11. Melawan (A)

1466 Kata
“Gawat! Dimana baju gantiku?” Sherly mengobrik - abrik lokernya panik. Seragam lapangannya tidak ada. Padahal jelas - jelas dia menyimpannya di sini. Tidak pernah ia gunakan sama sekali setelah kemarin di hari pertama dirinya masuk. Pasti ini semua ulah….. Sherly menggertakkan rahangnya. Sungguh mengesalkan sekali anak - anak itu. Mereka pasti sengaja menyembunyikan seragam lapangannya. Benar - benar… “Cecil cepat ganti pakaianmu! jangan sampai terlambat. Kau tidak tahu betapa galaknya master Xenna.” Sabin datang menegur. Temannya ini sedari tadi masih berada di loker sementara anak - anak yang lain sudah berganti pakaian, bersiap menuju lapangan. “Baju gantiku tidak ada.” Jawab Sherly. Ia menoleh dan mendapati di belakang Sabin, beberapa anak tampak melihat ke arahnya, tersenyum - senyum seolah meledek dan juga menyembunyikan sesuatu. Pasti ini ulah mereka. Sialan. Sabin di depannya menatap cemas. Gadis itu melirik jam. Kurang tiga menit lagi. Kejadian in seolah De Javu, mengingatkannya ketika diririnya dbully kala itu. “Tenang Cecil, aku akan membantumu.” Sabin mendekat. Dia menyentuh loker Cecil, wanita itu lalu memejamkan mata. Keningnya berkerut saat dirinya berkonsentrasi menemukan jejak keberadaan pakaian ganti temannya. Sherly yang ada di sampingnya hanya terdiam, membiarkan Sabin melakukan entah apapun itu. Ini adalah kekuatan supranatural Sabin. Mendeteksi keberadaan benda ataupun makhluk hidup dengan cara menyentuh bagian yang pernah bersinggungan dengan benda atau makhluk hidup yang dicari. Bakat yang seperti ini tentunya sangat spesial. Tetapi sayang, kekuatan pendeteksi Sabin memilki batasan. Begitu perempuan itu menyentuhkan tangannya di sana. Sebuah aliran berwarna biru seolah merayap masuk ke indera perabanya lalu mengalir ke otaknya. Sebuah siluet bayangan siswa - siswi yang tengah membuka loker Cecil kemudian terlihat. Mereka tampak berlari dengan cepat sembari tertawa - tawa menenteng seragam lapangan Cecil lalu menyembunyikannya di….. Mata Sabin seketika terbuka. “Ketemu.” Serunya. Dia menoleh dan berkata, “Mereka menyembunyikan seragammu di kamar mandi. Tepatnya di dalam laci closet nomer tiga dari kanan. Cepat kita ambil Cecil.” Sejenak Sherly tercengang akan apa yang Sabin katakan. Perempuan itu seolah bisa melihat masa lalu saja. Dia benar - benar takjub. Meski belum terbukti, entah kenapa dirinya mengangguk dan mempercayai ucapannya. “Biar aku sendiri yang ambil. Kau segeralah ke lapangan.” Ujar Sherly tak mau merepotkan anak ini. Dia tidak akan terlambat. Kalaupun terlambat tidak masalah buatnya, tetapi untuk Sabin pasti akan menjadi masalah. Sabin mengangguk, “Kau harus cepat! Jangan sampai terlambat ya.” “Tidak akan.” Angguk Sherly yang sontak berlari menuju kamar mandi yang tak jauh dari kelasnya berada. Masih ada waktu dua menit. Dia harus bergegas. *** “Sudah ku duga.” Gadis itu menarik sudut bibirnya mendengar percakapan itu. Bersandar di sudut pintu, Trinity menegakkan badan. Wanita itu lalu melirik dua temannya, memberi aba - aba. Mereka mengangguk lalu segera melesat menuju kamar mandi. “Perempuan yang berani mengganggu Leonku tidak akan ku biarkan tenang.” Trinity tersenyum. Perempuan itu sudah menduga bahwa si Sabin pengecut itu akan diam - diam membantu anak baru ini. Ia tentunya sudah tahu akan kekuatan