KELUARGA

1822 Kata
“Apakah sudah waktunya aku menyiapkan makan malam?” tanya Edith pada putranya. “Maman makan saja duluan,” sahut Gyan, menggunakan panggilan maman pada Edith — sebutan ibu dalam bahasa Prancis, dibaca ma-mã dengan nasal. “Memangnya kamu di mana, Nak?” “Aku baru sampai di kantor. Ada yang harus aku kerjakan sebentar.” “Setelah tiga bulan, kamu akhirnya kembali ke Paris. Apa menurutmu tidak keterlaluan mendahulukan pekerjaan dibanding ibumu sendiri?” “Ya ampun, sejak kapan sih Maman jadi posesif?” “Sejak kamu jadi putraku!” Gyan terkekeh. “Satu jam. Janji.” Edith menghela napas panjang. “Aku tidak bisa menghubungi Belle. Apa dia lupa mengaktifkan ponselnya?” “Kapan terakhir Maman menghubungi Belle?” “Setengah jam yang lalu,” jawab Edith. “Ada apa? Kenapa kamu malah bertanya padaku? Belle marah karena kamu terlalu bodoh?” “Kurasa begitu,” lirih Gyan, nada suaranya terdengar kecewa. “Ada apa? Misimu ke Jakarta gagal?” “Hmm. Diana sudah menikah, Ma.” Edith mendengus keras. “Jika aku jadi dia, aku juga enggan menunggumu.” Gyan tergelak renyah. “Diana malah memberi ide agar aku menikahi Belle. Lalu aku sampaikan, kubilang itu adalah ide yang paling sinting.” “Pada Diana?” “Pada Belle, Ma.” “Kamu yang sinting!” “Ya, akhirnya aku tau kalau satu-satunya yang sinting di sini adalah diriku sendiri.” “Langsung sadar?” “Tidak.” “Ya ampun. Sepertinya ayahmu salah mendidikmu.” “Aku pikir selama ini hubungan kami murni persahabatan, Ma.” “Jadi, Belle ternyata tidak memiliki perasaan yang sama pada putraku?” “Entah. Aku tidak tau. Dia malah menamparku karena aku menciumnya.” “Kamu sudah dewasa, Alex. Apa harus membuat ibumu yang sudah tua ini berkunjung ke kediaman Belle dengan satu truk perhiasan sebagai permintaan maaf?” “Ide yang bagus. Biar aku cari tau dulu dia di mana.” “Cepat pulang! Aku pusing dengan kelakuanmu!” “Oke, Ma. Sampai jumpa satu jam lagi.” Hujan kembali mengguyur kota sejak mereka meninggalkan bandara, menimpa dinding kaca tinggi lantai empat puluh Elroy Holdings. Samar bias cahaya kilat memantul di permukaan meja kerja Gyan yang dipenuhi map, laporan, dan dua buah ponsel. Pierre dan Andre berdiri tegak di depan meja kayu kokoh itu, seperti dua murid yang baru saja tertangkap basah melakukan kesalahan besar. Wajah mereka pucat, pakaian basah sebagian, sementara mata menatap ujung sepatu sendiri, tak berani menantang iris gelap pria di balik meja. Bruno berdiri di sisi kanan Gyan, tablet di tangan. Lirikan tajamnya ke Pierre dan Andre justru membuat suasana kian menegangkan. “Hasil rekaman CCTV sudah kita kumpulkan, Tuan,” ujarnya. “Empat puluh tujuh titik kamera di seluruh terminal sudah diperiksa.” Ia menatap layar tablet, ekspresinya jelas kesal. “Tidak satu pun merekam Nona Belle setelah area Personnel Only.” Tidak ada suara selama beberapa detik. Hanya dengung hujan dan bunyi jam dinding yang terdengar samar. Gyan duduk di kursinya, tatapannya fokus ke layar tablet yang sama sekali tak ia pedulikan. Ia percaya pada Bruno, jadi tak perlu memeriksa ulang bukti-bukti itu lagu. Ketukan pelan telunjuknya di atas meja adalah satu-satunya tanda bahwa pikirannya tengah berlari. “Keluar kalian berdua!” titahnya tanpa menatap kedua pemuda di depannya. Begitu pintu tertutup, Gyan menyandarkan punggung, ekspresinya berubah gusar, iris matanya tampak bergetar memandangi hujan. Bruno tau, setiap hentakan kecil dari ujung jari bosnya berarti satu hal; Gyan sedang menahan panik. Gyan meraih ponsel pribadinya dan menekan nomor Belle. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Nada tunggu. Hening. Lalu suara otomatis yang terdengar datar; 'le numéro que vous appelez est momentanément indisponible'—berarti 'nomor yang Anda hubungi saat ini tidak dapat dihubungi.' “Semarah-marahnya ia padaku, tidak pernah ia mematikan ponselnya,” gumam Gyan. “Belle tidak mungkin masuk ke area staf bandara. Dia tidak memiliki kepentingan apa pun.” Ia menghentakkan napas. “Iya kan?” Nadanya terdengar ragu. “Tuan—“ “Kamu mau bilang kalau ponselnya kehabisan daya? Oh ayolah, jangan membuatku tambah kesal dengan praduga bod0h!” Bruno diam lagi. “Kamu jadi mengirim chat padanya?” tanya Gyan lagi. “Belum terkirim, Tuan.” “Sialan! Kenapa aku jadi tidak bisa memahaminya?” ‘Karena Anda mencintainya, Tuan.’ Tentu saja Bruno tak berani menyuarakan isi pikirannya. Ia masih sayang dengan nyawanya sendiri. “Cek GPS-nya,” ujar Gyan kemudian, terdengar putus asa namun tak ingin dibantah. Bruno segera mengambil tablet, mengetik di sana, sejenak ruangan terasa semakin sepi. “Terakhir aktif dua puluh dua menit lalu, Tuan,” ujarnya tanpa menatap Gyan. “Lokasi di kawasan selatan Paris, tak jauh dari bandara.” Ia menjeda sejenak, mencoba mengingat-ingat tujuan Belle yang paling masuk akal. “Setelah itu, sinyalnya hilang total,” tambahnya. Gyan berdiri dari duduknya, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya neon Paris berpendar lembut di balik tirai hujan. Tangannya bertaut di belakang punggung, bahunya tegang. “Mobil itu pasti bukan taksi,” ujarnya lirih. “Belle berbohong.” Ia menatap langit yang gelap, seolah mencari jawaban di antara kilatan cahaya. Biasanya, menghadapi krisis semacam ini, Gyan akan langsung menyusun strategi, menimbang langkah, dan mengeluarkan perintah. Tapi malam itu, bahkan keheningan di sekelilingnya terasa seperti ancaman. “Apa ada kelompok tertentu yang mengincarku melalui Belle?” “Saya sudah memeriksa cepat sepanjang perjalanan ke sini dan saya yakin tidak ada, Tuan.” Bruno melangkah pelan, mendekat. “Mungkin Nona Belle hanya ingin waktu sendiri, Tuan.” Gyan berbalik, menatap tangan kanannya dengan mata memicing dan rahang mengeras. “Tidak. Belle tidak pernah begini.” Langkahnya maju mendekati meja, suaranya sedikit naik. “Meski ia ingin sendiri, ia akan mengusirku jika mengganggunya, bukannya menghilang tanpa jejak! Ada yang tidak beres!” Bruno diam, tak menjawab. Gyan menarik napas panjang, menenangkan diri. Ia meraih jasnya yang terlipat di sandaran kursi, memakainya cepat. “Aku mau lihat sendiri titik terakhir GPS-nya,” ujarnya pendek. Bruno mengangguk. “Baik, Tuan.” Keduanya keluar dari ruangan, lampu-lampu otomatis di koridor menyala satu per satu, menyoroti siluet Gyan yang tinggi dan tegak. Dari jarak dekat, Bruno bisa melihat jelas tangan pria itu menggenggam terlalu kuat, buku-buku jarinya memutih. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Alexander Elroy tidak lagi terlihat seperti penengah dunia bawah yang tenang. Ia terlihat seperti seseorang yang sedang kehilangan sesuatu—dan takut tak bisa mendapatkannya kembali. “Maman, maaf aku melanggar janji. Aku akan pulang lebih larut,” ujar Gyan saat Edith mengangkat panggilannya. “Ada apa, Nak? Suaramu terdengar gusar.” “Sepertinya Belle menghilang.” Hening. Sampai akhirnya Edith menghela napas panjang. “Makan dan tidurlah lebih dulu, Maman,” ujar Gyan lagi. “Izinkan aku bicara dengan Bruno.” Gyan tak membantah, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bruno. Sang pengawal meraih gawai itu sambil menundukkan kepala. “Madame?” sapa Bruno. “Jaga putraku,” pinta Edith. “Dengan nyawaku, Madame. Jangan khawatir," jawab Bruno, tegas. *** Langit Italia sudah kelam saat jet pribadi yang membawa Belle mendarat. Sementara itu, cahaya lampu, menyinari halaman luas Villa De Santoro yang berdiri megah di kawasan Brera, Milan. Bangunan itu memadukan marmer putih dan batu kapur keemasan, menampilkan kemewahan khas keluarga bangsawan tua yang kini menjelma jadi imperium perhiasan terbesar di Eropa. Satu jam berselang, sedan hitam berhenti di depan gerbang besi berukir lambang keluarga; dua singa yang memegang mahkota bertatah berlian. Begitu pintu terbuka, seorang pelayan tua yang sudah setia sejak dua dekade menunduk hormat. “Benvenuta a casa, Signorina Belle.”—selamat datang di rumah Nona Belle. Belle turun perlahan. Angin Milan membawa aroma mawar dan logam, yang selalu mengingatkannya pada rumah. Ia menarik napas dalam, seolah ingin memastikan semuanya benar-benar nyata. Dua tahun lamanya ia tak menapaki tanah ini; dan bertahun-tahun hidup dengan nama yang bukan miliknya. “Apa kabarmu Giorgio?” balas Belle. “Kesehatan Anda yang lebih penting, Signorina.” “Di mana Padre?” “Di taman belakang, Signorina. Seperti biasa,” jawab sang pelayan, menahan senyum haru. “Bagaimana kesehatannya?” “Ayah Anda jauh lebih sehat hari ini begitu kabar Anda akan pulang didengar beliau.” “Bukankah aneh justru Padre yang manja?” Giorgio tersenyum. “Ayo kita masuk?” ujar Belle lagi. “Silakan, Signorina.” “Ngomong-ngomong, aku lapar.” “Makan malam sudah disiapkan untuk Anda, Signorina.” Belle melangkah melewati lorong panjang dengan dinding yang dihiasi potret keluarga; garis keturunan De Santoro, para perajin perhiasan yang tak hanya dikenal karena keindahan karyanya, tetapi juga karena rahasia di baliknya. Tangannya sempat menyentuh pigura besar di ujung lorong—lukisan dirinya bersama ayah dan ibunya, dibuat saat ia baru berusia dua belas tahun. Taman belakang terbentang luas, dikelilingi pohon zaitun dan air mancur berukir dewa laut. Di sana, Vittore De Santoro, pria berusia awal enam puluhan dengan rambut perak dan mata tajam, tengah duduk di kursi kayu sambil membersihkan gunting berkebunnya. Di sisinya, Céleste Moreau, wanita Prancis berpenampilan anggun, sedang menuangkan teh chamomile ke dalam cangkir porselen. Begitu Belle mendekat, Vittore menggeser kursinya. “Padre,” sapa Belle lembut, nyaris berbisik. Vittore langsung berdiri. Senyum sumringahnya muncul, menghapus jarak dua tahun di antara mereka. “Akhirnya, putriku pulang juga.” Belle menghambur ke pelukan sang ayah, membalas dengan dekapan erat. “Aku pulang.” “Bagaimana kabarmu, sayang?” tanya Vittore, tangannya mengelus kepala putrinya dengan lembut. Belle tersenyum. “Lebih baik setelah melihatmu.” Pria tua itu terkekeh pelan. “Kau selalu tau cara berbicara yang membuatku tak jadi memarahimu.” “Kalau begitu aku akan sering mengatakannya,” sahut Belle, membuat Céleste ikut tertawa. “Ayahmu tidak sakit parah,” ujar Céleste sambil mengusap lembut bahu Belle, seolah membaca pikiran putrinya. “Hanya... rindu.” Belle pindah ke pelukan sang Ibu. “Madre.” “Kamu baik-baik saja, sayang?” “Tentu.” “Rindu ternyata bisa lebih mematikan daripada penyakit apa pun,” ujar Vittore kemudian. Belle mengulurkan tangan tanpa melepas pelukannya di tubuh Céleste, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Maaf karena lama tidak pulang.” Vittore duduk kembali. Sang istri juga putrinya menyusul. “Tidak apa-apa,” jawabnya kemudian. “Kadang, jarak memang perlu agar seseorang tau ke mana ia benar-benar ingin kembali.” Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati suara air mancur dan gemeresik dedaunan yang diembus angin. Beberapa saat kemudian, Lorenzo, putra sulung keluarga, berjalan mendekat membawa map kulit hitam. Paras pemuda itu mirip Vittore, hanya lebih muda dan lebih tegas. “Benar-benar kejutan,” ujarnya sambil menatap Belle. “Siapa yang sangka tiba-tiba kamu bilang ingin pulang. Kupikir Paris sudah mencuri adikku untuk selamanya.” Belle terkekeh. “Kamu bilang rindu padaku? Kenapa justru kesal saat melihatku?” “Itu karena terlalu rindu,” jawab Lorenzo sambil membentangkan kedua tangan setelah map di tangannya diambil sang ayah. Belle menyambut pelukan itu, merengkuh abangnya erat. “Tidak ada tempat yang bisa mencuriku dari rumah ini. Juga dari kalian.” “Kami sangat merindukanmu.” “Aku juga.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN