman. Itulah pelayanan untuk seorang wanita. Eh, Mas Yudhis ini pacarnya Mbak Rayya, kan? Saya sih hanya dengar dari orang-orang di kantor saja. atau—malah pacarnya Mbak Sabrina?” “Hah?!” Yudhistira terhenyak. Kedua bola matanya membulat dengan kedua alis mengangkat. “Umm bu—bukan, Pak.” “Ohh maaf, saya lihat dekat dengan Mbak Sabrina malah.” Arjuna terkekeh sambil menoleh pada Rayya. Sedangkan Rayya justru memandang Arjuna tanpa berkedip. Suasana benar-benar dibuat canggung. Semua yang dikatakan Arjuna bagaikan sedang memperjelas situasi yang terjadi. Tidak ada yang salah. Yudhistira merasa tersindir. Sabrina tak enak hati. Dan Rayya cukup terkejut, ingatannya belum benar-benar terkumpul tentang semua di masa ini. Ataukah memang dirinya yang terlalu bodoh? Sehingga sampai berujung diselingkuhi oleh sahabat sendiri, di tahun pertama pernikahannya. “Ohh nggak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja. Umm—biar saya pesan sendiri sop ayamnya. Umm Rayya, kamu mau tambah sesuatu? Kerupuk? Nasi? Atau tambah minumannya?” Rayya menggeleng. “Nggak, Mas. Makasih.” Yudhistira mengangguk, lalu beranjak dari sana menuju stand sop ayam. Arjuna tersenyum tipis. Dia melanjutkan makannya. Rayya dan Sabrina juga ikut melanjutkan makan. Suasana benar-benar canggung. Rasanya, hanya Arjuna yang terlihat menikmati makan siang. Yudhis telah kembali ke meja, tidak lama kemudian seporsi sop ayam dan nasi putih diantarkan, berikut es teh manis. “Mari makan, Pak Juna.” “Oh ya, silakan. Hemm pantas saja ya. kalian hobi makan di kantin, masakannya enak. Nasi goreng ini lumayan rasanya, dengan harga seporsi lima belas ribu, tadi saya lihat harganya.” Yudhis terkekeh kecil sambil mengangguk-angguk. “Nah, kan, Ray, apa aku bilang. Makanan kantin tuh nggak kalah rasanya sama menu di restoran. Tuh buktinya Pak Juna saja bilang kalau nasi gorengnya enak. Jadi Ray, nggak usahlah minta-minta makan di restoran segala, buang-buang uang.” Yudhis kembali terkekeh, sambil terus mengunyah makan siangnya dengan begitu lahap. Arjuna terkekeh sambil menunjuk ke arah Yudhis. Dipikir Yudhis sang bos setuju dengan semua ucapannya, jadi dia ikut terkekeh. “Mas Yudhis ini lucu juga loh, tipe-tipe netizen yang suka menggoreng berita ya. Saya kan tadi hanya bilang masakan di sini ternyata rasanya lumayan juga, yaa memang benar ini termasuk enak menurut saya. Tapi—makan enak sesekali atau bahkan seringkali, di restoran pilihan kita sendiri, itu boleh-boleh saja. Justru itu namanya reward untuk diri sendiri, atas hasil kerja keras sendiri. Kalau Mbak Rayya mau makan di restoran dengan uang gajinya sendiri, itu keren namanya. Karena mampu menghidupi diri sendiri dengan layak. Dan ….” Arjuna menatap seraya tersenyum ke arah Yudhis. “Kalau Mbak Rayya makan di restoran dengan ditraktir pacarnya, itu namanya keberuntungan. Beruntung karena punya pacar nggak pelit.” “Uhuk! Uhuk!” Yudhis terbatuk sampai matanya memerah. Dia tersedak kuah pedas. Rayya segera menyodorkan botol air mineral pada Yudhis. Lalu tersenyum tipis pada Arjuna. Dalam hati kecilnya, sebenarnya Rayya senang mendapat pembelaan seperti itu dari si bos besar. Dia tidak menyangka sama sekali, Arjuna yang biasanya terlihat dingin dan cuek, justru mau ikut membahas hal-hal kecil begini. Yang dia sendiri tidak pernah terpikir. “Oh ya, saya duluan ya. Sebentar lagi ada meeting. Kali ini saya yang traktir.” Arjuna meletakkan tiga lembar uang ratusan ribu, yang tentu saja melebihi harga dari seluruh makanan mereka berempat. Lalu dia melirik ke arah Yudhistira. “Laki-laki bangga kalau bisa nraktir gadis-gadis cantik.” Tersenyum tipis. Lalu melenggang dari sana. Pandangan Yudhistira mengikuti punggung Arjuna hingga menghilang keluar dari kantin. Kemudian dia kembali menatap bergantian pada Rayya dan Sabrina. “Pak Juna lagi kenapa sih itu? Aneh! Segala bahas makan di restoran.” Sabrina mengibaskan tangan di depan wajah lalu tersenyum. “Sudahlah, jangan dipikirin. Mungkin Pak Juna lagi stres ngurusin perusahaan, terus iseng aja nimbrung di sini dan ikutan ngobrol. Selama ini kan nggak pernah begitu. Yuk, lanjut makan aja!” “Iya tuh, lagian maksudku nggak akan di restoran itu kan supaya hemat. Uangnya ditabung untuk rencana pernikahan. Supaya bisa bikin pesta yang meriah, yang berkesan dan nggak malu-maluin. Iya kan, Sayang?” Yudhis mengusap tangan Rayya di atas meja. Rayya menatap lurus pada Yudhis. Keningnya sedikit mengernyit. “Jadi—kita punya tabungan untuk menikah nanti?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN