Setelah insiden memalukan di café tadi, Rayya langsung pamit pulang. Beralasan tidak enak badan, tiba-tiba merasa pusing dan sepertinya mau demam. Alasan yang agak aneh memang. Tapi mau bagaimana lagi, malunya sampai ke ubun-ubun.
Dia tiba-tiba berteriak kencang. Tidak hanya membuat Arjuna kaget bercampur khawatir. Tapi juga pengunjung café lain ikut kaget dan langsung menatapnya aneh.
Bahkan manager café sampai menawarkan teh manis hangat gratis. Di sinilah dia sekarang. Setelah turun dari taksi, Rayya berdiri tegak menatap tower apartement yang menjulang tinggi di depannya. Termasuk mewah di kawasan jantung kota Jakarta.
Rayya tersenyum. Namun detik kemudian senyumannya hilang begitu saja. Gajiku mampu untuk menyewa apartement ini dan juga mampu untuk membeli rumah di Gading Serpong, juga termasuk perumahan elite. Ya, aku mampu. Tapi kenapa bisa- bisanya aku diperlakukan seperti numpang hidup oleh suami dan mertuaku sendiri?
Rayya menarik napas dalam. Kaki jenjangnya kembali melangkah, memasuki lobi tower A ini.
“Selamat malam, Mbak Rayya.” Seorang satpam yang berjaga di pintu masuk menyapa dengan ramah.
Rayya membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum.
“Tumben Mbak, sampai malam betul?” Sepertinya memang bapak satpam ini sangat ramah. Sebab kalau karena sudah akrab sepertinya tidak mungkin. Rayya terbiasa hanya bicara yang penting-penting saja, dan pada orang-orang tertentu. Untuk yang tidak terlalu dekat, maka Rayya hanya akan sebatas memberi senyum dan anggukan saja.
“Ah, iya Pak, saya lembur. Permisi.” Rayya sudah akan melangkah menuju lift ketika satpam itu kembali menyita perhatiannya.
“Tadi temannya Mbak Rayya sudah datang duluan.”
Rayya menoleh dan sekali lagi mengangguk. Dia tahu itu, sebab Sabrina memang sudah bilang padanya akan menginap malam ini.
“Berdua.” Satpam itu tersenyum.
Kening Rayya mengernyit. “Berdua, Pak?”
“Iya. Dua-duanya teman Mbak Rayya, kan? Yang sering kesini, jemput Mbak di lobi.”
Deg. Rayya menelan ludah dengan berat. Dia tahu. Yang dimaksud pak satpam adalah Sabrina dan Yudhistira. Sebab seingatnya, tidak ada lagi teman yang dia ajak ke apartement ini. Tidak punya kakak. Tidak punya adik. Tidak punya banyak teman. Jikapun ada teman, hanya sebatas rekan kerja. Kecuali Sabrina, sahabat terdekatnya sejak di bangku SMA, satu-satunya.
Rayya mencoba tersenyum, dengan manis. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kan. Tidak akan menelan sakit hati oleh tingkah keduanya, untuk kedua kali. Rayya tidak sudi. Kesempatan terlahir kembali di tahun 2022 ini, akan dia manfaatkan untuk membalas dendam pada keduanya.
“Baik, terima kasih Pak. Saya permisi.” Cepat Rayya melangkahkan kaki menuju lift. Dia tidak ingin terlalu lama mengobrol dengan pak satpam. Selain merasa kurang nyaman, dia juga ingin segera naik untuk bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan di unit apartement miliknya.
Ini gila! Ternyata mereka sudah cukup lama berhubungan. Dan selalu tidak bermodal sendiri! Cih, dasar dua-duanya benalu!
Rayya terus merutuk dalam hati. Meskipun dia sendiri yang sedang mencari tahu tentang segala hal yang berhubungan dengan perselingkuhan di belakangnya, juga rencana pembunuhan padanya. Tetap saja begitu menemukan faktanya, Rayya merasa sangat kesal.
Sabrina adalah orang yang paling tidak dia sangka akan berbuat jahat padanya. Karena sejak sekolah, hanya Sabrina yang begitu ingin berteman dengannya dan terlihat selalu melindunginya. Ternyata ….
Rayya sampai di lantai lima belas. Dia keluar lift dan langsung mengingat ke arah mana harus melangkah. Ternyata ingatannya tentang apartement tempatnya tinggal ini masih terbayang jelas. Langkahnya terhenti di depan pintu unit nomor 157.
Ya, disinilah dia tinggal. Lalu, tujuh bulan sebelum menikah, dia membeli sebuah rumah dua lantai di kawasan elite Gading Serpong. Membeli rumah itu adalah atas keinginan calon ibu mertua. Ibunya Yudhistira. Dengan alasan supaya tidak terlalu jauh dengan tempat kost Anjani, adiknya Yudhistira.
Dengan bodohnya saat itu Rayya berhasil dirayu, padahal dia sudah menjelaskan bahwa jarak kantor dengan perumahan itu cukup jauh. Bawa mobil sendiri harus lewat tol, belum lagi melewati beberapa titik macet. Sampai terpaksa Rayya pulang pergi bekerja dengan menggunakan kereta.
Rayya menarik napas dalam. Dia menatap deretan angka di knop pintu. Sabrina tahu persis angka kunci pintu ini. Rayya sendiri yang memberikan karena terlalu seringnya Sabrina main kesini. Dan tak jarang sampai menginap.
Menutup mata sebentar. Membayangkan apa yang akan dilihatnya di dalam sana. Kemudian tersenyum tipis dan mulai menekan deretan angka untuk membuka kunci pintu.
Ceklek. Pintu dibuka dengan gerakan biasa oleh Rayya. Tidak sengaja pelan-pelan. Tidak sengaja berusaha mengendap. Benar-benar seperti baru pulang kerja dan bahkan menutup pintu kembali dengan agak kencang.
Terdengar suara agak berisik dari arah kamar. Juga suara orang berbicara tapi seperti ditahan, sedang berbisik. Rayya tersenyum miring. Pikirnya, mereka berdua pasti sedang tergesa, merapikan diri masing-masing lalu akan bersikap pura-pura wajar. Seperti tidak ada yang terjadi, untuk menutupi kesalahan mereka.
Rayya meletakkan sepasang sepatu kerjanya pada rak di dekat pintu. Dilihatnya di sana ada sepasang sepatu pantofel pria. Rayya hapal, itu sepatu punya Yudhis. Sebab dialah yang membelikannya untuk Yudhis.
Lalu juga ada sepasang sepatu wanita berwarna merah!
Deg! Ingatan Rayya langsung terhubung pada kejadian September 2025. Dia yang pulang ke rumahnya, rumah miliknya karena itu dibeli dari hasil jerih payahnya sendiri. Pulang dalam keadaan sakit di sekujur tubuh dan napas yang sesak.
Tiba-tiba melihat sepasang sepatu wanita berwarna merah. Ya, Rayya tahu persis, Sabrina memang penyuka warna merah terang. Berbeda dengan dirinya yang nyaman dengan warna hitam atau putih saja.
Waktu itu disangkanya sepatu merah milik Anjani, yang sedang berkunjung ke rumah.
Sekarang, dia sangat yakin dua pasang sepatu ini adalah milik Sabrina dan Yudhistira. Rayya baru saja berjalan setelah meletakkan sepatunya, ketika dilihatnya Sabrina keluar dari satu-satunya kamar di unit apartement ini. Dia tampak tersenyum, manis sekali. Tapi lipstiknya pudar, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat mengkilap menggoda.
“Rayya, sudah pulang?” Senyumnya masih merekah. Satu tangan merapikan rambut panjangnya yang tergerai dengan—agak berantakan.
“Hemm iya.”
Sorot mata Rayya beralih pada seorang pria tinggi, cukup tampan dan menarik seandainya memiliki sifat setia dan bisa menghargai wanita. Sekarang, di mata Rayya, pria bernama Yudhistira itu tidak tampan sama sekali.
“Mas Yudhis? Di sini juga?” Rayya menaikkan kedua alis. Tapi ada senyuman tipis pada garis bibirnya. Dia hanya sedang pura-pura kaget. Juga pura-pura tidak ada rasa curiga. Supaya mereka yakin, kalau Rayya masihlah seorang gadis bodoh yang begitu mudah percaya.
Yudhistira tersenyum lalu mengangguk sekali. Berjalan cepat mendekati Rayya, melewati bahu Sabrina begitu saja.
Rayya masih sempat memindai penampilan kekasihnya ini. Kemeja kerjanya masih sama dengan tadi pagi, dimasukkan ke dalam celana panjang chinonya, tapi tidak rapi. Rambutnya agak berantakan dan … ada bekas lipstik merah pada leher Yudhistira. Sedikit sekali—tapi Rayya dapat melihat itu.
Cup. Yudhistira mencium lembut kening Rayya. Ingin sekali rasanya Rayya muntah sekarang juga. Membayangkan bibir yang menciumnya baru saja b******u dengan sahabatnya sendiri. Mungkin bibir itu bekas mencium sekujur tubuh Sabrina. Jijik sekali Rayya membayangkannya. Namun dia tersenyum.
“Kok di sini, Mas? Nggak bilang-bilang aku, mau kesini?” Nada suara Rayya begitu lembut.
Yudhis memegang kedua pipi Rayya. Tatapannya seperti penuh rasa sayang. Lewat ekor matanya, Rayya sedikit melirik Sabrina yang melengos di sana, seperti tidak sudi melihat Yudhis bersikap romantis padanya.
“Maaf ya Sayang aku nggak bilang-bilang. Aku malah nunggu kabar kamu loh, aku pengen jemput kamu sekalian ngajak Sabrina. Tadinya aku mau ajak makan di luar. Sepertinya makan nasi goreng bertiga enak kan malam-malam begini. Ehh kamunya malah udah sampe sini.”
Raut wajah Yudhistira dibuat memelas. “Kok kamu nggak telepon atau chat aku sih kalau sudah pulang dari meeting? Gagal deh rencana jemput kamu terus makan bertiga di luar.
Rayya tersenyum, perlahan sekali melepas kedua tangan Yudhis dari pipinya. “Iya. Maaf ya Mas, tadi tuh aku udah capek banget, makanya langsung pulang saja.” Lalu berjalan ke arah kamarnya.
Sabrina yang melihat itu langsung panik. “Eh Ray, tunggu!”