BAB 11. Employee Gathering

1202 Kata
Sepagi ini, seluruh karyawan ASP (Arjuna Sparkling Production) dibuat heboh. Karena satu hal. Yaitu email masuk serempak dengan subjek ‘Employee Gathering ASP’. Pengirim email tersebut langsung oleh CEO, bukan sekertarisnya. Suara berisik terdengar dari luar ruang kerja produser, membuat Rayya sampai keluar dari ruangannya. Dia menaikkan bingkai kacamata yang melorot, memindai ke puluhan meja yang dibatasi sekat-sekat. Mereka adalah anak buahnya, dari tim satu. Keningnya mengernyit melihat kehebohan mereka yang sudah seperti anak kecil baru saja diberitahu kalau besok libur sekolah. “Yeayyy akhirnya liburaaann kitaaaaa!” teriak seseorang yang berdiri dari kursi kerjanya, kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi. “Gue memang butuh liburan. Sumpah gue butuh! Biar isi kepala encer lagi! Huft!” Kepalanya terjatuh begitu saja di atas tumpukan kertas-kertas, di atas meja kerjanya. Dia adalah salah satu penulis skenario dari tim satu. “Pak Juna tuh kelihatannya aja kejam gaisss, aslinya hatinya baik bangettt, tiap tahu loh kita gathering! Tahun kemarin di bulan September juga kan?” Seseorang mengedarkan pandangan. Dia sampai berjinjit. Mencari sekutu. “Exactly, baby! Tahun lalu kan kita ke Lombok, duhh tahun ini kita akan kemana yaa? I can't wait … umm—sepertinya aku harus ke salon sebelum berangkat. Aku harus tampil cantik di gala night nanti." Cantik. Wanita yang barusan berbicara adalah seorang makeup artist. Saat Rayya memandangnya dan mendengarkan dia mengoceh. Yang ada di pikiran Rayya adalah, seorang makeup artist sebegitu cantik dan modisnya. Dirinya kalah jauh, pikirnya. Rayya tidak ikut merayakan euforia bersama para bawahannya dan staff tim satu lainnya. Dia justru melangkah cepat menuju lift. Lalu naik ke lantai tujuh belas. Ruang CEO ada di lantai itu. Raut wajahnya tegang. “Pak Juna di dalam kan?” Rayya bertanya pada sekertaris yang meja kerjanya tepat berhadapan dengan ruang CEO. “Ada, Bu Rayya. Sebentar saya telepon dulu ya.” Sekertaris dengan sigap menelepon ke ruang CEO. Hanya sebentar, kemudian dia meletakkan gagang telepon dan mempersilakan Rayya untuk masuk. “Ya, ada apa Mbak Rayya? Silakan duduk.” Arjuna mengayunkan tangan ke arah kursi di hadapannya. Yang hanya dibatasi sebuah meja kerja . Rayya segera duduk. Tidak ada senyuman di wajahnya. “Pak, apa sekarang waktu yang tepat untuk mengadakan acara employee gathering?” Arjuna tersenyum, tipis. Tapi itu saja sudah lebih dari cukup untuk menaikkan kadar ketampanannya. Dia mengangguk. “Tepat.” “Hah?!” Rayya menghembuskan napas agak kencang. Dia geleng-geleng kepala. “Nggak tepat dong, Pak!” Kedua bola matanya membulat sempurna di balik lensa kacamata. Lalu mengeluarkan handphone dari saku jas dalam, kemudian membuka layar dan meletakkan di atas meja. Dia geser handphone ke arah Arjuna. “Lihat, Pak! Jadwal sudah tersusun rapi. Tinggal hitungan hari tim satu akan kerja rodi!” Kedua alis Arjuna terangkat. Tatapan matanya menyiratkan senyuman. “Apanya yang nggak tepat? Tempat acaranya? Kan belum saya share. Umm lagipula istilah kerja rodi rasanya itu yang nggak tepat.” “Lah! Kok malah tempat acaranya? Huft ….” Rayya memajukkan posisi duduknya. Menegakkan punggung. “Pak, ini kan kita tim satu baru akan sibuk dengan proyek film ‘Bismillah Kunikahi Suamimu’. Kalau segala ada acara jalan-jalan itu, banyak waktu akan terbuang dong Pak! Waktunya jadi nggak efisien!” Rayya menaikkan bingkai kacamata. “Nah, baru akan, kan? Jadi, ini memang bukan waktu yang tepat.” “Nah!” “Tapi adalah waktu yang sangat tepat.” “Lah?” Arjuna mengangguk-angguk pelan. Lalu mengambil gelas kopi di depannya, meneguk perlahan. Meletakkan kembali gelas kopi yang tinggal setengah isinya. Menatap santai ke arah Rayya di seberang meja. “Mbak Rayya, jangan pernah lupakan, jika ingin berperang, selain menyiapkan senjata lengkap, kita juga wajib menyiapkan prajurit yang siap berperang. Lalu …seperti apa prajurit yang siap berperang itu? Yang jiwa dan raganya sehat wal’afiat. Dan liburan adalah cara ampuh membuat orang segar dan sehat kembali jiwa dan raganya.” Kening Rayya semakin mengernyit. Emang iya? Tapi dia tidak membantah lagi, hanya mendengkus malas. “Tapi perginya berapa hari, Pak? Tolong jangan terlalu lama. Nanti saya susah atur jadwal kerjanya ini, Pak.” “Oke. Tiga hari saja.” Santai sekali nada suara Arjuna. Padahal yang di seberang meja langsung shock mendengarnya. “Apa?! Waahh nggak bisa Pak! Sehari saja, nggak usah nginap. Berangkat subuh pulang isya.” Arjuna tersenyum tipis. Padahal di dalam hati sudah ingin tertawa kencang. Dia pikir dia siapa? Bisa-bisanya mau ngatur keputusan CEO! “Ya sudah, dua hari.” Rayya menggeleng. “Satu hari! Besoknya pasti ada beberapa karyawan yang nggak masuk, Pak! Dengan alasan capek lah, sakit lah, butuh istirahat lah, belum move on lah. Huft!” “Itu saya sudah mengurangi dari rencana tiga hari loh. Jadi dua hari saja. Hari pertama berangkat pagi, besoknya pulang sore.” Rayya menghela napas dalam. Dia cukup tahu diri juga. Tidak berani terlalu mendebat atasan. “Yahh oke, Pak. Nanti saya aturkan jadwal kerjanya, untuk setelah pulang gathering. H+1. Tempatnya kalau bisa jangan terlalu jauh seperti tahun lalu Pak. Tahun ini mohon pengertiannya. Supaya para karyawan nggak kecapek-an di jalan.” “Oke.” “Di mana, Pak? Cibodas? Anyer? Ancol?” “Bali.” Rayya ternganga. “Jauh dong, Paaakkk.” Nada suara Rayya tidak tinggi lagi. Dia sudah lemas berdebat dengan CEO-nya ini. “Nggak ada yang jauh selama masih di Indonesia dan masih terjangkau dengan pesawat. Oke. Apa ada pertanyaan lagi? Apa? Nggak ada? Bagus, silakan.” Arjuna menunjuk ke arah pintu dengan gestur ramah, tersenyum. “Huft. Baik Pak, permisi,” katanya pelan. Kemudian Rayya berdiri dan berjalan gontai keluar dari ruang CEO,. Kenapa harus sekarang sih? Padahal aku lagi semangat banget mengerjakan proyek ini! Ada-ada saja! Sepanjang berjalan kembali ke ruangannya, Rayya terus merutuk dalam hati. Pasalnya, dia sangat bersemangat bekerja kembali. Setelah merasakan betapa sulitnya bekerja dalam keadaan sakit parah di tahun 2025. Sekarang pada kesempatan kedua ini, yang dia sendiri tidak habis pikir bagaimana bisa terjadi? Rayya ingin hidup dengan lebih baik. Dia bertekad harus sehat. Tidak mau terkena kanker p******a. Juga—tidak mau menikah dengan Yudhistira. Sekarang, bagaimana caranya merubah takdir hidupku di masa depan? Ceklek. “Ah, ya ampun!” Rayya terkesiap. Dilihatnya Yudhistira sudah ada di ruang kerjanya. “Mas Yudhis? Sudah lama di sini?” Berjalan menuju kursi kerjanya. Yudhis menggeleng, dengan senyuman lebar di bibir. Sorot matanya ikut tersenyum. “Aku baru saja di sini. Ray, kamu dari ruangan Pak Juna? Iya, kan? Bagaimana? Apa ada bocoran acara employee gatheringnya di mana? Hemm?” Yudhis tampak tak sabar. Dia tahu, Rayya adalah karyawan yang paling sering ke ruang CEO. Yang paling sering meeting dengan Pak Arjuna. Rayya tersenyum tipis. “Sabar lah, Mas. Nanti juga akan ada info lanjutan, soal tempat dan waktunya. Pasti nggak lama lagi deh, kan acaranya di bulan ini.” “Ck, ah! Aku nggak sabar, Ray! Ayolah, Sayang ….” Yudhistira berdiri. Berjalan memutari meja kerja coklat. Lalu berdiri di belakang kursi kerja Rayya. Kedua tangannya melingkari bahu hingga leher Rayya. “Mas, jangan begini. Ini di kantor. Malu loh kalau ada yang lihat.” Rayya perlahan mengurai kedua tangan Yudhis. Tapi kemudian justru Yudhis lebih erat lagi memeluk kekasihnya itu. Sampai dagunya bersandar di bahu kanan Rayya. Menyesap aroma rambut Rayya yang wangi sampo. Tok tok. Ceklek. Pintu dibuka begitu saja sebelum Rayya sempat menjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN