FRUSTASI

1939 Kata
Gyan sudah kembali dari Jakarta, membawa laporan untuk Belle, termasuk kejadian heboh yang dialaminya. “Diana diculik, kami melacak keberadaannya. Dan kamu tau siapa pahlawan dari kejadian itu? Aku tentu saja! Aku menembak baj1ngan tua yang sakit hati pada suaminya sampai menggunakan Diana demi sejumlah uang. Konyol sekali!” Heboh, Gyan begitu antusias menceritakan hal tersebut. Belle diam saja, hanya memandang Gyan yang meneguk cola dinginnya. “Tapi,” lanjut Gyan, “mereka kehilangan bayi mereka. Diana bahkan tidak sadar jika ia hamil.” Lalu ia menghela napas panjang. “Syukurlah,” tanggap Belle. Kening Gyan sontak mengernyit. “Syukurlah?” “Syukurlah dia selamat.” “Oh. Kamu benar. Urusan anak, mereka masih bisa bikin lagi.” Ia tergelak sendiri. Belle melempar tatapan sinis. Gyan menghentikan tawanya, perasaan tak beres menerpanya lagi. “Dan syukurlah kamu tak menembak suaminya,” lanjut Belle. “Aku—“ “Masih ada yang mau kamu ceritakan tentang cinta pertamamu itu?” Nada suara dan tatapan Belle meningkat level sinisnya. Gyan menunduk. “Tidak.” “Kalau begitu, selesaikan urusanmu, atau aku akan kembali ke Paris sendirian.” “Kita harus pulang sama-sama, Belle!” Nada suaranya terdengar tenang, namun jelas terselip perintah—atau penolakan keras jika ia tak akan membiarkan Belle meninggalkannya. Belle tak menjawab. Ia hanya menatap laut di kejauhan, membiarkan angin sore mengibaskan ujung rambutnya. Dari teras villanya tempat mereka bicara, suara debur ombak terdengar samar—tak menenangkan seperti seharusnya, justru mengingatkan jika sesuatu di antara mereka perlahan tenggelam. “Bagaima kabarmu?” tanya Gyan, benar-benar kehilangan kemampuan memecah hening. “Kalau sudah tak ada yang mau dibicarakan, kembali saja ke villamu,” tanggap Belle. “Nanti.” Gyan melirih. Beberapa detik berlalu tanpa suara. Gyan akhirnya menoleh, menatap gadis cantik yang tengah memejamkan mata di sampingnya. “Ayo kita jalan-jalan?” ajaknya. “Kita ke sini untuk kerja, Gyan. Bagian mana yang tidak kamu pahami?” Jantung Gyan serasa dihujam belati saat mendengar nada dingin itu—untuk kesekian kali. Ia menarik napas panjang, lidahnya sudah siap membalas. Namun, ingatan jika Belle bisa saja nekat pulang sendirian ke Paris mengurungkan niatnya. “Baiklah kalau kamu tidak mau,” ujar Gyan akhirnya. “Aku akan kembali ke villaku.” “Hmm.” “Istirahatlah. Dan jangan lewatkan makan malam.” Belle berdiri dari duduknya, melangkah lebih dulu menuju pintu villanya. “Belle?” tegur Gyan lagi. Ia ingin memperbaikin keadaan buruk di antara mereka, meski ia masih tak paham kenapa Belle tiba-tiba saja semarah ini. “Urus saja urusanmu sendiri, tidak usah pedulikan aku!” ketus Belle seraya melangkah masuk, meninggalkan Gyan yang mematung di tengah embusan angin laut. *** Hari-hari berikutnya hanya diisi rutinitas. Rapat. Revisi. Desain. Presentasi. Belle selalu tepat waktu dan selalu terlihat tenang. Tapi di balik semua itu, Gyan merasa ada sesuatu yang perlahan menjauh—seperti benang tak kasat mata yang dulu mengikat mereka, kini mulai putus satu per satu. Minggu terakhir di Indonesia, ia melangkah ke meja Belle, meletakkan segelas kopi dingin untuk sahabatnya. “Iced Vanilla Coffee Cubes Latte.” Belle menoleh, menatap gelas yang diletakkan Gyan. “Tenggorokanku sedang tak nyaman.” Gyan membeku sejenak. Ia lalu menghentakkan napas, menarik kursi, duduk di depan Belle dengan senyum terbaiknya. “Seingatku kamu tidak punya alergi dingin, jadi kopi itu aman untuk kamu minum. Atau kamu mau kubelikan yang hangat? Flat white?” “Tidak usah,” ketus Belle. ‘Sabar, Yan! Sabar lo!’ “Masih ada desain yang mau diproduksi?” tanya Gyan lagi. “Tidak.” “Belle, kurasa pekerjaan kita bisa selesai sebelum tenggat. Masih ada waktu dua hari sebelum jadwal pulang. Apa kamu mau—“ Gelengan Belle memotong ucapan Gyan. “Contoh produk akan datang di tanggal itu. Kalau kamu bosan, berliburlah sendiri.” Gyan menutup mulutnya. ‘Baiklah. Dua hari libur pun tidak akan memperbaiki apa pun.’ Ia bernapas dalam. “Aku juga tidak ke mana-mana kalau begitu.” Malamnya, Gyan diam di halaman belakang villa-nya, berbaring di atas kursi santai yang menghadap laut, menatap langit Bali yang kelam dan sepi. Hanya ada beberapa bintang saja di sana. Tempat yang sama, langit yang sama, tapi sudah tiga bulan Belle enggan menemani. Ia menghisap rokoknya, menatap bulan yang bulat sempurna. ‘Sh1t! Kenapa rasanya kayak kehilangan sesuatu?’ “Tuan?” Gyan menoleh. Bruno meletakkan sebuah amplop hitam di atas meja, lalu kembali berdiri tegak dan mengangguk. Gyan bangun, duduk menghadap meja sambil mematikan rokoknya. Di bagian depan amplop tersebut tertulis La Noire Galerie — proyek kamuflase yang menghubungkan bisnis legal keluarga Elroy dengan jaringan mafia. Map itu Gyan buka, sebundel dokumen transaksi rahasia ia tarik keluar. “Apa ada masalah?” tanya Gyan kemudian. “Semua aman, Tuan.” “Aku tidak perlu membuat Belle pulang sendiri bukan?” “Tidak perlu, Tuan. Semua sudah dipastikan, ‘benda’ yang kita cari tidak ada di sini. Gyan mendengus lalu mengangguk. “Satu-satunya yang kacau di sini hanya fakta jika Belle masih dingin padaku.” “Mungkin Nona Belle mencoba menjaga profesionalismenya, Tuan.” “Kau percaya dengan ocehanmu barusan?” Bruno menggeleng. Gyan mendengus keras untuk kesekian kali di hari itu. “Apa perlu aku bicara dengan Nona Belle, Tuan?” tanya Bruno kemudian. “Kalau kau mau kutembak di tempat, silakan,” tanggap Gyan. “Tidak jadi kalau begitu, Tuan.” Gyan mendecak. “Tapi Nona perlu diperingatkan agar tidak membuat Anda stres, Tuan.” “Bruno?” “Saya akan tutup mulut, Tuan.” *** Langit Paris musim gugur menyambut mereka dengan warna kelabu. Rintik gerimis melekat di jendela pesawat, membiaskan cahaya bandara hingga berpendar. Namun jauh sebelum private jet itu mendarat, udara dingin di antara dua kursi penumpang utamanya sudah lebih menusuk daripada udara luar. Belle duduk di sisi jendela, headphone menutup telinga, sementara jemarinya sibuk menulis catatan atau membuat desain gaun di tablet. Ia hanya merespon awak kabin yang kerap menawarkan minuman, snack, atau main course. Tapi begitu Gyan atau anak buahnya yang mengajak bicara, ia diam saja. Seolah apa pun yang berhubungan dengan Gyan—bahkan tatapan singkatnya—ingin ia hindari. Gyan memandangi pergelangan tangannya yang dilingkasi gelang pemberian Belle. Singkat kisahnya, salah satu desain perhiasan yang Belle buat diadopsi oleh sebuah merek perhiasan terkemuka di Paris. Belle kebagian sepasang gelang yang akhirnya ia dan Gyan gunakan. Ia melirik ke pergelangan tangan Belle, syukurlah gelang itu masih ada di sana. Sudah berjam-jam mereka dalam penerbangan, namun dialog mereka tak pernah berlanjut dari dua pertanyaan yang Gyan lontarkan; “kamu membuat apa?” dan “apa kamu tidak lelah?”. Biasanya, sepanjang perjalanan Belle akan menyelipkan candaan, menatapnya dengan mata tenang itu, mengorek banyak hal dari Gyan. Namun kini, kedua mata indah itu tak sekalipun tertuju padanya. Gyan menarik napas, pelan namun dalam. ‘Gue harus gimana sih? Ngga enak banget rasanya.’ Bruno, yang duduk di baris seberang, memperhatikan majikannya dengan tatapan khawatir. Tapi ia cukup bijak untuk tak ikut campur. Sekalipun Gyan menguasai perundingan antar kepala geng, urusan perempuan tampak terlalu rumit untuk bosnya, bahkan untuknya sendiri. Saat roda pesawat menyentuh landasan, Gyan baru sadar betapa keras ia mencengkeram lengan kursi. Laju berhenti, Belle buru-buru berdiri, mengambil kopernya, lalu berjalan menuju pintu jet yang bahkan belum dibuka. Ia tak menoleh, sekalipun semua orang menatap heran. Pintu terbuka, udara dingin Charles de Gaulle menyerbu masuk ke kabin. “Belle,” panggil Gyan seraya menggenggam pergelangan tangan Belle. “Ayo kita bicara.” “Ada yang harus aku urus. Aku terburu-buru,” ujar Belle, masih dingin. Gyan tak mengendurkan genggamannya. “Kalian semua, tinggalkan kami!” titahnya kemudian. Tak ada yang membantah, semua bergerak keluar, sementara Gyan menarik Belle ke salah satu sudut kabin. “Apa maumu? Cepat, waktuku tidak banyak,” ujar Belle lagi. “Kamu mencuri pertanyaanku,” tanggap Gyan. Kedua tangannya terulur, mengukung Belle. Tak ada tanggapan. “Apa yang membuatmu marah?” tanya Gyan kemudian. Suaranya serak, seperti memohon. “Sikapku yang mana yang salah? Aku mengatakan sesuatu yang menyinggungmu?” Belle mendorong Gyan di dad4, namun pria itu tetap bergeming, tak bergeser sedikit pun. “Lihat aku! Jawab aku, Belle!” “Kenapa kamu pikir aku marah padamu?” tantang Belle. “Kamu merang marah padaku. Dan itu... sejak aku bilang kalau kita menikah adalah sebuah kegilaan.” Belle terkekeh, namun tak terdengar menyenangkan di telinga Gyan. “Kamu berhalusinasi.” “Oh ya? Kalau begitu, beri aku penjelasan yang masuk akal soal sikapmu yang berubah total.” “Minggir! Apa kamu tuli? Ada hal penting yang harus kuurus, Gyan!” Gyan kesal mendengar suara Belle yang sedikit meninggi. Ia mencondongkan tubuh, jarak di antara mereka kian terkikis. “MINGGIR!” pekik Belle. Gyan membelalak. Satu tangannya pindah ke punggung lawan, sementara tangan lainnya menahan tengkuk, dan bibirnya menyambar rakus bibir sang gadis. Belle membeku. Ciuman itu penuh emosi, ditambah tubuh mereka yang menempel erat. Sejenak ia tenggelam, bahkan kedua kelopak matanya nyaris menutup, dan ia hampir saja membuka bibirnya. Hingga... kewarasan kembali menempeleng kesadarannya. Tenaga ia kumpulkan ke telapak tangan, mendorong Gyan sekuat tenaga. Ciuman dan pelukan mereka terurai, Gyan mundur dua langkah. Keduanya sama-sama terengah-engah. “Apa kamu mencintaiku? Atau setidaknya tertarik denganku? Kamu mau pacaran denganku?” tanya Gyan tanpa berpikir. “Kamu mau tidur dengan manusia sepertiku? Kamu mau hidup dengan orang tanpa latar belakang jelas sepertiku? Kamu mau menikah denganku, hah?” Kalimat-kalimat itu terlontar seperti pecahan kaca—tajam, tanpa arah. Udara mendadak hening. Belle menatapnya, lama, begitu lama sampai Gyan hampir menyesali setiap kata yang baru ia ucapkan. Lalu.... ‘Plak!’ Tamparan itu terdengar lebih keras dari yang seharusnya. Gyan syok, mematung di tempatnya. Belle menatap Gyan dengan mata berkaca-kaca—bukan marah, tapi kecewa sedalam-dalamnya. “Kamu bahkan tidak bisa menghargai apa yang kamu miliki, Gyan,” ujar Belle. Suaranya terdengar bergetar. “Jangan sampai ibumu mendengar ocehanmu barusan. Cukup ayahmu saja yang menangis dalam kubur!” Belle mengayun langkah, melewati Gyan, bahu mereka sempat bersinggungan. Gyan masih di tempatnya, bergeming dengan tatapan kosong. Dadanya sesak, pipinya panas, namun bukan karena tamparan. Ada sesuatu yang lebih dalam dari rasa malu—sebuah kesadaran aneh bahwa untuk pertama kalinya, ia kehilangan seseorang bukan karena perang atau perebutan kekuasaan… tapi karena mulutnya sendiri. Bruno masuk ke kabin kembali, berdiri di belakangnya tanpa bicara. Ia menatap bosnya yang masih tampak linglung. “Anda ingin minum, Tuan?” Gyan tidak menjawab. Ia menunduk, menatap lantai pesawat, lalu tersenyum getir. “Bruno…” lirihnya. “Apa kamu tau apa yang aku rasakan?” “Soal apa, Tuan?” “Aku tau kau menyimpan pikiranmu sendiri tentang Diana.” Bruno tak menanggapi. “Katakan padaku. Ini perintah!” ujar Gyan lagi. “Maaf jika saya lancang, Tuan. Tapi, saya rasa Anda tidak lagi mencintai Nyonya Bhadrika. Alasan Anda kembali untuk menemuinya adalah karena janji yang tidak ingin Anda langgar. Seperti yang Monsieur bilang dulu; ‘putraku terlalu baik.’ Alasan lainnya, karena—“ Monsieur yang Bruno maksud adalah ayah angkat Gyan. “Karena?” “Anda mencari orang dengan latar belakang sama seperti Anda.” Gyan menoleh, menatap Bruno. “Anda sudah melewati masa berkabung dan hari-hari sepeninggal Monsieur dengan sangat baik, Tuan. Tapi saya rasa, kepergian beliau membuat Anda ingin pulang... ke tempat Anda tumbuh. Dan satu-satunya orang yang menjembatani kenangan itu adalah Nyonya Bhadrika.” Tak ada bantahan. “Lalu Belle?” tanya Gyan lagi. Bruno tersenyum. “Anda lebih tau soal itu, Tuan.” “Tapi kami bersahabat.” “Untuk kali ini, kita tidak sepaham, Tuan. Tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki dalam kamus hidup saya.” Gyan menghela napas panjang. “Aku mengacau, Bruno. Aku membuatnya menjauh.” “Anda pasti bisa memperbaiki situasi. Anda selalu bisa, Tuan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN