7. Ancaman Leon

1022 Kata
“Dia memang tidak bisa apa - apa.” Trinity, gadis remaja berumur tujuh belas tahun yang merupakan salah satu siswi paling terkenal di Black Militer. Wajahnya cantik dan menawan, matanya indah seperti angsa. Kakinya jenjang seperti menjangan, dan tubuhnya tinggi tegap, sangat profesional. Rambut merah panjangnya yang sedikit berombak, membuat sosoknya menjadi semakin indah dan digilai kaum adam. Namun sayang, dia sangat angkuh. Tidak ada yang boleh menyainginya tetapi dia juga jijik dengan orang lemah. Jika dirinya tidak suka, maka dia tidak akan segan - segan menyingkirkan. Dan tentunya akan ada banyak lelaki yang bersedia membantunya. Tetapi dari banyak pria yang mengejarnya, Trinity hanya tertarik pada pria - pria yang mempunyai kedudukan tinggi, termasuk salah satunya Leon Hassel. Dia akan berusaha keras untuk menyenangkan hati pujaannya. “Memang bodoh.” Sahut Ruth. Sahabat setia Trinity. Mereka kini berada di lapangan, berdiri dengan kedua tangan bersendekap menatap siswa perempuan yang baru menyelesaikan dua permainan ala militer sementara anak - anak yang lain sudah berada di permainan ke lima. Anak baru bernama Cecil itu tampak ngos - ngosan dan sudah tak berdaya. Mereka yang memiliki kekuatan, pasti akan sedikit menggunakan kemampuan mereka untuk segera menyelesaikan permainan ala Ninja Warior itu. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Trinity tersenyum miring, “Memberitahu Leon.”Jawabnya dengan semangat. *** Sabin, yang tadinya tampak begitu antusias menarik dirinya dan mengajaknya pergi ke kantin tiba - tiba saja menghentikan langkah saat dua orang perempuan menghadangnya. Perempuan itu sontak mundur selangkah dengan wajah tertunduk dengan tubuh gemetar. Wajah gadis itu berubah pias, bibirnya digigit kuat dengan getaran dalam. Sherly memperhatikan. Dan menemukan ketakutan pada temannya itu. ‘CK.’ Sabin bilang akan selalu berada di belakangnya. Huh… ternyata sangat benar, dia kini perlahan mundur saat kalimat demi kalimat dilontarkan oleh si rambut merah. Aura perempuan itu memang sangat mengintimidasi. Heh…. jadi sudah mulai ya? “Kau anak baru yang tadi pagi bukan?” “Ya.” Jawab Sherly jujur. Trinity menatapnya mencemooh, “Anak baru yang tidak memilki kekuatan apapun bisa sekolah di sini?” Dia sedikit berjongkok lalu berbisik mengintimidasi, “Lebih parah dari temanmu ternyata. Tidak tahu diri.” Whuaa… ini benar - benar… Sherly tidak habis pikir, dirinya akan dibully oleh anak - anak. Ini benar - benar menjengkelkan. Lalu apa yang harus dia lakukan? Sherly melirik Sabin yang masih terdiam dengan tubuh gemetar. Meminta bantuan pada gadis itu tentunya percuma. Sabin juga sangat ketakutan. Gadis bernama Trinity ini pastilah sangat kuat, terlebih dia adalah anak buah si Leon Leon itu. Si - a - lan. Entah penindasan apapun yang akan mereka lakukan padanya, yang jelas dia harus bertahan demi satu miliyar Kods. Memejamkan mata sejenak, Sherly menenangkan jantungnya yang berderup. Perempuan itu kemudian mendongak, balas menatap mata Trinity. “Ya, aku memang tidak tahu diri.” Balasan yang Sherly ucapkan itu tentunya membuat gadis di depannya terkejut. Dengan mudahnya dan tanpa beban, gadis itu mengakui semuanya. Sherly berkata tidak tahu malu, “Aku adalah anak rekomendasi dari kepala sekolah dan aku menggunakan uang yang banyak agar bisa