“Kenapa?” Rayya menoleh, bingung. Sorot matanya terus mengikuti sikap Sabrina yang aneh.
“Kamu mau kemana? Masa’ masih ada Mas Yudhis mau ditinggal ke kamar sih?” Sabrina mendekati Rayya lalu menuntunnya sampai duduk di sofa. “Kamu di sini saja dulu dengan Mas Yudhis. Sini biar aku yang simpenin tas kamu di kamar. Sama biar aku yang beresin tempat tidur buat kita tidur nanti malam.” Sabrina mengambil tas selempang dari pundak Rayya.
“Hem? Tempat tidurku selalu rapi kok, sebelum aku berangkat kerja pasti seluruh ruangan terutama kamar akan kurapikan. Jadi yaa nanti kita tinggal tidur saja.” Rayya mengatakan yang sejujurnya.
Sabrina terlihat sedang berpikir, mencari alasan lain yang lebih masuk akal. Saat itu dia melirik Yudhistira dan mengedipkan mata seperti memberi kode.
Yudhistira segera duduk di samping Rayya. “Iya Ray, temani aku dulu di sini. Aku pengen ngobrol sama kamu. Sebentar lagi aku pulang kok. Aku tau kamu capek. Tapi sebentar lagi aja, ya? Mau kan?”
Rayya mengangguk, tersenyum tipis. Kemudian duduk di samping Yudhis. Dia tidak mau berdebat. Untuk sekarang, dia hanya perlu mengikuti arus. Supaya tahu di mana ombak dahsyat itu akan menerjang.
Melihat Rayya sudah duduk tenang, segera Sabrina masuk ke kamar. Dia menepuk jidat ketika melihat ranjang yang berantakan. Tadi saat mereka sampai kesini, ranjang kamar Rayya sangat rapi.
Dan memang selalu seperti itu. Sekarang, bagian ujung sprei terlepas, bantal dan guling jatuh ke lantai, hanya selimut yang masih terlipat rapi.
Mau bagaimana lagi, tadi permainan mereka di ranjang sangat panas. Sampai tidak sadar Sabrina meremas lalu menarik sprei, Yudhistira menendang bantal dan guling.
Dan—ohh ya ampun! Apa itu?! Sabrina menutup mulut dengan kedua tangan. Dia melupakan satu yang penting. Jejak cairan bening yang tertinggal di kasur belum dia bersihkan. Segera Sabrina menarik laci meja nakas. Dia tahu di situ ada tisu basah dan tisu kering. Segera dibersihkannya cairan yang masih terlihat basah itu.
Kemudian dengan cepat dirapikannya tempat tidur, serta jejak-jejak lainnya yang menjadi saksi adegan panasnya dengan Yudhis tadi.
Di sofa depan, Yudhis menggeser letak duduknya mendekati Rayya, hingga lengan mereka menempel.
“Tadi meeting tentang apa Sayang?”
“Ohh, tentang persiapan proyek film terbaru kita. Tim satu.”
“Yaa itu sudah pasti. Tapi, kenapa aku nggak diajak Pak Juna ya?” Keningnya mengernyit.
Jabatan Yudhistira di kantor ASP adalah sebagai manager produksi unit, yang posisinya tepat di bawah Rayya. Biasanya saat meeting proyek dia akan diajak serta oleh CEO. Makanya dia merasa agak aneh juga, kali ini Pak Arjuna justru tidak memberinya kabar sama sekali di email.
“Yahh karena meeting tadi masih hanya membahas anggaran dana, Mas. Nanti kita akan meeting lebih besar saat masuk pembahasan jadwal produksi.”
Yudhis mengangguk-angguk. “Begitu ya. Umm tapi Sayang, aku tuh merasa gimana yaa, kalau kamu hanya meeting berdua dengan Pak Juna. Dia itu kan yaa … bisa dibilang sempurna sebagai laki-laki, kayak nggak ada kurangnya, kecuali sikapnya yang dingin dan galak.”
Rayya terkekeh. Dia mengangguk tanda setuju.
“Kalau kamu sering dekat dengan Pak Juna, apa kamu nggak ada rasa sama sekali sama dia?” lanjut Yudhis dengan tatapan penuh tanda tanya. Sebenarnya, dia memang benar-benar penasaran.
Di dalam kamar, Sabrina yang sudah selesai merapikan ranjang, berdiri di balik tembok, dekat pintu. Dia sedang menguping, penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan Yudhis dan Rayya.
Rayya kembali terkekeh kecil. Bukan urusanmu aku punya perasaan dengan siapapun, Mas! Urus saja diri kamu sendiri yang tega menyakiti perasaanku! Rayya menggeleng pelan. “Nggak lah, Mas. Aku dengan Pak Juna benar-benar hanya seputar pekerjaan. Lagipula yang benar saja Mas, kalaupun aku ada rasa dengannya, nggak mungkin kan dapat balasan yang setimpal. Wanita yang cocok dengan Pak Juna itu ya sama-sama pengusaha sukses, atau putri pejabat, atau hemm model papan atas mungkin.” Rayya menjawabnya dengan santai.
Sabrina menarik napas dalam. Dalam dadanya bergemuruh. Ada rasa kesal di sana. Apa Mas Yudhis sedang cemburu pada Rayya?
Yudhistira tersenyum. Menatap Rayya dengan sorot mata menggoda. “Benar juga ya. Selera Pak Arjuna pasti wanita kelas tinggi, bukan wanita sembarangan. Nggak mungkin rasanya dia ada hati dengan bawahannya sendiri. Yang kulihat sih Pak Juna itu orangnya cukup tinggi hati ya bla bla bla ….”
Rayya malas mendengar ocehan Yudhistira selanjutnya. Huft! Ternyata aku punya pacar mulutnya seusil ini, dia jago sekali bergosip ya. Dan apa katanya tadi? Selera Pak Arjuna bukan wanita sembarangan? Jadi maksudnya aku adalah wanita sembarangan begitu?
Yudhis merangkulkan tangannya di pundak Rayya. Lamunan Rayya buyar seketika. Dia tersentak dan menoleh. Wajah Yudhis mendekat, menatapnya lekat. “Sayang, kamu cantik sekali malam ini.”
“Hem?” Rayya tersenyum canggung. Wajahnya mundur perlahan.
Tapi Yudhistira terus mengarahkan wajahnya pada wajah Rayya. “Aku kangen loh. Kamu tuh kalau di kantor sibuk banget.” Tersenyum penuh nafsu, tatapannya mulai sendu. Seketika Yudhis lupa kalau ada Sabrina di sana.
Kedua tangan Sabrina terkepal kencang hingga ujung-ujung jarinya memutih. Dia berusaha keras menahan diri supaya tidak berteriak. Sebab cukup tahu diri kalau ini adalah sebagian dari rencana. Dia tidak boleh begini, tidak boleh cemburu. Dia harus mendukung hubungan Yudhis dengan Rayya, sampai mereka menikah. Begitu rencananya.
Tatapan Yudhis mulai turun ke bibir Rayya. Dia laki-laki, normal. Rayya bukannya tidak cantik dan menarik, dia hanyalah gadis yang tidak sadar kalau cantik. Dan juga tidak bersikeras ingin terlihat cantik.
Dua senti lagi bibir mereka bertemu, tiba-tiba Rayya mendorong d**a Yudhis. Lalu dia juga langsung berdiri.
Yudhis tersentak, menatap heran pada kekasihnya. “Kenapa Ray? Kamu nggak kangen aku?” Tatapannya penuh protes.
Rayya menggeleng, masih berusaha tersenyum. “Bukan begitu Mas, aku cuma merasa nggak nyaman, aku belum mandi. Dan hari ini capek banget.”
Sabrina di balik tembok pembatas kamar, tersenyum merekah. Dia senang, padahal seharusnya cemas.
Yudhistira berdiri, berhadapan dengan Rayya. Kedua tangannya menggenggam tangan Rayya. “Kamu capek? Mau aku pijitin, Sayang?” Tanpa menunggu jawaban, kedua tangan Yudhis sudah berpindah ke pundak kanan kiri Rayya.
Seketika Rayya merasa dirinya terkurung, tidak nyaman. Refleks Rayya mundur dua langkah sehingga kedua tangan Yudhis terlepas. “Mas, badanku lengket banget rasanya. Aku mau mandi dulu ya.”
Belum sempat Yudhis menjawab, Rayya sudah membalik badan lalu berjalan cepat menuju kamar. Sabrina yang melihat itu segera beranjak dari sana dan langsung berpura-pura sibuk dengan handphone.
Rayya masuk ke kamar, membuka lemari pakaian. Dia menoleh pada Sabrina yang duduk di tepi ranjang. “Sab, tolong temani Mas Yudhis dulu ya. Aku mau mandi.”
Sabrina mendongak lalu mengangguk. “Oke, Ray. Habis mandi kamu istirahat saja, pasti capek ya.”
“Iya.” Rayya meraih satu stel piyama tidur, lalu berjalan ke kamar mandi.
Sabrina tersenyum tipis. Dia langsung meletakkan handphone di atas meja nakas dan berjalan riang menuju ruang tamu. Di sana, Yudhis duduk sendirian dengan raut wajah ditekuk.
Namun ketika dia melihat Sabrina, senyumnya langsung muncul. Yudhis memiringkan kepala, melihat tidak ada Rayya di belakang Sabrina, dia langsung merentangkan kedua tangan. Dan Sabrina jatuh ke pelukannya.
“Ini sudah malam Mas, sebaiknya kamu pulang, ya?” bisik Sabrina.
Yudhis pura-pura cemberut. Kemudian mengangguk. “Ya sudah. Kamu istirahat ya, tidur yang nyenyak.”
Sabrina mengangguk, memeluk erat, kemudian perlahan mengurai pelukan. “Kamu juga ya, tidur nyenyak malam ini, supaya besok fit saat kerja.”
“Iya Sayang,” bisik Yudhis. Lalu dia berjalan ke depan kamar mandi. Terdengar suara kucuran air shower yang jatuh di lantai. Yudhis mengetuk pintu kamar mandi. “Sayang, aku pulang dulu ya! Sampai ketemu besok di kantor!”