Rayya melangkah memasuki café di seberang kantor. Sebenarnya di lobi kantor juga ada café, tapi hanya buka sesuai dengan jam operasional kantor.
Ternyata, dilihatnya di sana, si bos sudah duduk dengan gayanya yang elegant. Tapi—sendirian.
Jadi, betulan nih hanya meeting berdua? Pikir Rayya, mungkin pembahasannya memang tentang pendanaan yang bersifat tertutup.
“Sore Pak Juna.” Karena ini memang masih termasuk sore. Meskipun sebentar lagi matahari juga akan terbenam.
Arjuna mendongak. Tersenyum tipis. Mata elangnya menatap tajam dan dalam ke arah Rayya. Wanita mana yang tidak akan klepek-klepek ditatap sedalam itu oleh pria setampan Pak Arjuna.
Tapi tidak untuk Rayya. Dia yang sudah hapal bagaimana sikap Arjuna saat bekerja, alias sangarnya bukan main, membuatnya langsung membatasi diri. Bahwa pesona ketampanan seorang Arjuna hanya untuk dikagumi saja, cukup sebatas itu, jangan berlebih.
“Silakan duduk, Mbak Rayya.”
Rayya mengangguk. Duduk di satu-satunya kursi yang kosong mengitari meja bundar itu. berseberangan dengan kursi Arjuna.
“Umm—maaf ya Pak, kalau terlalu lama menunggu. Tadi saya selesaikan satu laporan dulu.” Rayya merasa tak enak hati karena Arjuna yang lebih dulu sampai.
“Nggak masalah kok. Kamu pesan saja dulu, saya sudah pesan tinggal tunggu datang.” Arjuna menyodorkan buku menu di atas meja.
Rayya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung. Seingatnya, dia memang pernah beberapa kali meeting hanya berdua dengan bapak CEO ini, tapi tempatnya di kantor. Kalau bukan di ruang meeting kecil, sudah tentu di ruang CEO.
Meeting di luar juga sering, tapi itu adalah meeting eksternal. Maksudnya dengan pihak ketiga, misal dengan aktris atau aktor pemeran film.
“Mbak, saya mau pesan.” Rayya memanggil satu pelayan yang kebetulan sedang berdiri tidak jauh darinya.
Pelayan tersebut mengangguk ramah. Mendekati Rayya dan menyiapkan alat tulis. “Silakan, Mbak.”
“Ice lemon tea satu ya, Mbak. Sudah itu saja.”
“Loh! Kok minum saja? Sekalian dengan makanannya, kita meeting sampai malam loh. Pesan saja yang banyak. Makanan utama dan juga camilan, terserah kamu.” Lalu kembali beralih pada layar handphone.
Rayya sampai ternganga mendengarnya. Meeting sampai malamnya itu jam berapa ya Pak? Ini membahas apa saja juga aku belum tahu apa-apa loh.
“Makanannya mau apa, Mbak?”
“Eh.” Rayya kembali beralih pada buku menunya. “Saya pesan avocado toast.”
“Ada lagi Mbak?”
Rayya menggeleng. “Sudah Mbak, itu saja.”
Pelayan mengulangi pesanan. Lalu beranjak dari sana.
Rayya mengeluarkan buku kecil, senjata andalannya untuk mencatat apapun yang menurutnya penting. Rayya tidak terlalu tertarik mencatat di note handphone. Dia lebih suka corat-coret di buku saku yang dia sebut—buku pintar.
“Jadi Pak Juna, apa kita akan membahas tentang pendanaan film ‘Bismillah Kunikahi Suamimu’?”
“Hem?” Arjuna meletakkan handphone di atas meja. Bertepatan dengan pesanannya yang datang. Secangkir americano panas, air mineral botol, dua porsi roti panggang beda rasa, dan semangkuk campuran almond dan walnut.
“Umm Bapak lagi lapar ya?” Detik kemudian Rayya menyesali pertanyaannya sendiri. Sebab sebenarnya bukan urusan dia mempermasalahkan pesanan sang bos, kan? Rayya menarik napas dalam, takut menyinggung perasaan Arjuna.
Namun Arjuna justru terkekeh. “Kan sudah saya bilang, pesan yang banyak, karena kita akan meeting cukup lama.” Arjuna menyesap kopi hitamnya perlahan. Tampak sangat menikmati.
Kemudian dia kembali menatap Rayya dengan tatapan elang andalannya. “Soal film, proyekmu ini, saya yakin kamu akan mampu menjalankan dengan baik. Kalau kamu perlu bantuan dari tim dua atau tim tiga, bilang saja, saya yang akan bicara pada produser mereka.”
Rayya mengangguk seraya tersenyum. Dia senang mendapat dukungan penuh. Dan menurutnya sendiri, film ini akan melejit di pasaran. Dia sangat percaya diri akan itu. “Terima kasih, Pak. Nanti jika memang saya butuh bantuan dari tim lain, akan langsung saya kabarin pada Bapak.”
“Yaa asalkan satu yang perlu diingat. Jangan campurkan masalah pribadi ke dalam pekerjaan. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti saat proyek berjalan. Saya ingin kamu profesional—Mbak Rayya.”
Kening Rayya mengernyit. “Ya, tentu Pak.” Detik kemudian Rayya merasa ragu. Seperti kebiasaannya, jika memikirkan sesuatu, maka seringkali dia meragukan dirinya sendiri. “Tapi—apa menurut Pak Juna, saya kurang profesional?”
Sejujurnya, itu sekaligus pertanyaan untuk dirinya sendiri. Sebab Rayya belum sepenuhnya ingat dengan semua yang pernah terjadi pada dirinya di masa ini.
Pelayan datang. Meletakkan pesana Rayya di atas meja. Rayya mengucapkan terima kasih, lalu kembali menatap lurus pada Arjuna di seberang meja. Dia butuh jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Kita sambil makan, ya. Ini sudah masuk waktu makan malam.” Arjuna memotong roti panggang di atas piring.
Rayya mengangguk. Dia mengambil minumannya dari atas meja. Kemudian melahap sesendok avocado toast.
Handphone yang dia letakkan di atas meja layarnya menyala sebentar, Rayya sempat melihat ada notifikasi pesan masuk, dari nama ‘Pacarku’. Rayya membuka pesan singkat itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan tetap memegang sendok.
[Kabari aku kalau sudah selesai meeting ya Sayang. Kalau aku nggak ketiduran, akan kujemput. Aku capek banget tapi aku khawatir kalau kamu pulang terlalu malam, sendirian.]
Rayya tersenyum tipis. Ternyata ada sisi baiknya juga, atau mungkin Yudhistira belum terlalu termakan dengan godaan Sabrina saat ini? Pertanyaan itu menggantung di kepala Rayya. Dia mengetik dengan tangan kiri.
[Iya, Mas. Nanti kukabari ya. Aku masih meeting sekarang.]
Tidak ada pesan masuk lagi dari Yudhistira. Rayya kembali menyuap makanannya.
“Terkadang—saya melihat kamu kurang profesional. Saat berkaitan dengan—Yudhistira.”
Tiba-tiba sekali Arjuna berkata seperti itu. Membuat Rayya hampir tersedak. Cepat diteguknya minuman dalam gelas.
Lalu meletakkan sendok di pinggiran piring. Dia menatap penuh tanda tanya. Memangnya ada masalah apa aku dengan Mas Yudhis yang sampai menurunkan kinerja kerjaku? Pertanyaan itu bergema di benaknya.
“Mbak Rayya, kalian belum terlalu lama kan menjalin hubungan?”
Rayya bingung. Mau menjawab apa. Terus terang dia lupa tanggal jadian dengan Yudhistira. Jadi Rayya hanya mengangguk pelan untuk menjawabnya.
“Kamu sepertinya ragu. Kalau ragu lebih baik pikir-pikir lagi.”
Hah?! Kedua alis mengerut. Apa maksud Pak Juna? Kok malah membahas tentang masalah pribadi?
Arjuna tersenyum tipis. “Maksud saya, kamu jangan terlalu nggak enakan. Mulai belajar kurangi kata maaf. Bukan saya mengajari kamu jadi egois. Tapi kamu juga perlu memikirkan diri sendiri.”
“A—apa maksud Pak Juna?”
Arjuna berdeham pelan. “Mbak Rayya, bukannya saya mencampuri urusan pribadi tapi—menurut saya kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Yudhistira. Apalagi jika sampai ada niat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.”
Rayya merasa canggung. Situasinya semakin membuatnya tak nyaman. “Pak Juna, maaf, tapi—apa bisa kita membahas soal pekerjaan saja? Membahas hubungan saya dengan Mas Yudhis nggak ada hubungannya dengan pekerjaan, kan?”
“Siapa bilang? Tentu saja ada.” Dengan santainya Arjuna kembali melahap roti panggang. Lalu meneguk air mineral. “Hubungan yang kurang baik, akan mempengaruhi pekerjaan di kantor. Kamu stres, pikiranmu berlebihan, selalu merasa tertekan … itu semua bisa berakibat buruk untuk kesehatanmu. Mungkin nggak sekarang, tapi nanti—beberapa tahun ke depan. Padahal karirmu sedang menanjak saat itu.”
Deg. Rayya merasakan semua yang diucapkan oleh Arjuna adalah tentang dirinya di masa depan.
Tiba-tiba bayangan-bayangan tentang masa depannya yang suram. Di tahun 2025. Kembali menjadi potongan-potongan yang berkelebat di dalam kepalanya.
Bisa berakibat buruk—untuk kesehatanku—di masa depan. Ya, tentu saja, di masa depan, yang sudah pernah kulewati, masa depanku buruk sekali! Aku bahkan menderita sakit kanker p******a stadium empat! Dan—d**a sebelah kiriku harus diangkat. Aku sangat jelek. Penyakitan. Hanya punya satu p******a. Jadi bagaimana mungkin suamiku mampu bertahan dengan istri seperti aku!
Bayangan itu. Saat Rayya berjuang melawan penyakitnya, sendirian. Di Rumah Sakit Kanker Jakarta, ditangani Dokter Johan. Bahkan dokter sudah menyuruh Rayya untuk beristirahat, tapi selalu dia bantah dengan kalimat: aku harus tetap bekerja, sampai aku meninggal.
Suaminya yang pengangguran bahkan lebih memilih bermain games online dibandingkan menemaninya ke rumah sakit. Lalu ibu mertuanya yang galak terus menyuruhnya kerjakan ini dan itu, mengambil seluruh gajinya untuk kebutuhan sehari-hari.
Membayangkan itu semua, membuat Rayya tiba-tiba merasakan kembali bagaimana sesaknya dia bernapas saat itu. Seperti sudah akan mati. Padahal vonis dari dokter hidupnya masih enam bulan lagi—paling lama.
Rayya memegangi dadanya yang kesulitan bernapas. Dunia serasa pengap. Rayya kekurangan oksigen.
“Aaaaahhh!”