Belle turun dari pesawat dengan langkah mantap, surainya sedikit berantakan diterpa angin. Seorang anak buah Gyan membawakan kopernya menuruni tangga. Begitu sepatunya menjejak aspal, Belle langsung mengambil alih handle koper itu.
“Aku bisa pulang sendiri,” ujarnya singkat, tanpa menatap wajah pria bertubuh kekar di sampingnya.
Pria itu sempat hendak membantah, namun ekspresi keras di wajah Belle cukup untuk membuatnya menelan kembali kata-kata di ujung lidah. Ia mengangguk, menatap punggung Belle yang kian menjauh ke arah terminal kedatangan.
Seperti biasa, dua pengawal lain—Pierre dan Andre—mengikutinya dari jarak aman. Mereka sudah hafal protokol yang Gyan tetapkan; tak mengintervensi, tak bicara kecuali darurat, dan yang paling penting, jangan sampai kehilangan target.
Bandara sore itu penuh sesak. Rombongan turis Asia bergerombol dengan koper warna-warni, para pelancong bisnis bergegas sambil berbicara lewat headset, dan suara pengumuman terminal bergema di antara hiruk-pikuk.
Di tengah keramaian itu, Belle melenggang tenang. Tepi trench coat cokelat mudanya berayun seirama dengan ketukan hak sepatu. Koper silvernya berkilau di bawah cahaya lampu bandara, tote bag hitam menggantung di bahunya.
Pierre menyalip sedikit di sisi kiri, memastikan pandangannya aman. Namun saat ia mendapati Belle lagi, gadis itu berhenti mendadak beberapa meter di depannya, tengah memeriksa ponsel. Andre di belakangnya nyaris menabrak seorang penumpang lain.
Pierre mengangkat tangan memberi kode pada Andre agar menahan langkah. Detik berikutnya, arus kencang manusia dari arah berlawanan menghalangi. Sekelompok orang—berpenampilan turis—menggeret koper besar dan troli hingga mengacaukan pandangan keduanya. Suara roda koper mengisi udara, menyusul teriakan seorang anak yang terlepas dari pegangan ibunya.
“Pierre! Aku kehilangan visual!” seru Andre melalui earpiece-nya.
Pierre berusaha menerobos, namun salah satu troli bagasi milik rombongan yang lewat tergelincir di depannya, menabrak kaki seorang petugas bandara hingga menimbulkan sedikit kericuhan. Beberapa orang berhenti membantu, sebagian menyorot ponsel—entah untuk tujuan apa, dan dalam kekacauan sesaat itu—Belle bergerak cepat menghilang dari pengawasan.
Ia tak lari.
Tak pula terburu-buru.
Langkahnya tetap elegan, namun sangat terukur. Ia berbelok, mengubah arah menuju pintu keluar di salah satu sisi yang bertuliskan Personnel Only. Tak ada yang memperhatikan berhubung semua sibuk dengan kekacauan barusan.
Hingga akhirnya Pierre berhasil melewati kerumunan, dan menyadari jika Belle sudah lenyap dari jalur utama. “Sisi kiri bersih! Ulangi, bersih! Tidak ada Nona Belle!”
Andre mengerahkan pandangan ke segala sisi dan sudut. Namun ia pun tak menemukan sahabat tuannya tersebut, seolah udara bandara menelannya hidup-hidup.
Pierre menekan earpiece-nya, sorot matanya gelisah. “Andre, kontak Tuan Elroy. Kita kehilangan target.”
***
Si sisi lain, Belle melangkah keluar melalui pintu logam dengan penanda sama seperti di pintu yang ia masuki tadi—Personnel Only.
Di area parkir privat itu, tak banyak orang. Hanya beberapa mobil hitam berderet, semuanya dengan kaca gelap dan plat nomor khusus. Salah satunya berhenti beberapa meter dari pintu keluar—seolah sudah tau jika Belle akan muncul dari sana.
Sedan hitam itu mewah, berlapis cat doff, menunggu dengan mesin menyala yang nyaris tanpa suara. Sebuah truk logistik dengan badan tinggi menutupi pandangan langsung dari kamera-kamera CCTV yang mengarah ke mobil tersebut. Belle melangkah cepat menuju kendaraan itu tanpa ragu, derapnya mantap, seakan ia sudah hafal setiap garis parkir di sana.
Seorang pria muda keluar dari kursi pengemudi. Usianya tak jauh berbeda dengan Belle, berjas hitam, dan seutas dasi melingkar sempurna di leher. Tanpa bicara, ia meraih koper Belle, mengangkatnya dengan satu tangan, lalu menaruhnya ke dalam bagasi. Gerakannya cepat dan efisien.
“Terima kasih,” ucap Belle.
Ia membuka pintu penumpang dan menunggu Belle masuk, lalu kembali ke balik kemudi. Begitu pintu menutup, suara dunia luar mendadak terputus. Yang tersisa hanya dengungan lembut mesin.
Belle menatap ke luar, menembus kaca gelap di sampingnya. Ia bisa melihat dua pengawal Gyan di kejauhan. Mereka tampak panik, menoleh ke segala arah, lalu melangkah cepat ke arah pintu keluar yang baru saja ia lewati. Salah satu dari mereka menempelkan ponsel ke telinga.
“Sepertinya mereka melaporkanku,” gumam Belle. “Ayo jalan.”
Sang sopir mengangguk, beberapa orang di sekitar bergerak ke titik-titik tertentu. Bukan tanpa tujuan, namun untuk mengaburkan bahkan menutupi sorotan kamera pengawas bandara ke plat nomor mobil.
Pierre dan Andre tampak keluar dari gedung beberapa detik kemudian, napas mereka tersengal. Pandangan mereka masih berputar mencari, namun tak sedikit pun jejak Belle yang mereka dapati.
“Bagaimana mungkin dia menghilang?” Bruno nyaris membuat tuli keduanya.
“Dia baru saja di sini, Tuan!” jawab Pierre.
“Apa mungkin ada yang mengamankannya dari kami, Tuan?” timpal Andre.
“Apa maksudmu?” balas Bruno.
“Entahlah, rasanya terlalu aneh dalam waktu sesingkat itu Nona Belle bisa lenyap.”
“Temukan dia! Cek semua CCTV di sekitar bandara.”
“Siap, Tuan!” sahut keduanya, kompak.
Pierre menatap sekeliling sekali lagi, frustrasi. “Tuan Elroy akan membunuh kita…” gumamnya pelan.
Sementara itu, dari dalam sedan yang kini melewati gerbang keluar bandara, Belle memijit pelipisnya, lalu mengatur napas. Ia sangat tau Gyan tak akan membiarkannya hilang begitu saja. Dan dalam waktu singkat, ponselnya pasti berdering.
Benar saja. Belum sirnah dugaan itu dari benaknya, layar gawai Belle menyala—nama Alexander ‘Gyan’ Elroy terpampang jelas.
Belle tak langsung mengangkat, membiarkan panggilan itu mati sendiri sebanyak dua kali. Hening sejenak. Lalu panggilan ketiga masuk. Kali ini, ia menghela napas dan mengangkatnya.
“Kamu di mana?” suara Gyan terdengar berat, panik.
“Dalam perjalanan pulang,” jawab Belle, datar.
“Jangan bercanda, Belle!”
“Aku baru saja menamparmu, apa mungkin langsung bisa bercanda?”
“Belle....” Gyan melirih lelah.
“Aku sudah di taksi, meninggalkan bandara,” ujar Belle lagi.
“Aktifkan kameramu!”
“Memangnya kamu siapa berani menyuruhku?”
“Belle!” Gyan mendengus keras. “Taksi apa? Nomornya berapa? Aku mau pastikan sopirmu bukan orang sembarangan.”
“Cih! Pedulikan saja cinta pertamamu. Tidak perlu memikirkanku.”
“Ya Tuhan.”
“Oh, aku mau ambil cuti. Kupikir kamu butuh waktu untuk berdamai dengan takdir, dan... aku pun ingin menenangkan pikiranku juga.”
“Karena aku menciummu tadi?”
“Ya, karena aku baru sadar jika sahabatku adalah seorang bajingan.”
“Aku akan mengakhiri hidupku jika kamu menghilang.”
“Akhiri saja, itu artinya kamu tidak memperdulikanku.”
“Tunggu aku di tempatmu.”
Belle mendecak.
“Belle—”
“Bye!”
Sambungan terputus.
Belle menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu mematikan perangkatnya sepenuhnya.
Sunyi.
Mobil melaju meninggalkan area bandara, dinaungi langit Paris yang mulai berubah jingga, melewati gerbang keluar yang dijaga dua petugas.
“Apa kabarmu, Elio?” tanya Belle pada sopir yang mengendalikan laju.
Pria itu melirik dari spion tengah. “Selamat sore, Signorina,” balasnya dalam bahasa Italia yang santun. “Senang akhirnya Anda kembali.”
“Sudah berapa lama ya?”
“Dua puluh lima bulan.”
Belle menghela napas pelan. “Dan bagaimana kabar ayahku?”
“Kepulangan Anda pasti menyembuhkannya, Signorina.”
“Kuharap begitu.”
***
Sedan hitam itu meluncur mulus meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Belle bersandar di kursinya, tak lagi bicara. Dari luar, ia tampak tenang, namun jemarinya yang bertaut di pangkuan bergetar halus—entah karena udara dingin atau adrenalin yang belum reda. Ia tau Gyan akan segera mencari keberadaannya. Situasi mereka tengah kacau, tak mungkin Gyan membiarkannya tak nampak.
Belle menatap keluar jendela, memperhatikan langit yang perlahan menggelap. Bayangannya memantul di kaca; wajah lelah, tatapan dingin, dan surai yang sedikit kacau. Saat ia mengangkat tangan untuk merapikah helaian yang mencuat, gelang di tangannya kembali membawa ingatan ke Gyan.
Ia terkekeh. “Ya, aku memang sinting!” gumamnya.
Beberapa saat berlalu, mobil akhirnya keluar dari jalan utama, masuk ke jalur privat yang dijaga palang elektronik. Supir menempelkan kartu, lampu hijau menyala, dan pintu terbuka tanpa suara.
Ponsel Belle bergetar di pangkuannya. Layar menampilkan satu huruf: L.
Ia menatapnya sejenak, lalu mengangkat panggilan itu.
“Aku dalam perjalanan,” sahutnya.
“Sudah di jalan?” Suara pria di seberang terdengar tenang.
“Ya. Aku akan segera menemuimu.”
“Buru-buru sekali?”
Hening sejenak. Belle menutup matanya, bersandar di kursi.
Senyum tipis kemudian muncul di bibirnya. “Aku merindukanmu. Sangat,” ujar Belle.
Elio pura-pura tak mendengar, menatap lurus ke jalan tol yang kini sunyi. Dari kaca depan, menara-menara kota mulai memudar, berganti dengan barisan pohon pinus yang seolah mengantar mereka keluar dari dunia publik—dunia di mana Belle hanya dikenal sebagai desainer biasa yang kebetulan beruntung karena bersahabat dengan putra dari keluarga Elroy.
“Hati-hati.”
“Oke. Sampai jumpa.”