yang Sabin punya, oleh karena itu sebagai antisiipasi, ia sudah memiliki rencana lain untuk menindas Cecil August yang dengan berani - beraninya membuat Leonnya sakit hati. “Jangan harap bisa sekolah di sini dengan damai, Cecil.” Gumamnya. Dia berjalan dengan tenang menuju kamar mandi memeriksa bahwa pekerjaan anak buahnya berjalan dengan baik. *** Apa yang Sabin katakan memang benar. Seragamnya ada di sini. Sherly menghela nafas lega. Ternyata inilah kekuatan Sabin sebenarnya, mendeteksi keberadaan benda yang hilang. Kekuatan yang dianggap lemah oleh anak - anak di sini padahal kemampuan itu justru menjadi sesuatu yang sangat berguna di masyarakat. Mereka memang terlalu meremehkan seseorang sampai dengan tega melakukan hal kekanakan seperti ini. Benar - benar. Huh. Sherly mendengkus. Perempuan itu lalu mengambil seragamnya kemudiian segera memakainya. Dia tidak mau terlambat lagi. Ya, meskipun sejujurnya dirinya sangat enggan mengikuti pelajaran di lapangan, tetapi dia tidak punya pilihan lain dan alasan. Kakinya masih terasa pegal dan membayangkan dirinya akan melakukan olah fisik ala militer seperti yang kemarin dilakukan tentunya sudah membuatnya ngeri. Tidak hanya kaki, bahkan seluruh tubuhnya pasti akan sakit nantinya. Duhh… benar - benar nasib. Sherly menghela nafas. Setelah mengganti seragamnya, perempuan itu hendak berjalan keluar kamar mandi, namun sebelum dirinya mencapai gagang pintu, ia mendengar langkah kaki mendekat dan bunyi klik terdengar. Seseorang di luar sana dengan sengaja mengunci kamar mandi membuat sherly tidak bisa keluar. “Hey, Sialan. Buka pintunya. Buka!” Sherly menggedor - gedor pintu mencoba keluar. Berteriak berharap ada seseorang yang mendengar, tetapi tentu saja tidak akan ada yang membuka pintu kamar mandi itu. Semua siswa sudah berada di lapangan sekarang. Sementara itu, Trinity yang mendengar ronta’an Sherly tersenyum senang. “Rasakan itu bodoh.” *** Wah, wah, wah... Kali ini mereka menguncinya di kamar mandi. Benar - benar sesuatu. Sherly menggeleng - gelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan tingkah kekanakan anak - anak di sini. Mereka pasti sangat puas dan senang melakukan tindakan - tindakan bodoh seperti ini. Berharap dirinya akan tertekan dan terkena mental. Siapapun orangnya tentu saja pasti akan sangat kesal dengan semua ini. Apalagi dirinya yang sudah dewasa dibully anak - anak kecil, sungguh menjengkelkan sekali. Heh... Sherly menarik sudut bibirnya. Perempuan itu perlahan menghentikan teriakan dan gedorannya. Sherly bersandar tenang di pintu itu, wajahnya yang tadi kesal, perlahan berubah cerah. Jika mereka berharap ia akan tertekan? Mereka salah, perempuan itu justru sangat santai sekarang. "Ya sudah kalau kalian tidak mau membukakan pintu." Sherly bergumam. Ia sungguh menjadi sangat bersyukur sekarang. "Sepertinya kali ini aku harus berterima kasih dengan kalian." Manik kelamnya berbinar. Ia lalu memindai seisi kamar mandi ini yang tampak bersih dan wangi. "Aku tidak perlu repot - repot ikut pelatihan. Lebih baik santai - santai di sini saja." Imbuh Sherly. Perempuan itu duduk di pinggir wastafel sembari bersenandung senang. Syalalalaaaa...... *** "Ayo cepat datanglah!" Sabin bergumam dalam hati. Menatap ke depan menunggu kedatangan Cecil. Sudah lima menit tetapi temannya itu belum kunjung menampakkan diri. Miss Xenna pasti akan memberi hukuman berlipat - lipat jika gadis itu terlambat. "Aduhh datanglah Cecil, cepat datang!" Sabin menggigit bibir cemas. Sudah tujuh menit, sosok sahabatnya itu belum kunjung muncul. Miss Xenna sudah berdiri di depan barisan, memasang wajah tegas dan dingin. Perempuan itu menoleh, menatap beberapa siswa yang terlambat. "Terlambat satu detik, push up lima puluh kali. Terlambat dua detik, push up 60 kali. Terlambat satu menit lari dua puluh lima kali mengelilingi asrama. Terlambat dua menit lari lima puluh kali mengelilingi asrama. Terlambat lima menit lari seratus kali." Miss Xenna menunjuk para siswa siswa itu. "Kau, kau, kau! Laksanakan!" "Laksanakan." Balas mereka serempak. Tak bisa mengeluh maupun protes jika ingin hukuman mereka bertambah. Dan sekarang, sosok Cecil August sudah telat lebih dari sepuluh menit, tentu saja tidak.bisa terbayangkan hukuman apa yang akan gadis itu terima. Berlari satu kali mengeliling asrama saja sudah sangat menguras energi. Apalagi seratus kali. Untuk orang yang memiliki kemampuan khusus saja sudah sangat memberatkan apalagi seorang Cecil yang tidak memiliki kekuatan apapun. Cecil pasti akan mati. "Kemana dia?" Sabin menunduk. Master Xenna kini sudah mulai mengabsen. Jika ketahuan ada satu orang yang absen, hukuman yang wanita itu berikan akan berkali - kali lipat mengerikannya. Yakni tidak hanya berlari, dia akan menghukum siswa tersebut dengan melakukan hal berbahaya. Mengawasi benteng luar tempat dimana para Daemon berkeliaran. Seperti apa yang pernah Maria alami dulu. Ohh, Maria. Wanita itu bahkan sudah lebih dari satu minggu tidak kembali ke asrama. **** Ruangan itu tampak gelap. Meski sinar matahari sedang terik - teriknya di luar sana, tetapi cahayanya sedikitpun tak menembus ruangan itu. Gedung terbengkalai yang ada di Distrik empat. Bau anyir terasa menyengat. Lelehan darah menggenang di sepanjang lantai. Sepasang sepatu hitam melangkah tenang di atas genangan darah. Menimbulkan jejak - jejak sepatu di sepanjang jalan yang ia lalui. Sosok itu menggengam pedang yang berlumur darah. Suara erangan terdengar seiring langkah kakinya yang masuk ke dalam ruangan itu. Manik kelamnya memindai ke sepenjuru ruangan. Mencari sesuatu, dan dia menemukannya. Di sudut ruangan, sepasang mata berwarna merah menyala menatap ke arahnya. Mengerang menunjukkan gigi - giginya yang runcing. Di sebelahnya tampak seseorang tergeletak dengan luka menganga di tubuhnya. Organ - organ dalamnya terburai keluar, pun dengan kepalanya yang kroak setengah. Kondisinya sangat mengenaskan. Sosok berpakaian hitam itu lalu mendekat. Dan ketika dirinya berjarak dua langkah di depan Daemon itu, tiba - tiba sebuah cahaya merah melesat dari arah belakang hendak menyerangnya. Sigap. Ia berbalik lalu mengacungkan pedangnya menghadang cahaya merah yang tiba - tiba melesat tak karuan. Sosok hitam itu lalu meloncat. Bergerak gesit menghindari lesatan demi lesatan cahaya merah yang kian menghujam. Lalu dia menggerakkan kakinya menekan dinding untuk kemudian berputar sembari mengacungkan pedangnya, membunuh makhluk apapun yang tengah menyerangnya. Crash, Crash, Crashhhh.... Darah kembali menyembur seiring sosok tersebut menyayat tubuh makhluk - makhluk itu. Dia menyeringai, "Kalian akan mati." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN