12. Melawan (B)

2108 Kata
“Dia pasti sangat stres.” Leon tersenyum menatap layar ponselnya. Di dalamnya ada video yang menampilakan sebuah pintu kamar mandi berwarna putih. Video yang dikirimkan oleh Trinity. Memang tidak ada apapun di sana, tetapi dia mendengar suara teriakan seorang wanita serta suara pintu yang digedor dengan putus asa. Benar - benar menghibur. Leon senang. Mendengar kefrustasian targetnya sungguh membuatnya bersemangat. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah pucat anak baru itu saat ini. Terkurung di kamar mandi sendirian bagi seorang wanita pastilah hal yang horor. Cecil pasti sedang menangis memanggil ibunya sekarang meminta bantuan. Rasakan. Haha. “Apa yang kau lihat? Sepertinya seru.” Sebastian yang baru datang sontak duduk di sebelah Leon. Melongokkan kepalanya mengintip ponsel yang temannya pegang. Sedetik kemudian manik cokelatnya meluruh, ekspresinya tampak sulit kala melihat Leon menatap antusias dengan senyum mengembang menonton video itu. Apa- apa’an? Dia kira Leon sedang menonton film atau hal - hal seru lainnya hingga pria yang bahkan tidak menyukai apapun selain makanan manis itu bisa begitu sumringah hanya karena video yang menampilkan kamar mandi di sekolahan ini. Demi apapun Leon bisa sesenang ini hanya karena melihat kamar mandi yang tidak ada apa - apanya. Dia bisa memaklumi jika yang ada di luar pintu kamar mandi itu terdapat wanita cantik atau hal apapun yang menarik. Tetapi ini benar - benar kosong, apa menariknya menonton kamar mandi yang polos seperti ini. Sebastian merasa sia - sia ikut menonton. “Dengar ini!” Leon mereplay kembali video itu ke awal. Bahkan volumenya sengaja ia perbesar. Teriakan dibarengi gedoran pintu sontak terdengar membuat Leon kembali terbahak karenanya. “Anak baru bebal itu pasti menangis sekarang.” Leon girang, “Ku rasa aku akan menjadikan teriakan ini sebagai nada dering ponselku. Wkwkwkwk.” Sungguh temannya yang satu ini memang agak - agak gila. Sebastian mengamati ekspresi Leon dan menjadi ngeri sendiri. Bibir laki - laki itu tak berhenti tersenyum. Ia takut bahwa mulut temannya itu akan robek sampai ke telinga. Tak berselang lama, pintu bascamp mereka terbuka. Maxwell datang dengan lelah lalu segera berbaring di sofa hitam. Leon yang melihat kedatangan Maxwell seketika mematikan ponselnya kemudian buru - buru mengintrogasi. “Bagaimana keadaan anak baru itu? Apa dia sangat tertekan sekarang?” Alis Maxwell terangkat. Leon berdehem. Menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua kakinya diangkat menumpu meja. Dia memasang ekspresi sombong, “Gadis baru itu, bukankah tadi tidak mengikut pelajaran Miss Xenna?” “Ya, dia terkunci di kamar mandi.” Senyum Leon mengembang, “Kasihan. Dia pasti kebingungan dan menangis terkunci di kamar mandi sendirian selama berjam - jam.” Leon terkikik. Setiap kali membayangkan ekspresi anak - anak yang ditindasnya ketakutan membuatnya seolah merasa kenyang. Rasanya sangat puas. Akan menjadi lebih puas apabila anak - anak itu segera pergi dari sekolah ini. “Kau yang membuka pintu kamar mandinya bukan?” tebak Leon. Ya, bagaimanapun Maxwell adalah ketua kelas Grand B, jadi lelaki itu yang diberi tanggung jawab mencari siswa - siswi yang sengaja absen. Dan setiap kali dimana ada anak - anak dari kelas B mendapat penindasan seperti dengan sengaja dikunci dalam gudang maupun kamar mandi, Si Maxwellah yang datang lalu mengeluarkan mereka. “Cecil August, dia pasti menangis dan merenungi semuanya sekarang. Hahahaha.” Leon benar - benar sangat puas akan pemikirannya. Tetapi tidak dengan Maxwell. Lelaki itu hanya menatapi Leon lalu benaknya teringat pada kejadian tiga puluh menit lalu dimana dirinya membuka pintu kamar mandi tempat dimana Cecil August di kurung. *** Pengajaran yang Miss Xenna berikan membutuhkan waktu selama enam jam. Selama itu pula anak - anak yang berada di lapangan tidak diperkenankan untuk kembali ke kelas. Artinya lorong kelas Grand B kosong. Miss Xenna tentunya menyadari ada salah seorang siswa yang absen. Selain Maria Wenberg yang memang selama satu minggu ini tidak menampakkan dirinya tanpa keterangan, ada Cecil August _ anak baru yang dengan beraninya membolos di jam pelajaran Miss Xenna. Miss Xenna berpesan padanya untuk memanggil Cecil dan menghadapkannya ke ruang kantor. “Max… Maxwell.“ Sabin hati - hati menarik ujung pakaiannya membuat sang ketua kelas terpaksa menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. Ia menunduk menatap tangan Sabin yang masih memegang bajunya. Sabin buru - buru melepas. “Ku.. ku rasa aku tahu dimana Cecil.” Ujarnya saat mengetahui bahwa seperti biasa lelaki pujaannya itu selalu mencari anak - anak yang tidak mengikuti pelajaran. “Dimana?” Bisa mendengar suara langka ketua kelas, mata Sabin mendadak cerah. Dia tersenyum lebar dengan pipi yang tiba - tiba bersemu saat Maxwell Fringer menatapnya dengan mata tajamnya seperti ini. Sungguh seksi. Kening Maxwell seketika berkerut ketika perempuan di depannya tiba - tiba bereaksi aneh, “Katakan!” “Ah… “ Sabin tersentak dari keterpesonaannya. Wanita itu sontak mengerjap dan menunduk malu, “Terakhir ku lihat dia di kamar mandi. Mungkin saja….” Tanpa menunggu kalimat Sabin selanjutnya, Maxwell seketika mengangguk. Pria itu bisa menebak apa yang terjadi. Seperti yang sudah - sudah, anak baru pasti akan dikunci ke sebuah ruangan untuk membuat mereka merasa tertekan, tidak berdaya dan menjadi tak betah lagi berlama - lama berada di sekolahan yang memang seharusnya anak - anak tak memiliki kekuatan supranatural berada. “Maxwell tunggu! Aku akan membantumu mencari.” Seru Sabin mengikuti Maxwell yang sudah berbalik pergi menuju gedung sekolah. Berjam - jam terkurung sendirian tanpa bisa melakukan apa - apa, tentunya membuat seseorang merasa panik. Apalagi saat kau berteriak dengan sekuat tenaga namun tak ada satu orangpun yang mendengar membuat jantungmu terasa berdetak tak karuan, seolah kau sedang berada di tempat asing. Sendirian, terkucilkan tanpa tahu menahu kesalahanmu. Kepala rasanya mau pecah, hati rasanya begitu nelangsa, dan perasaan mu terasa tak tenang. Akibatnya kau akan merasa tertekan, depresi hingga puncaknya kau akan berpikir untuk mengakhiri hidup sendiri. Itulah yang Sabin alami dulu. Dia juga pernah tiba - tiba dikunci dalam gudang. Sabin berteriak keras, menggendor - gedor pintu putus asa. Tetapi tak ada satupun yang mendengar. Lebih tepatnya semua siswa di sini berpura - pura tuli. Sabin menangis, ketakutan dan berpikr untuk menyerah saja. Cecil pasti juga seperti dirinya sekarang. Dia harus segera mengeluarkannya. “Cecil.” Sabin berseru. Maxwell dengan mudah menendang pintu itu hingga terbuka. Sabin dengan terburu - buru masuk melihat keadaan temannya. Ia sangat cemas. Memikirkan Cecil akan duduk meringkuk di pojokan dengan wajah menunduk lemah sungguh membuatnya merasa bersalah. Seharusnya sebagai sahabat yang baik, dirinya harus menemani Cecil bukan? Tapi….. Eh… Sabin mengerjap. Pun dengan Maxwell yang mengangkat sebelah alisnya melihat keadaan perempuan yang terkunci di kamar mandi. Cecil terlihat….. “Oh, kalian. Sudah selesai ya?” Sherly menoleh. Gadis itu bangkit dari rebahannya. Berdiri merapikan kemeja seragamnya yang tadi ia buat sebagai bantalan. Dia tersenyum menatap Sabin. Sabin mengerjap. Temannya ini tampak baik - baik saja. “Kau tidak apa - apa?” Sherly mengangguk, “Ya, aku baik - baik saja.” Jawabnya tanpa beban. Wajah perempuan itu juga masih sama. Cerah. Sama sekali tak menunjukkan kecemasan, ketakutan, kesedihan atau beban frustasi. Bahkan gadis itu terlhat baru saja tidur nyenyak. “Cecil August. Miss Xenna memanggilmu di ruangannya.” *** “Maafkan saya master! Tiba - tiba ada seseorang yang mengunci saya di kamar mandi.” “Saya sudah berusaha membuka pintu. Saya juga sudah berteriak, pun dengan menggedor pintu. Namun~” Sherly menunduk, ekspresinya tampak sedih, “Tidak ada yang mendengarnya.” Dia tentunya tidak berbohong dengan semua ini. Dia sudah berusaha memanggil seseorang untuk membuka pintu namun sama sekali tak ada yang mendengar. Ya, meski kenyatannya Sherly hanya menggedor pintu di awal saja. Memang tidak berniat untuk keluar. “Mereka telah menindas saya selama ini. Saya ~.” “Cukup! Kau bisa pergi.” Miss Xenna mengerti. Perempuan itu mengurut keningnya yag terasa berkedut. Hal - hal yang berkaitan dengan bullyng ataupun penindasan terhadap murid baru pasti ulah Leon. Siapa kagi. Leon ternyata masih menjalankan hal semacam itu? Benar - benar. Sebagai pengajar, dia juga sangat menyayangkan tidak bisa mencegah tindakan Leon. Karena dirinya juga tahu ada alasan juga hal ini terjadi. Sementara itu, Maxwell yang juga turut berada di ruangan itu hanya terdiiam. Namun sudut matanya melirik Cecil yang tampak tenang. Sama sekali tidak menemukan tanda - tanda bahwa gadis itu baru saja mengalami tindakan bullyng. Bahkan wanita itu malah terlihat bahagia. “Ketua kelas, kali ini aku harus berterimakasih kepada temanmu.” Sherly berbisik. Dia tersenyum, “Gara - gara dia, aku terhindar darii pelatihan yang menyakitkan.” Imbuhnya lalu berjalan keluar dengan bahagia. *** Maxwell mendengkus. Jika Leon mengetahui apa yang terjadi, wajah penuh kemenangan lelakI itu pasti akan surut seketika. “Ada apa dengan tatapanmu itu, Maxwell?” Leon mengerutkan kening. Firasatnya tiba - tiba menjadi tidak enak. Setiap kali body leagueg temannya itu menunjukkan suatu gerak yang tak biasa seperti saat ini, Maxwell seolah ingin mengeluarkan kata - kata, berpendapat atau memberitahu sesuatu. “Serius kau ingin tahu?” Kini Sebastian tampak tertarik. Pemuda berambut unik itu maju mendekati teman - temannya. Tak sabar mendengar kalimat mengejutkan apa yang keluar dari mulut Maxwell Fringer. Leon menggertakkan giginya, “Sialan, cepat katakan apa itu?” “Prasangka mu itu salah.” Hah? Maksudnya? Leon masih belum mengerti. Maxwell lalu menunduk, melirik ponsel Leon sejenak. “Anak baru itu, dia…. masih baik - baik saja sekarang.” *** Pembunuhan lagi. Pasukan berseragam militer hitam dengan emblem berwarna gold serta lambang simbol rumit berbentuk segi enam terpampang di sisi kanan d**a atas seragam. Mereka adalah pasukan inti Black Militer. Prajurit tangguh yang sudah disiapkan untuk melindungi rakyat dari serangan Daemon. Beberapa orang tampak masuk ke dalam bangunan itu. Sebuah rumah sakit terbengkalai yang ada di daerah pedalaman Distrik 4. Aroma menyengat seketika menguar begitu mereka memasuki rumah sakit. Jejak - jejak darah juga tampak terlihat jelas di lantai rumah sakit. Mereka mengikuti. Salah satu pasukan kemudian maju, mengangkat tangannya kemudian sebuah cahaya berwarna biru menyala terang dari telapak tangan pemuda itu. Ruangan yang tadinya gelap gulita kini terlihat begitu terang bahkan seisi perabot - perabotan di dalam rumah sakit itu terlihat. Benja ~ Letnan sekaligus pemimpin pasukan itu berjalan ke depan. Manik gelapnya melirik ke bawah. Di mana jejak - jejak darah berserakan dimana - mana. Bahkan ada yang sampai menempel di dinding. “Hmm… baru saja terjadi pembantaan rupanya.” Gumamnya melihat beberapa potongan tubuh para Daemon berceceran. Dia juga melihat beberapa banyaknya potongan tubuh manusia tergeletak. Namun ada juga yang masih utuh. Kening Benja berkerut. Berlutut mengamati satu jasad yang masih utuh. Jasad tersebut bukan dari serangan Daemon, melainkan luka dari benda tajam. Semacam pedang? Benja kemudian mengarahkan cahayanya ke dalam sebuah ruangan. Manik gelapnya sontak melebar ketika di ruangan rumah sakit yang terbengkalai ini, terdapat puluhan mayat manusia tergeletak di sana. Mayat itu tampak baru. Dia juga melihat beberapa potongan tubuh Daemon. Cahaya lampunya lalu ia geser, tepatnya di pojok ruangan itu, terdapat tubuh seseorang yang sudah tak utuh. Kepalanya hilang separuh, organ - organ tubuhnya keluar dari tempatnya. Pun terdapat jejak darah di lantai yang begitu besar tampakk seperti diseret keluar. Benja dan pasukannya mengikuti jejak itu. Lalu ia menunduk kala di celah - celah ruangan, terdapat lubang menganga sebesar sumur. Bibir Benja menipis. Di sini sarang Daemon kah? Ia lalu memindah penerangannya ke segala sisi, lalu keningnya berkerut kala di beberapa tembok, terdapat jejak sepatu manusia. “Letnan.” Salah satu pasukannya memanggil. Dia masuk dan menghampiri Benja. Membisikkan sesuatu pada lelaki itu. Mata Benja melebar. Pria itu sontak bangkit dari duduknya lalu segera bergegas pergi menuju halaman belakang rumah sakit. Tempat anak buahnya menemukan sesuatu. Di sana, ia melihat sesosok tubuh pria dewasa tergeletak. Pria itu mengenakan jas hitam dengan simbol pin di sakunya. Itu adalah Van Russdell, walikota distrik empat. “Kita harus melaporkannya pada jenderal.” *** “Sebenarnya para murid yang ada di dalam Black Militer itu tidak banyak. Kebanyakan dari mereka yang telah memilki kemampuan mumpuni akan dbebaskan berkeliaran di luar. Dalam artian mereka akan ditarik secara langsung menjadi pasukan inti Black Militer. Orang - orang itu adalah anak - anak yang sudah siap melawan Daemon. Mungkin pria yang kau cari itu adalah salah satunya.” Jelas Sabin ketika sherly bertanya mengenai keberadaan pria yang harus bertanggung jawab karena menghancurkan rumahnya beberapa bulan lalu. “Ahh, atau mungkin pria yang kau cari itu berada di kelas unggulan.” Sherly mengangguk mengerti. Nanti jika ada waktu, dia akan diam - diam memasuki kelas unggulan. Siapa tahu pria berbalut perban ada di sana. Lalu di saat Sherly terlarut dalam pikirannya, tiba - tiba terdengar suara riuh di sepanjang asrama. Di pintu gerbang asrama, beberapa peleton mobil tampak berdatangan. Pasukan berseragam hitam turun. Manik kelam Sherly sontak melebar, di antara orang - orang yang turun dari mobil itu, terdapat sosok yang familiar. Itu dia. Pria dengan wajah berbalut perban yang ia cari. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN