GALAU

1201 Kata
Gyan tertegun di posisinya. Tangan kirinya naik ke dad4, mencengkeram kemejanya, seolah ada rasa nyeri yang tiba-tiba saja muncul. Harusnya... ia tak sakit hati dengan ucapan Belle bukan? ‘Apa yang salah?’ *** “Merde!” Sialan; umpat Gyan. “Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?” Ia kesal pada dirinya sendiri. Aroma segar laut kian menipis seiring malam yang kian larut, menjauh terbawa angin darat yang kering. Di depan sebuah villa, Gyan berdiri mematung. Suara ombak dari bibir pantai berpadu dengan gemerisik dedaunan, menyisakan kesunyian aneh yang memekakkan telinga—semacam merasa kesepian di tengah keramaian. Ia belum juga beranjak sejak Belle masuk ke bangunan mungil itu tanpa sekalipun berbalik untuk menghiraukannya sejenak. Gyan juga merasa aneh, bahkan menghentikan langkah Belle dengan tindakan nyata pun ia tak berani, seperti anak kecil yang baru melakukan kesalahan besar. Satu tangannya naik lagi menekan dad4, bukan karena sesak napas, tapi karena ada sesuatu yang aneh berdenyut di balik sana—rasa nyeri yang bahkan tak punya nama. “Kenapa Belle marah? Gue salah ngomong?” monolognya lagi. Ia mengembuskan napas berat, bertolak pinggang, lalu tertawa hambar. Rasanya bodoh. Perempuan yang tinggal di villa ini bahkan bukan cinta pertamanya. Saat Diana menolaknya tadi, ia bahkan bisa mengendalikan emosi. Tapi, kenapa sudah lima jam dicuekin Belle tak juga membuatnya beranjak pergi? Suara sosok yang mendekat terdengar dari balik punggungnya. “Anda tidak lelah, Tuan?” Gyan menoleh. Bruno berdiri dengan ekspresi datar, namun di sorot matanya jelas ia merasa bosnya konyol. Pengawalnya menyerahkan paper bag berisi sepaket makan malam. “Berani menertawakanku, aku tembak kepalamu!” omel Gyan. Bruno menarik napas dalam, berusaha sekuat tenaga agar tak tertawa. “Ada apa sih dengannya?” lirih Gyan kemudian, seolah dengan bertanya sang pengawal bisa memberi jawaban logis padanya. “Perempuan biasanya butuh waktu, Tuan.” Kening Gyan makin mengernyit. “Waktu untuk apa?” “Untuk memastikan laki-laki yang membuat mereka kesal, benar-benar kesal juga.” Gyan mendengus keras. Bruno menyeringai berhubung nyalinya ciut untuk tertawa bebas. “Kau lihat ini,” ujar Gyan seraya memperlihatkan chat dari Belle dua jam yang lalu. “Dia menyuruhku pergi, katanya ia tidak apa-apa. Tapi kenapa harus dengan chat? Aku kan berdiri di depan villanya.” Bruno mengangguk-angguk, bertahan agar tak mengumpat bosnya sendiri. “Entah kenapa aku merasa dia berbohong. Kalau perempuan bilang ‘ia tidak apa-apa’, berarti ada apa-apa, kan, Bruno?” “Kalau saya jawab iya, nanti Tuan makin stres.” Bahkan jawaban asal begitu dianggap serius oleh Gyan. Keheningan kembali turun di antara mereka. Bruno menatap arlojinya. “Sudah hampir tengah malam, Tuan. Sebaiknya kita kembali. Kalau Nona Belle mau bicara, besok pun dia masih di sini.” Gyan tak langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju ke jendela villa yang lampunya temaram sedari tadi. “Tapi dia belum makan. Aku di sini dari tadi. Tidak ada staf hotel yang datang.” “Mungkin Nona masih punya makanan instan, Tuan. Lagipula, bukan hal yang aneh jika perempuan tidak makan malam,” jawab Belle. “Aneh jika itu Belle,” lirih Gyan. ‘Belle tidur, atau akhirnya nemuin alasan untuk ngejauhin gue?’ pikirnya getir. “Sangkutkan ini di pintunya,” titahnya kemudian pada Bruno untuk meletakkan makan malam Belle. Akhirnya ia menyerah. Langkahnya berat ketika berbalik. Ia berjalan pelan-pelan. Berkali-kali menoleh, seakan menunggu sesuatu—suara, panggilan, atau sekadar bayangan Belle muncul di balik tirai jendela. Tidak ada. Gyan: Makan malammu kusangkutkan di pintu. Isi perutmu, jangan marah saat perut kosong, Belle. Ia terus menatap ponselnya, namun balasan Belle juga tak kunjung ada. Bruno bisa melihat tatapan bingung tuannya, bolak-balik ke arah villa, layar ponsel, lalu pantai yang gelap. Ia tak berani bicara, lebih karena takut salah memilih kata dan membuat peluru panas bosnya menyasar tubuhnya—meski belum pernah sampai kejadian. “Apa?” tanya Gyan. “Saya tidak bicara apa-apa, Tuan,” sahut Bruno. “Kepalamu berisik!” “Maaf, Tuan.” “Kau meledekku?” “Tidak, Tuan.” “Lantas?” “Saya hanya berpikir kenapa Tuan tidak mendobrak pintu villa Nona Belle saja?” Gyan berhenti sejenak, namun tak langsung menjawab. “Sudahlah. Aku lapar,” pungkasnya lalu mengayun langkah kembali. Ia tak tau jawaban atas pertanyaan sederhana itu. Apakah mungkin karena ia tak punya banyak ‘orang’ di hidupnya? Kini... hanya Edith, Giselle, dan Belle. Ibu, adik, dan sahabatnya. Bruno menggeleng tipis, nyaris tak kentara. Jika Gyan tak punya jawaban, Bruno sebenarnya tau apa yang terjadi. Alexander Elroy mungkin piawai mengendalikan kekacauan dunia gelap, namun tidak untuk menghadapi urusan perempuan apalagi cinta yang tidak disadarinya. *** Tiga bulan berikutnya hubungan mereka tak lantas menjadi lebih baik. Rekonsiliasi yang Gyan upayakan seolah gagal total. Sebagai partner bisnis, kerja sama Gyan dan Belle berjalan mulus—laporan rapi, rapat tepat waktu, dan hasil desain tim coeur d’or untuk koleksi khusus di Bali dan Jakarta bahkan menuai pujian dari investor lokal. Tapi di antara semua keberhasilan itu, ada jarak yang tak kasat mata dan dingin. Belle benar-benar hanya hadir untuk bekerja, untuk menjalankan perannya sebagai chief designer merek mereka. Ia memperlakukan Gyan sebatas rekan bisnis, bukan sahabat yang selama beberapa tahun terakhir tak pernah absen menemani, seseorang yang tak pernah mengeluh menemani Gyan di atap kediaman Elroy setiap kali pikiran Gyan terasa sesak. Ia datang seperlunya, menyapa seperlunya, berbicara seperlunya, lalu pergi tepat waktu. Tak ada obrolan ringan, tak ada candaan. Semua terukur. Semua diatur. Semua berjarak. Gyan berusaha bertahan di antara formalitas itu. Ia tak ingin proyeknya gagal dan justru membuat Belle semakin marah. Bahkan saat proyek besar lain butuh sentuhannya, Gyan mejaga komitmennya untuk selalu muncul di hadapan Belle. Sayangnya... semakin bertambah hari, semakin tak terlihat dirinya bagi Belle. Suatu pagi, Gyan pernah datang lebih awal ke lokasi proyek—hanya untuk menatap Belle yang sedang mengecek konstruksi interior bersama tim. Langkahnya terhenti beberapa meter sebelum mendekat, ketika gadis itu hanya memberi satu anggukan sopan lalu kembali menatap lembar kerja. “Kenapa Bruno bilang kamu tidak akan ikut ke Jakarta?” “Di Jakarta baru pembangunan butik, kehadiranku tidak diperlukan.” “Perlu, Belle. Kamu yang menentukan layout.” “Ada kamu kan? Cabang itu impianmu. Aku kah sudah bilang, di Bali saja cukup. Pekerjaan di sini juga masih banyak. Lagipula aku berbaik hati untuk memberimu kesempatan merebut hati cinta pertamamu lagi, seperti tujuan awalmu membuka cabang di Jakarta. Siapa tau dia masih bisa goyah. Semangaaat!” “Belle! Tidak lucu!” “Aku serius, tidak sedang melucu.” Belle beringsut, mengatakan banyak hal pada desainer interior yang akan membantunya menata butik tersebut. Sementara Gyan diam saja di posisinya, tatapannya lekat ke sosok Belle yang lebih dingin dari ratu es. “Mau saya belikan kopi, Tuan?” tanya Bruno. Gyan nyaris tersentak. Ia berdehem untuk menyingkirkan salah tingkahnya. Kenapa harus salah tingkah? Gyan pun tak tau alasannya, atau... belum sadar lebih tepatnya. “Tidak usah. Aku hanya memastikan semuanya beres.” “Nona Belle tampak anggun hari ini,” ujar Bruno lagi. “Jaga pandanganmu!” ketus Gyan. “Maaf, Tuan,” tanggap Bruno. “Saya kira Tuan memperhatikan Nona karena sepaham dengan penilaian saya.” “Bruno?” “Ya, Tuan?” “Tutup mulutmu!” Bruno mengatupkan bibir, menahan kekehan. ‘Anda sedang kalah, Bos. Dengan seorang wanita, bukan di meja perundingan.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN