3. Teman sekamar

1597 Kata
Akhirnya sampai juga. Sherly menghela nafas lega sembari mengusap keringat yang muncul di keningnya. Setelah berkeliling selama berjam - jam, akhirnya dia menemukan kamar asramanya. Bocah tampan yang seharusnya menjadi pemandunya dengan tidak bertanggung jawab meninggalkannya begitu saja. Dirinya yang orang baru tentu saja kebingungan mencari dimana kamarnya berada. Asrama ini sangat luas, dengan banyak lorong - lorong serta ruangan yang berjajar. Dirinya yang notabene buta arah tentunya sangat kesulitan menemukan kamar dengan nomer tiga kosong enam seperti yang tertera di gantungan kunci ini. Ia tentu saja sempat menanyai beberapa orang yang lewat, tetapi hampir semua dari mereka hanya menyuruhnya jalan lurus dan kemudian mereka melewatinya begitu saja. Benar - benar menjengkelkan. Apalagi…. Asrama wanita ini tampak sepi sekali. Sepanjang perjalanan tadi dia hanya bertemu lima orang siswi. Satu yang tampak tertidur di ruangan depan, dan empat lainnya yang berjalan bersamaan di lorong tadi. “Hay, kau anak baru ya?” Sherly berjingkat kaget ketika tiba - tiba seseorang berseru di belakangnya. Jantungnya nyaris copot kala dia menoleh dan menemukan kepala menyembul di luar pintu kamarnya yang tak terbuka sepenuhnya. Seorang gadis berpotongan Bob dengan poni menutupi dahi tersenyum lebar ke arahnya. Suaranya sangat cempreng membuat Sherly bisa menyimpulkan bahwa siswi yang saat ini menyapanya mempunyai kepribadian ceria. Ya, dia terlihat ramah. Ini adalah teman pertamanya di asrama. Sherly harus menyambut hangat kedatangan bocah ini. Dia akan menjadikannya sekutu. Hehe. Pikirnya dalam hati. Selama bersekolah nanti, Sherly tentunya membutuhkan teman untuk diajak bersimbiosis. “Ya, aku anak baru.” Jawab Sherly bersahabat. “Aku Sher~” Dia nyaris menyebutkan nama aslinya. Tetapi kemudian Sherly bisa meralat ucapannya, “Aku Cecil.” “Aku Sabin.” Balas gadis itu sembari tersenyum lebar balas menjabat tangan Sherly. “Aku tidak menduga kau akan berada di kamar ini.” Dia lalu melirik ranjang bersprei putih di dekat jendela. Di sana ada bedcover berwarna pastel yang telah digulung rapi. Pertanda bahwa ranjang itu sudah ada yang menepati. “Kau sekamar dengan Maria.” Gumam gadis itu dengan lemah. Dia lalu menoleh menatap Sherly, “Jangan menunggu teman sekamarmu ya, dia memang suka meninggalkan asrama.” Ujar Sabin memberi info. Perempuan itu lalu berbalik dan kembali tersenyum menunjukkan deretan gigi - giginya yang seputih s**u, “Baiklah, istirahatlah! Kau ada di kelas B kan? Itu berati kita sekelas.” Sabin menggenggam tangan Sherly penuh kidmat. “Ku harap kita bisa berteman oke! Dan jika kau butuh apa - apa, kau bisa memanggilku. Kamarku ada di sebelah.” Imbuhnya. Ohh betapa baik hatinya. Kalau begitu aku tidak akan sungkan - sungkan lagi bocah. Jawab Sherly dalam hati. Tawaran baik tentunya tidak akan mungkin ditolakkan. Sherly dengan senang hati mengangguk, “Mohon kerjasamanya.” Sabin kembali tersenyum lebar. Ia lalu berbisik, “Nah kita sudah resmi menjadi teman, dan ku harap kau tidak boleh terpesona dengan ketua kelas, oke!” Sebelah alis Sherly terangkat. Ternyata dasar pertemanan ini ada syaratnya. Oke baiklah. Tak masalah. Meskipun si Maxwell itu sangat tampan, dirinya tak mungkin jatuh cinta dengan seorang bocah. Sherly kemudian meringis. Balas tersenyum dan mengangguk patuh, “Tidak akan. Santai saja.” “Kau yakin?” Sabin menyimpitkan mata sanksi. “Tentu saja.” “Kau sudah melihat Maxwell Fringer bukan? Si ketua kelas B.” “Ya, dia tadi sempat mengantarku.” Jawab Sherly tanpa beban. “La… lalu, apa pendapatmu ketika melihat dia?” Aku bagai melihat perpaduan Dewa dan malaikat. Jawab Sherly dalam hati. Tentunya dia tidak mau langsung mengungkapkan pendapatnya ini. Perempuan di depannya ini sudah pasti fans fanatik ketua kelas, jika dia mengatakan isi hatinya, itu hanya akan menimbulkan kesalahpahaman. Ya, bohong jika Sherly mengatakan bahwa pria bernama Maxwell tadi memiliki rupa biasa saja. Dia benar - benar sangat tampan. Mungkin dia adalah laki - laki tertampan yang pernah Sherly lihat. Tapi tentunya manusia tidak ada yang sempurna. Sang ketua kelas itu memiliki cacat. Cacat sifat. “Dia bagus. Tapi aku sudah memiliki pacar.” Jawab Sherly. Tak masalah berbohong, yang penting dirinya ingin segera mengakhiri pembahasan ini. Sabin langsung menghela nafas lega. Perempuan itu kembali memasang wajah ceria, “Baiklah, aku percaya padamu. Kita bertemu di sekolahan besok ya!” Sherly mengangguk. Sebelum remaja perempuan itu pergi, dia ingin menanyakan sesuatu. “Ngomong - ngomong, kenapa asrama ini sepi sekali? Dimana semua orang?” Sabin diam sejenak. Wajahnya tampak murung, “Mereka semua ada di perpustakaan.” “Perpustakaan?” Sherly kemudian berseru takjub. Tidak menyangka siswi - siswi Black Militer rajin - rajin. “Mereka di sana bukannya membaca buku. Melainkan sengaja ingin melihat dan mendekati ketua kelas.” Hah? Sherly hanya bisa melongo. Tak habis pikir dengan perilaku absurd murid - murid wanita di sini. Otaknya kemudian kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu. Whua… mungkin anak tampan itu enggan mengijakkan kaki di asrama wanita karena sudah bisa menyadari hal ini. Hmmm… “Aku pergi dulu Cecil. Sampai jumpa.” Ujar Sabin segera berlalu pergi meninggalkan kamar Sherly. Ya, dia tadi sengaja menghampiri anak baru ini. Karena dirinya tidak ingin mempunyai tambahan saingan wanita yang mengagumi kekasih impiannya, Maxwell Fringer. Sepeninggal Sabin, Sherly segera menutup kamarnya kemudian menata barang - barangnya lalu mandi, makan, kemudian mengistirahatkan tubuhnya. *** Tak terasa waktu sudah berlalu begitu saja. Mata gadis itu terbuka ketika suara bel terdengar memekakkan telinga. Perempuan yang baru tertidur sekitar tiga jam itu sontak mendengkus dan dengan malas bangkit dari ranjang. Seperti yang Ribels News katakan, bahwa di setiap paginya asrama Black Militer akan selalu membunyikan alarm peringatan agar seluruh siswa maupun siswi di sini bangun dan segera mempersiapkan diri menerima pelajaran. Sherly bangun dengan malas. Melirik jam yang ternyata masih menunjukkan pukul empat pagi. Sialan. Baru jam empat mereka sudah membunyikan bel. Padahal sekolah berlangsung pukul tujuh. Tidakkah mereka terlalu awal menyalakan bel? Sherly ingin memaki siapapun pegawai yang kurang kerjaan menyalakan bel jam segini. Perempuan itu lalu kembali merebahkan diri ke ranjangnya. Kembali tidur itu lebih tepat dan efisien. Terlebih dirinya tadi baru saja bisa tidur nyenyak setelah mengalami insomnia. Ya, bagaimanapun dirinya nyaris tidak bisa tidur ketika memikirkan apa saja yang akan terjadi begitu dirinya menjejakkan kaki ke tempat ini. Meski selama lebih dari dua bulan dirinya menyiapkan tekad untuk menjadi mata - mata, tetapi tetap saja dia masih mengalami kecemasan, ketegangan, kegugupan dan.... Takut tentu saja. Bagaimana pun dia menyamar bukan ke sekolah biasa. Jika itu hanya menjadi siswa di sekolah umum biasa, Sherly tidak akan terlalu gugup seperti ini. Tetapi yang dilakukannya sekarng ialah menyusup dengan menjadi murid dari sekolahan Elit. Tempatnya orang - orang berkemampuan supranatural. Sekolahan ini pasti akan melakukan pembelajaran yang tak biasa seperti halnya sekolahan - sekolahan umum dan yang pasti begitu dirinya menjadi anggota Black Militer, sangat mungkin bahwa dia bakal bertemu dan dipaksa menghadapi para Daemon. 'Apakah keputusanku ini tepat ya?' Gumam Sherly lagi dan lagi. Demi satu miliar, dia harus menghadapi mara bahaya. Ya, meski tadi sebelum ke tempat ini dirinya terlihat sudah siap dan baik - baik saja, tetapi sejujurnya hatinya juga masih merasakan gelisah. Sherly mengutuk pria yang menjadi penyebab dirinya terpaksa menerima tawaran ini. Kalau bukan gara - gara pria b******k itu, dia tidak akan menerima pekerjaan ini. Rumahnya sudah hancur, dan lukisannya yang dibuat susah payah juga telah rusak. Sebenarnya bisa saja Sherly membuat lukisan lagi yang sama seperti yang dipesan orang dari kalangan elit itu. Tetapi hanya saja kemungkinan dia tidak bisa lagi membuat lukisan yang sama persis, pun juga tidak bisa melukis dengan cepat layaknya membuat masakan. Mahakaryanya yang laku dengan harga tinggi itu membutuhkan waktu beberapa minggu untuk menyelesaikannya demi memperoleh keaistentic serta feel supaya lukisannya itu terlihat hidup seolah memiliki nyawa. Dan pengusaha yang membeli lukisannya itu harus menyerahkan lukisannya sehari sebelum peristiwa na'as itu terjadi. Sherly menipiskan bibir, meremat kedua tangannya penuh tekad. Ya, keputusannya mungkin sudah tepat. Ia juga bersumpah akan menuntut balas terhadap lelaki yang telah merusak rumah serta lukisannya. Ya, dia tak boleh ragu dan harus semangat menjalani pekerjaannya sebagai mata - mata. Untuk sekarang dia harus tidur lagi, mensoltir energinya untuk menghadapi pelajaran di hari pertama dirinya menjadi murid sekolah lagi. 'Yupz, kau harus semangat Sherly. Chayoo.' Ujarnya memberi semnagat diri sendiri. Sherly kembali meraih selimutnya, mengapit gulingnya, memejamkan mata kembali tidur. Namun sebelum itu dia sempat melirik ranjang kosong yang ada di sebelahnya. Itu adalah ranjang milik teman sekamarnya. Tetapi entah kenapa sampai sekarang dia tidak melihat siswi pemilik ranjang itu datang. Bahkan daritadi, sejak dirinya masuk ke asrama ini, Maria - nama siswi yang sekamar dengannya sama sekali tidak menampakkan hidungnya. Ternyata apa yang Sabin katakan mengenai teman sekamarnya itu benar. Kalau begitu kemana dia? Boloskah? Ahhh, masa bodoh! Mau dia datang atau tidak, bukan urusannya. Malah bagus bila dirinya hanya sendirian menempati kamar ini. Hehe. Sherly akhirnya kembali melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. *** "Tiga kosong dua, tiga kosong tiga, tiga kosong empat, tiga kosong lima, tiga kosong.... " Seorang wanita bertubuh tinggi tegap yang merupakan salah satu pelatih Black Militer mengerutkan kening ketika anak yang harusnya menepati kamar bernomor tiga kosong enam berdiri dalam barisan sesuai dengan peraturan. Tetapi penghuni kamar tiga kosong enam itu tidak ada. "Lagi - lagi tidak datang. Benar - benar." Gumamnya tahu kebiasaan siswi penghuni kamar 306. Wanita berpotongan pendek itu menatap seluruh siswa dan siswi Black Militer tegas. Dirinya mengintruksikan agar seperti biasa mereka melakukan olah fisik di pagi hari dengan berlari menaikki bukit. Ya, siswa yang dimaksud di kamar 306 itu memang selalu absen. Tetapi sang guru belum mengetahui bahwa ada penghuni lain yang sekarang menempati kamar itu. Dialah Sherly yang pastinya tengah melanjutkan mimpi indahnya yang sempat tertunda akibat bunyi bel beberapa menit lalu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN