BAB 13. Satu Kamar

1093 Kata
Rayya memperhatikan itu. Dia melihat jelas bagaimana raut itu menunjukkan betapa kecewanya Sabrina saat mendengar dirinya mendapat kursi kelas bisnis. Rayya tahu Sabrina mendapat kursi di kelas ekonomi. Namun detik kemudian, wajah cantik itu kembali ceria. Tawa Sabrina kembali terdengar riang. “Nggak apa-apa deh, yang penting nanti kita sekamar ya Ray, di hotel.” Rayya tersenyum. “Yaa semoga saja. Kita tunggu HRD pembagian kamar nanti.” “Hallo Sayang.” Yudhis yang datang dari arah belakang punggung Rayya, langsung merangkul pundaknya. “Dapat kursi nomor berapa? Kudengar semua produser dapat kelas bisnis ya?” Rayya menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk. “Ya, aku duduk di samping Pak Juna.” Dia mencoba memindai raut wajah pacarnya ini. Tidak ada ekspresi berlebihan, biasa saja. “Hemm begitu ya? Tadinya aku berharap kita bisa duduk berdua, Ray. Yah sudahlah, oh ya Sab, kalau kamu dapat nomor kursi berapa? Duduk dengan siapa?” Sabrina menunjukkan tiketnya. “Tapi aku belum tau nih sebelahku siapa. Kalau kamu?” Dengan senyumannya, Yudhis menunjukkan tiket. “Aku duduk sebelahan dengan si seksi Jelita. Huft! Harus kuat iman nih.” Lalu dia terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Rayya ikut terkekeh, meskipun baginya itu tidak terdengar lucu sama sekali. Saat tidak sengaja melirik Sabrina, raut wajah gadis itu tidak bisa menyembunyikan cemburu. Kedua mata Rayya memicing, jelas dilihatnya Sabrina sedang cemburu. Bahkan dirinya sendiri yang adalah kekasih Yudhistira, tidak merasakan cemburu sama sekali, saat ini. Kalau kejadian ini sebelum dia tahu tentang masa depan, bisa jadi Rayya juga akan merasakan cemburu. Tapi tidak sejelas Sabrina. Ketika mereka semua berjalan masuk ke pesawat, Rayya terus bersikap tenang, tapi diam-diam memperhatikan gerak-gerik Yudhistira dan Sabrina. Meskipun mereka terlihat berusaha menjaga jarak, tapi Rayya bisa merasakan, sudah ada sesuatu di antara mereka berdua. Kalian tenang saja, aku nggak akan menjadi penghalang kalian berdua, justru aku akan mendukung hubungan kalian—sampai kalian menikah. Dan Sabrina—yang akan akan mengambil takdirku sebagai istri sah Yudhistira. Karena aku—nggak sudi menjadi istrinya, lalu dikhianati oleh kalian berdua. Aku akan mencari tahu—semuanya. Dan merubah takdir burukku di masa depan. Rayya tersenyum tipis. Lalu melihat Arjuna yang sudah duduk di kursinya. “Maaf Pak, permisi.” Sebab Arjuna duduk di kursi pinggir. Sedangkan Rayya di dekat jendela. “Hem yaa.” Arjuna menggeser sedikit posisi kakinya, tanpa berniat untuk berdiri dulu sebentar. Terpaksa Rayya tetap masuk dengan pahanya yang harus menyentuh kedua lutut Arjuna. “Sudah pernah ke Bali?” “Hah?” Rayya yang baru saja duduk, menoleh. Dia bukannya tidak mendengar pertanyaan Arjuna, tapi Rayya tidak ingat. Apa dia pernah ke Bali sebelumnya? Kembali ke tahun 2022, ingatannya pada masa depan begitu jelas, tapi tentang masa lalu seakan baru berdatangan kembali satu-persatu. Akhirnya Rayya menggeleng, pelan. “Maaf, saya lupa, Pak.” Arjuna tersenyum. “Yaa pelan-pelan saja diingatnya. Nanti juga ingat lagi semuanya,” ucapnya santai, dengan nada datar. Kening Rayya mengernyit. “Maksudnya apa ya, Pak?” “Ahh saya malas mikir. Kamu pikir saja sendiri.” Dengan santainya Arjuna menyandarkan punggung lalu mulai memejamkan mata. Rayya memutar kedua bola mata dengan malas lalu memilih menikmati pemandangan luar lewat kaca jendela. Meskipun sama sekali tidak menarik menurutnya. Dia jadi berpikir tentang ucapan Arjuna tadi. Kenapa bosnya itu bisa bilang seperti itu? Bahwa nanti dia akan bisa mengingatnya lagi, semuanya. Apa maksud ucapan Pak Juna ya? Sampai pesawat mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Rayya masih belum menemukan jawabannya. Dia ingin bertanya langsung pada Arjuna, tapi pria itu bahkan sampai sekarang masih terlelap. “Pak! Pak Juna, kita sudah sampai!” “Hemm.” Hanya itu jawaban Arjuna, tapi dia tidak bergerak sama sekali. Beberapa rekan kerja sesama produser yang melewati kursi mereka, melempar senyum menggoda. Ada juga yang terang-terangan meledek Rayya karena harus membangunkan CEO mereka. Dengan sengaja mereka terus berjalan, tidak ada satupun yang berniat menunggu atau membantu Rayya. “Huft!” Rayya menghela napas dalam. Sekarang dia mulai menggoyangkan lengan Arjuna. “Pak, ayo bangun! Kita sudah sampai. Pak Juna!” Rayya kembali menggoyang-goyangkan lengan Arjuna. Tapi pria itu bergeming, kedua bola matanya tetap terpejam. Seorang pramugara mendekati kursi mereka, sebab semua kursi lainnya di kelas bisnis telah kosong. “Permisi Mbak, ada yang bisa saya bantu?” Rayya segera mengangguk. “Nah, kebetulan Mas! Bisa tolong bantu saya bangunkan—” “Huahhmmm ….” Arjuna menegakkan punggung sambil mengangkat kedua tangan. “Nggak perlu, saya sudah bangun.” Lalu dia berdiri dan berjalan begitu saja. Meninggalkan Rayya yang sibuk menggerutu dalam hati. Tapi dia tetap mencoba tersenyum pada pramugara, meskipun hatinya sedang kesal melihat tingkah sang bos. “Maaf ya Mas, permisi.” Cepat-cepat Rayya menyusul Arjuna. Di bandara, sudah ada beberapa bis yang menunggu, untuk membawa seluruh karyawan ASP ke hotel. Dan kamar di hotel itu sudah disewa seluruhnya oleh Arjuna. Semua karyawan berkumpul di lobi hotel untuk menunggu pembagian kamar dan juga seragam untuk kegiatan fun games nanti sore. Rayya yang sedang duduk sendirian di salah satu sofa langsung didekati Yudhistira. “Bagaimana tadi di pesawat? Duduk di sebelah Pak Juna selama dua jam rasanya menegangkan atau malah bikin bosan?” Rayya tersenyum tipis. “Hemm biasa saja kok.” “Ah, masa’ sih? Tapi—nggak bisa ngobrol santai kan kalau sama Pak Juna? Jadi nggak seru ya di perjalanan?” “Yaa bagaimana mau ngobrol santai? Selama di pesawat tadi Pak Juna tidur.” Yudhistira mengangkat kedua alis. “Oh ya?” Lalu dia terkekeh. “Ray!” Sabrina datang dengan berjalan cepat, tangan kirinya menarik koper warna merah terang, sedangkan tangan kanan mengangkat key card. Wajahnya tersenyum lebar, begitu sumringah. Rayya menunggu sampai Sabrina mendekat. Tidak menjawab apapun, juga tidak bertanya apapun. Dia hanya menunggu kabar apa yang dibawa Sabrina sekarang. “Ray, kita sekamar! Ahhh aku senang banget!” Sabrina dengan sejuta ekspresinya, langsung duduk di tengah-tengah dan memeluk Rayya erat sekali. Sampai Yudhis harus menggeser duduknya. Rayya membalas pelukan Sabrina. Dia ikut tersenyum, senang. Karena dia punya rencana. Tadinya, rencana itu akan dia jalankan saat kegiatan berlangsung. Tapi dengan takdirnya mendapat teman sekamar Sabrina, maka rencana itu akan lebih mudah dijalankan. Rayya pikir, sepertinya semesta sedang berpihak padanya di kehidupan kali ini. Sebab sepertinya, dia mendapat dukungan begitu saja, pada setiap langkah kecil yang dijalaninya. Sebagai proses misi balas dendam dan mengubah takdir hidupnya di masa depan. Dari kejauhan, pada sofa di sudut lobi lainnya, Arjuna duduk bersandar, terlihat santai. Tapi tatapan matanya tajam, ke satu arah. Pada sofa panjang di depan sana. Tempat dua orang gadis cantik sedang berpelukan, dan seorang lelaki yang sedang tersenyum penuh arti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN