“Ray, memangnya kamu lupa? Kok bisa lupa? Kan memang tiap bulan itu kalian nabung. Aku aja yang bakalan cuma jadi bridesmaid inget kok.” Sabrina tergelak.
Menyusul Yudhis yang juga ikut tergelak lalu mengatakan kalau Rayya mungkin saja terlalu stres dengan proyek film terbaru, makanya sampai lupa.
Jadi, Sabrina tahu kalau aku dan Mas Yudhis punya tabungan pernikahan? Kalaupun punya, bukankah itu seharusnya bersifat pribadi? Kenapa Sabrina harus sampai tahu? Rayya membatin, bingung.
Tapi kemudian dia ikut terkekeh kecil sambil geleng-geleng kepala. “Ya, sepertinya memang aku agak stres nih, apalagi deadline film ini kan sudah awal tahun depan. Termasuk cepat banget.”
Aku mulai curiga pada mereka berdua. Jangan-jangan perselingkuhan mereka sudah terjadi sejak kami masih berpacaran. Sejak saat ini. Aku nggak boleh bodoh! Dan aku nggak mau diselingkuhin!
Rayya bersikap sesantai mungkin. Kembali menyantap sop ayam dengan tenang. Selagi Yuhdis dan Sabrina terlihat sedang asyik bercanda, Rayya mengambil tiga lembar uang ratusan ribu dari atas meja.
“Aku bayar dulu semuanya, ya.”
Yudhis menoleh dan langsung menahan tangan Rayya. “Umm Sayang, itu uangnya kamu ambil semua? Ini paling hanya habis seratus lima puluh ribuan. Bagaimana kalau sisanya ditabung saja? Lumayan, kan?”
Rayya sempat terdiam, agak kaget juga dia melihat betapa perhitungannya Yudhis. Detik kemudian dia tersenyum, lalu melepas tangan Yudhis perlahan.
“Tapi aku pengen beli kopi, Sayang. Iced latte yang di seberang kantor. Kalau kamu dan Sabrina mau juga, nanti aku beliin sekalian. Aku kesana dulu, ya.”
“Loh! Sayang—”
Tapi Rayya sudah berjalan meninggalkan meja. Yudhistira dan Sabrina saling bertatapan, merasa aneh dengan sikap Rayya. Padahal biasanya Rayya sangat penurut.
“Ray! Aku mau iced latte juga, ya! Sekalian sama Mas Yudhis juga!” Sabrina tidak mau rugi.
Rayya membalas teriakan Sabrina dengan mengangkat tangan, lalu berjalan keluar dari kantin. Menuju café seberang kantor.
Kantin kantor letaknya di lantai lobi, tapi agak di belakang, jadi Rayya berjalan menyusuri lobi utama yang cukup luas untuk keluar lewat pintu depan utama.
“Mbak Rayya? Mau kemana?”
Rayya menoleh dan langsung berhenti melangkah. Sapaan itu dari salah satu sofa yang dilewatinya. Sejak tadi dia berjalan cepat sambil sibuk berpikir, sampai-sampai tidak melihat Arjuna yang sedang duduk di sofa.
“Eh, Pak Juna. Maaf Pak, saya nggak lihat.” Rayya membetulkan letak kacamata.
“Nggak apa-apa. Memangnya kamu mau kemana?” tanyanya lagi.
“Umm mau ke café depan, Pak. Mau beli kopi.”
“Hem? Tapi ingat ya, nanti pulang kerja juga kita mau ngopi bareng, sambil bahas proyek. Jangan sampai lupa!” Lalu kembali beralih pada layar handphone.
“I—iya Pak. Saya pergi dulu, Pak.”
“Hem.” Tidak mengalihkan pandangannya dari handphone.
Kening Rayya mengernyit. Lalu dia cepat-cepat pergi dari sana. Aneh! Tadi di kantin ramah banget sikapnya. Eh sekarang tiba-tiba ketus lagi. Huft! Pak Juna cepat banget kembali ke setelan awal! Rayya membatin dan terus berjalan.
Setelah kembali lagi ke kantor dengan membawa tiga cup iced latte, Rayya langsung masuk ke ruangannya. Dia menelepon Sabrina.
“Sab, kamu ambil iced lattenya di ruanganku, ya. Sekalian punya Mas Yudhis nih.”
“Hah? Kok kamu nggak anter aja sih ke mejaku?”
Nada suara Sabrina dibuat seperti sedang merajuk.
“Nggak sempat, Sab. Kerjaanku banyak nih, nanti pulang kerja aku ada meeting sama Pak Juna.”
“Hemm ya udah deh.”
Sambungan telepon ditutup oleh Sabrina. Tidak lama kemudian, pintu ruang produser diketuk seseorang. Tapi belum sempat Rayya menjawab, pintu itu sudah dibuka dari luar. Sabrina muncul dengan senyum sumringah.
“Ray! Mana kopiku? Sekalian aku bawain untuk Mas Yudhis.”
Rayya mengambil dua cup kopi dari rak susun di belakangnya, lalu meletakkan di meja. “Ini.”
Dengan melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang baru diberikan es krim, Sabrina terlihat senang sekali. Dia mengambil dua cup kopi lalu mengerling pada Rayya yang terlihat fokus pada layar laptop.
“Memangnya nanti sepulang kerja kamu ada meeting dengan Pak Juna?”
“Hem? Iya.”
“Siapa saja di tim satu yang akan ikut meeting, Ray?”
Kening Rayya mengernyit. Dia sungguh tidak tahu tentang itu. Sebab tadi dia tidak sempat bertanya pada Pak Arjuna. “Umm siapa saja ya? Nggak tau juga deh. Aku nggak sempat tanya tadi.”
Sabrina mengerucutkan bibir. “Umm gitu, ya? Mas Yudhis ikut meeting nggak?”
Rayya mengedikkan kedua bahu. “Mungkin nggak, karena Mas Yudhis nggak bilang apa-apa sama aku. Tapi aku belum tanya langsung sih. Nanti aku chat Mas Yudhis kalau aku mau meeting, jadi kalau memang dia nggak ikut, bisa pulang duluan saja.”
“Ohh oke.” Sabrina mengangguk-angguk. Tersenyum tipis. Kemudian mengangkat sedikit kedua tangan yang memegang cup kopi. “Makasih ya kopinya.” Lalu keluar dari ruang produser.
Namun baru saja dia menutup pintu, dibukanya kembali lalu tersenyum menatap Rayya. “Ray, malam ini aku nginep di apartementmu boleh? Lagi malas pulang ke rumah. Ada papaku, malas pulang ke rumah, berantem terus kalau ada papa.”
Ingatan Rayya langsung melayang dan terkunci pada satu wajah. Dia ingat papanya Sabrina. “Oh, Om Rudy pulang? Gimana sih kamu, papamu pulang sebulan sekali kok malah nggak mau ketemu?”
“Pulangnya sih sudah dari dua hari lalu, Ray. Akurnya ya gitu, cuma dua hari, selebihnya beda pendapat terus, malas aku. Boleh ya, Ray?” Sabrina memasang wajah memelas.
Rayya mengangguk. “Ya sudah. Nanti kalau kamu sudah ngantuk, tidur saja duluan, nggak usah tunggu aku pulang.”
“Yeee oke siap, Bu Produser!” Sabrina tersenyum manis lalu mengedipkan sebelah mata. Kemudian benar-benar menutup pintu ruangan dan pergi dari sana.
Rayya menghela napas dalam. Dia merasa heran. Wajah dan sikap Sabrina sama manisnya. Tapi semanis itu kenapa tega mengkhianatinya? Tega berselingkuh dengan suami sahabat sendiri?
“Aku harus cari tau, awal mereka berselingkuh dan kenapa?” desis Rayya pelan.
Baru saja Rayya akan melanjutkan kerja, dering handphone mengalihkan perhatiannya. Nama ‘Pacarku’ yang tertera di layar. Itu nomor Yudhis.
“Hallo?”
“Hallo, Rayya?”
“Iya, Mas? Kopinya sudah sampai?”
“Eh iya, sudah nih barusan aja. Makasih ya. Oh ya Ray, kata Sabrina nanti sepulang kerja ada meeting ya dengan Pak Juna?”
“Ehm iya betul, Mas. Tapi sepertinya hanya dengan aku deh. Karena nggak ada email masuk, kan? Biasanya kalau meeting satu tim pasti diinfo di email.”
“Iya sih. Kok cuma berdua yah?”
Terdengar nada suara Yudhis yang sepertinya bingung.
“Yaa mungkin saja Pak Juna hanya mau fokus membahas anggaran dananya dulu, Mas. Baru nanti akan ada meeting susulan. Untuk satu tim.”
“Hemm gitu ya? Ya sudah deh. Nanti aku pulang duluan nggak apa-apa, Ray? Atau mau kutungguin aja di kantor?”
“Ehh nggak usah, Mas. Aku bisa pulang naik taksi nanti. Kan belum tau juga meetingnya sampai jam berapa.”
“Huft! Aku khawatir deh kamu meeting cuma berdua sama Pak Juna.”
Rayya terkekeh kecil.
“Khawatir apa sih, Mas. Ini kan meeting soal kerjaan. Lagipula meetingnya di café, tempat umum dan ramai. Nanti kalau sudah pulang aku kabarin Mas Yudhis.”
“Benar ya, Ray? Janji ya pas mau pulang dari café nanti kamu kabarin aku? Terus pas udah sampe juga jangan lupa kabarin lagi. Janji, ya?”
“Iya, Mas.”
“Ya sudah kalau gitu. Aku jadi agak tenang sekarang. I love you, Sayang.”
“Love you too, Mas.”
Klik. Sambungan telepon ditutup. Mas Yudhis sekhawatir itu padaku? Sepertinya dia cemburu. Kalau begitu, apakah Sabrina yang memulai menggoda Mas Yudhis?