masuk ke sekolah ini.” Perempuan itu kemudian maju, merentangkan kedua tangannya lebar - lebar. “AKU ADALAH GADIS BIASA YANG TAK MEMILIKI KEKUATAN SUPER.” Imbuhnya dengan bangga dan percaya diri membuat para siswa yang berlalu lalang sontak menghentikan langkah dan atensi mereka semua langsung tertuju pada siswa baru itu. *** “Wah, wah, wah!” Leon bertepuk tangan. Lelaki itu melangkah mendekat dengan tenang serta senyum manis di wajahnya, “Cecil August, kau benar - benar tidak tahu malu.” Pertanyaan itu tentu saja sebuah ejekan. Tetapi nada suara yang Leon berikan seperti sebuah humor pun dengan wajahnya yang mengembangkan senyum ramah. Lelaki itu maju menggeser Trinity, dia berdiri tepat di depan Sherly. “Ya, aku memang seperti itu.” Jawab Sherly. Wanita itu memasang wajah pura - pura bodoh. Tetapi dalam hati menggerutu. Sial. Ingin sekali dia memaki anak - anak ini. Leon mengangguk - angguk menyetujui pengakuan gadis di depannya. Senyuman tak pernah pudar dari bibirnya. “Ku rasa temanmu sudah menceritakan apa yang terjadi di sekolahan ini bukan?” Ujar Leon tanpa repot - repot melirik Sabin yang kini sudah mundur dua langkah di belakang Sherly. Sherly hanya terdiam, menunggu apa yang hendak bocah sialan di depannya katakan selanjutnya. “Jika sudah, aku akan langsung ke intinya.” Lelaki itu lalu bersendekap, “Seperti apa yang aku katakan tadi pagi padamu, ku harap kau menentukan pilihan dengan tepat.” Manik biru Leon kemudian berkilat jahat. Senyuman ramahnya berganti dengan senyuman mengintimidasi, “Segera mengundurkan diri dari sekolah ini dengan sendirinya atau aku terpaksa harus membantumu keluar dari sini.” Jeda sejenak, “Seperti pria tadi pagi.” Ini serius. Sherly menelan ludah. Seumur hidupnya dia tidak pernah menemui anak muda sejahat ini. Dulu ketika dirinya masih muda dan bersekolah, dia memiliki teman - teman sekolah yang super nakal dan resek. Tetapi tak ada dari mereka yang benar - benar keterlaluan. Hal - hal mengenai pembullyan ekstream hanya ia lihat di dalam film serta novel. Dan tak pernah berpikir akan terjadi di dunia nyata. Tetapi sekarang melihat pria di depanya, dia jadi mempercayai bahwa penindasan yang terjadi di dalam film itu terinspirasi dari peristiwa nyata. Pemuda di depannya itu benar - benar…… mengintimidasi. Sialan. Sherly tidak habis pikir bahwa dirinya akan mengalami hal seperti ini. Sudah sangat menjadi beban bahwa ia yang sudah tua diharuskan kembali menjadi siswi, dan sekarang bebannya akan bertambah karena masalah yang datang menghampiri. Dirinya tentu akan sangat senang untuk meninggalkan sekolahan ini, tetapi dia tidak bisa begitu saja meninggalkan tempat ini. Tidak sebelum misinya berakhir. Dia harus bertahan. Satu miliar menanti. Gadis itu mengembangkan senyum, ia kemudian menjawab, “Aku tidak memilih keduanya.” Sherly maju mendekat, mendongak menatap mata biru Leon dengan berani, “Aku akan tetap bersekolah di sini, Bocah.” Ujar Sherly yang seketika berbalik menghampiri Sabin kemudian menggandeng tangan perempuan itu mengajaknya pergi dari sini. Sementara Leon di sana mengerjapkan mata. Dia tergugu sebelum kemudian tersenyum dengan mata berkilat menyeramkan, “Kau sudah memilih.” “Kalau begitu dengan terpaksa aku harus membantumu keluar dari sini.” Desis Leon memulai aksi penindasannya. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN