“Ehem” Dehaman kencang Arjuna membuat Yudhistira langsung berdiri tegak.
Segera dia berjalan memutari meja kerja, menjauh dari Rayya. Sikapnya agak canggung tapi tetap berusaha sebiasa mungkin.
“Saya tahu, kalian adalah sepasang kekasih. Tapi tolong ya, jaga sikapnya saat sedang bekerja atau di tempat kerja.”
Yudhistira segera mengangguk. “Baik, Pak. Saya mohon maaf. Saya yang salah. Tadi saya ke ruangan Mbak Rayya hanya untuk membahas employee gathering, Pak. Saya terlalu bersemangat hehee … rasanya nggak sabar.”
Melihat Yudhistira cengar-cengir, ekspresi wajah Arjuna tidak berubah sama sekali. Tetap lurus dan datar. “Sekarang, sudah selesai bahasannya?”
“Eh iya, sudah Pak. Permisi ya Pak.” Sebelum keluar ruangan, masih sempat Yudhis mengedipkan sebelah mata pada Rayya.
Pintu ruangan ditutup, rapat. Arjuna duduk di kursi yang menghadap meja kerja, saling berhadapan dengan Rayya. “Kalau kalian tidak profesional, tidak bisa menjaga sikap, lebih baik putus saja.” Nada suaranya sih datar, tapi kata-kata yang keluar cukup tajam.
Rayya sampai melongo mendengar itu. “Apa urusan Bapak nyuruh saya putus?”
“Tentu saja urusan saya.” Arjuna mendongak, menatap langit-langit ruangan. Kedua tangannya membentang lebar. “Kantor dan seluruh isinya adalah milik saya. Jadi terserah saya mau buat peraturan apa.”
Kedua bola mata Rayya memicing, menatap tajam pada Arjuna. Geleng-geleng kepala. Sombongnya! Mentang-mentang CEO bisa seenak hati. Kalau bukan karena gajinya besar malas deh tetap di sini.
“Kenapa kamu liatin saya begitu? Nggak terima? Terserah—lagi. Mau kamu nggak terima, mau kamu nggak suka—terserah.”
Deuh! Mungkin si Pak Arjuna kena sindrom terserah karena kebanyakan menelan kata terserah dari pacarnya. Benar-benar deh, nyebelin banget nih orang!
Kemudian Arjuna merogoh handphone berwarna putih dari saku jasnya. Meletakkan di atas meja, tepat di hadapannya.
Kedua bola mata Rayya langsung membulat sempurna. “Itu kan handphone saya, Pak!”
“Ya memang. Tadi kamu yang ninggalin di meja saya. Makanya saya bawain kesini. Ambil saja.”
Rayya mengulurkan tangan ke depan, tapi meja kerjanya cukup besar. Hingga dia harus lebih membungkuk lagi dan semakin mengulurkan tangan.
Karena posisi Rayya seperti itu, Arjuna jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Karena kemeja Rayya jadi turun, dan belahan dadanya tersingkap. Lurus, tepat di depan mata Arjuna.
“Hemm lumayan bulat, 36 B mungkin ya,” cetus Arjuna, pelan tapi terdengar jelas oleh Rayya.
Menyadari apa maksud sang bos, Rayya langsung memegang bagian atas kemejanya. Berusaha menutupi bagian yang terbuka. Menegakkan punggung dan mendelik tajam pada Arjuna. “Bapak matanya tolong dijaga!”
Lalu Rayya berdiri dan berjalan memutari meja, mengambil handphonenya ketika sudah berdiri di dekat Arjuna. “Terima kasih sudah diantar ke ruangan saya, Pak.”
“Sama-sama,” jawab Arjuna singkat. Lalu berdiri dan berjalan keluar ruangan. Sebelum menutup kembali pintunya, dia sempat berbalik. Dilihatnya Rayya masih memperhatikannya. “Ingat pesan saya Rayya, putusin saja pacar macam benalu begitu.” Pintu benar-benar ditutup. Rapat.
Deg! Tinggallah Rayya sendirian. Ternganga karena tidak percaya. Seorang Pak Arjuna bisa mengatakan kalau Yudhis adalah benalu. Bukan soal Rayya tersinggung akan ucapannya. Tapi justru terkejut karena ucapan Arjuna tepat sekali. Yudhistira, kekasihnya, memanglah seorang benalu.
Darimana Pak Juna tau ya? Apa memang Mas Yudhis sudah setenar itu di kantor ini? Tenar karena sifat buruknya?
Rayya garuk-garuk kepala. Lalu dia memilih melanjutkan pekerjaannya saja.
Pertengahan September 2022
Terminal 2 keberangkatan menuju Bali, dipenuhi oleh karyawan ASP. Padahal keberangkatan sudah dibagi menjadi dua jadwal hari ini. Tiket baru diberikan di tempat oleh tim HRD. Jadi semua karyawan baru tahu nomor kursinya saat ini.
Rayya hanya sedang duduk diam, menatap layar laptop di pangkuannya, ketika seorang staf HRD menyerahkan tiket padanya. Rayya menerimanya dan tersenyum. “Saya dapat kelas bisnis, Mbak?”
“Ya, betul Bu Rayya. Dua belas kursi bisnis untuk karyawan ASP, termasuk untuk Pak Juna sendiri. Semua produser duduk di kelas bisnis, Bu.”
“Ohh, oke. Makasih, Mbak.”
Staf HRD mengangguk lalu kembali berjalan untuk melanjutkan tugasnya.
Sekali lagi Rayya melihat tiket di tangannya. “Kursi 3C.”
“Ya, di samping saya nanti kamu ya duduknya.” Arjuna yang baru saja datang, duduk begitu saja, bersebelahan dengan Rayya.
Rayya menoleh dan seketika raut wajahnya mengernyit, seperti tidak terima. “Saya? Di samping Bapak?”
Arjuna mengangguk, lalu menunjukkan tiket di tangannya. “Kursi saya 3A.”
Rayya menghela napas dalam. Sontak dia merasa tak bersemangat. Membayangkan selama dua jam nanti akan duduk di samping CEO. Pasti akan membosankan sekali, pikirnya.
“Yeah, Pak.” Rayya memasukkan tiket ke dalam tas selempang. “Maaf Pak, saya lanjut kerja dulu.” Fokus Rayya kembali ke layar laptop.
“Kenapa masih kerja saja? Ini kita mau liburan loh. Sengaja saya beri waktu liburan supaya terlepas dari stres pekerjaan sementara.”
Rayya memutar kedua bola mata dengan malas. “Ya tapi kalau kerjaan saya nggak selesai, lalu nanti dikejar-kejar deadline dan belum lagi—kena marah Bapak ….” Rayya menatap malas ke arah Arjuna. “Yang ada saya makin stres!” Kembali menatap layar laptop.
Arjuna menaikkan kedua alis. “Hemm yaa benar juga sih,” jawabnya santai. “Ya sudah, kerja yang baik ya. Saya mau beli kopi dulu.”
Rayya tidak menjawab. Dia hanya mengikuti punggung Arjuna sampai menjauh, dengan sorot mata tajamnya. “Hemm terserah.” Lalu kembali bekerja lagi.
Namun baru beberapa detik, fokusnya kembali terganggu. Karena suara berisik di sekitarnya. Cowok-cowok genit para karyawan ASP terdengar bersiul-siul. Beberapa di antaranya terang-terangan menggoda dengan melempar kata-kata rayuan. Lalu disusul kalimat-kalimat memuji dari beberapa karyawan perempuan.
“Suuiiittt suuiiitttt cantik bangeeettt!”
“Wuidiiihh seksinyaaa!”
“Nomor kursi berapa, Sab? Mudah-mudah di samping gue.”
Rayya menoleh. Ternyata, Sabrina yang baru datang. Dengan penampilan modis luar biasa. Rambut panjangnya digerai dengan gelombang di bagian bawah rambut. Setiap gerakan seakan membuat rambut coklat terang itu menebar pesona. Belum lagi aroma parfum yang tercium dari radius beberapa meter.
Rayya memindai outfit yang digunakan Sabrina. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sahabat terdekatnya itu memilih memakai kemeja putih dengan model leher V yang rendah, hingga membuat belahan dadanya sedikit mengintip tapi justru membuat mata para lelaki menjadi penasaran. Lalu Sabrina memakai rompi rajut warna nude sebagai outernya, dan untuk bawahan memakai rok tenis mini warna putih.
“Seksi,” desis Rayya tanpa terdengar oleh Sabrina yang berjalan semakin mendekatinya.
Sabrina langsung memeluk Rayya dengan erat sekali. “Ahhh aku senang banget akhirnya kita jalan-jalan bareng lagi! Pokoknya nanti di hotel aku maunya sekamar sama kamu, Ray! Nggak mau sama yang lain!”
Perlahan Sabrina mengurai pelukan. “Kamu nomor kursi berapa? Kita sebelahan nggak?” Sabrina menunjukkan tiketnya.
Itu kelas ekonomi, Rayya membatin. Lalu dia tersenyum, penuh arti. Menunjukkan tiket di tangannya. “Aku di kelas bisnis. Duduknya di samping Pak Juna. Hemm sebel deh.” Rayya memberengut, tapi itu hanya pura-pura.
Seketika senyum sumringah di wajah cantik Sabrina memudar.