KEMBALI

1330 Kata
Tiga bulan berselang. Salju terakhir di musim dingin mulai mencair, menyisakan butiran air di tepi jendela kaca Elroy Holdings. Dari lantai tertinggi, pemandangan Paris tampak pucat. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota yang belum benar-benar terbangun dari musim dinginnya. Bruno berdiri tegap di hadapan meja kerja bosya yang sebagian tertutup berkas laporan. “Tidak ada pergerakan di Loire, Tuan,” lapornya. “Semua jalur perdagangan, museum, hingga lelang permata internasional bersih. Bahkan kelompok yang biasanya aktif di pasar gelap pun... diam.” Gyan bertopang dagu dengan satu tangan, sementara pandangannya mengarah ke layar komputer besar di hadapannya. Peta digital membentang di sana—sebuah jejak pencarian dengan Loire sebagai pusatnya. “Mereka diam, ya?” Ia bergumam. Bruno mengangguk. “Jika memang ada operasi pencarian Black Gem, pasti dilakukan dengan sangat hening dan tertutup, Tuan. Mereka mungkin menggunakan orang yang tidak ada dalam radar siapa pun.” “Ya, kau benar.” Gyan mengetukkan jarinya ke permukaan meja. “Artinya, kalaupun berlian itu benar-benar ada, dunia sedang menahannya untuk tidak ditemukan.” “Atau seseorang sudah menemukannya, dan berusaha memastikan tak seorang pun tau,” timpal Bruno, terdengar hati-hati. “Sampai sekarang aku belum bisa membayangkan apa yang ada di balik berlian itu sampai nilainya setara nyawa ayahku.” Hening menjeda sejenak. Jam antik di dinding berdetak pelan, kontras dengan titik Loire yang berpendar di layar. Gyan menarik napas panjang, lalu berdiri dari duduknya, mendekat ke jendela. Kabut dingin menutupi sebagian kota. Dari ketinggian itu, dalam cuaca sedingin itu, bahkan Menara Eiffel terlihat samar. “Teruskan pemantauan,” ujar Gyan lagi. “Pastikan tidak ada jejak kita yang berkaitan dengan Loire. Aku tidak ingin siapa pun tau kita juga mencari batu sialan itu.” Bruno menunduk patuh. “Baik, Tuan.” Sebelum pergi, ia mengajukan satu pertanyaan lagi. “Apa pencarian terhadap Nona Belle masih terus kita lanjutkan, Tuan?” Pertanyaan itu menggantung di udara sejenak. Ya, sudah empat bulan, dan tak ada jejak sama sekali. Ia sama sekali tak tau, apakah harus berduka atau belajar melupakan. ‘Adakah sesuatu yang tidak aku ketahui tentangmu, Belle?’ batin Gyan. ‘Pasti ada! Mungkin gue yang terlalu takut menerima apa pun dibalik menghilangnya dia.’ Ia berbalik hadap, menatap Bruno. “Selama tak ada jasad, jangan berhenti mencari!” Bruno diam. Ia pun tau betul, ada yang tak biasa dengan seorang Belle yang selama ini ia kenal. Mungkin alasan di balik hangatnya sikap Tuan Besar dan sang Nyonya pada gadis itu. Namun, tak semua hal boleh lantang diutarakan. “Kalau begitu saya pamit, Tuan.” Ia melangkah keluar, menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan bosnya seorang diri. Gyan menoleh ke jendela, menatap pantulan dirinya di kaca—matanya terlihat lelah, bahu tegang, dan siluet seorang pria yang begitu ingin beristirahat sejenak. “Kamu pernah bertanya apa kelemahanku selain ‘bodoh’, bukan? Kurasa itu satu-satunya, Belle.” Gyan bermonolog. “Aku terlalu sering terjebak dalam harapan. Seperti berharap Diana masih menungguku, berharap bukan Papa yang mati, dan sekarang... berharap kamu juga mencintaiku dan tiba-tiba muncul di depanku.” *** “Lihatlah itu, Belle. Kamu selalu kesal jika menjelang senja langit tak berubah jingga. Kamu bilang, penampakannya seperti wajahku di pagi hari.” Jika dalam situasi normal, Bruno pasti sudah tertawa mendengar kalimat konyol tuannya barusan. Namun belakangan, bahkan Gyan saja sepertinya lupa cara tersenyum. “Kita sampai, Tuan,” ujar Bruno saat sedan hitam yang mereka tumpangi tiba di tujuan. Pintu dibuka. Udara masih menggigit meski musim dingin hampir pergi. Jalanan basah dan Gyan turun dari sedannya lalu berdiri di depan sebuah gedung apartemen tua di arrondissement ke-7—flat yang dulu ditempati Belle. “Kau bosan ke sini, Bruno?” “Tidak, Tuan.” Gyan mendengus keras. Keduanya memasuki gedung itu, menapaki anak-anak tangga menuju lantai di mana unit Belle berada. Hampir setiap hari ia datang ke sini, memastikan sendiri apakah Belle sempat kembali dan meninggalkan sedikit saja jejak untuknya. “Aku heran kenapa aku sampai memperpanjang sewa tempat ini,” gumamnya sambil membuka kunci pintu. “Setahun penuh, demi seseorang yang bahkan aku tidak tau apakah akan kembali.” Bruno tidak berkomentar. Begitu pintu terbuka, udara di dalam flat langsung menyambut dengan aroma samar lavender dan vanila—sisa parfum yang dulu sering dipakai Belle. Gyan berdiri lama di ambang pintu, hanya memandangi ruangan yang terasa terlalu rapi untuk tempat yang ditinggalkan. “Kau pernah jatuh cinta, Bruno?” “Aku tidak seberani itu, Tuan.” “Ya, cinta memang membutuhkan keberanian besar. Atau kau akan berakhir bodoh sepertiku.” Gyan menyisingkan lengan kemejanya. “Waktunya aku bersih-bersih. Dan kau... pergilah. Aku ingin sendiri.” Bruno mengangguk. Ia membawa langkahnya menjauh. Tak benar-benar menyingkir, hanya menunggu tuannya di batas anak tangga. Gyan bernapas dalam, mengayun langkahnya memasuki unit tersebut. “Demi Tuhan, aku bahkan tidak berani membiarkan tempatmu ini kotor. Dan aku membuatnya seperti... bahkan hantu pun tidak akan betah di tempat sebersih ini,” gumamnya. Langkah sepatunya bergema di lantai kayu. Ia menyentuh permukaan meja makan mungil, lalu menatap sofa di mana mereka dulu kerap berdebat soal desain dan konsep butik di Bali—perdebatan yang berakhir dengan tawa dan makan malam seadanya. “Siapa sebenarnya kamu, Belle Moreau?” lirihnya. “Kamu tidak mungkin mati, hatiku mengatakan demikian.” Ia memutar tubuh, meraih pigura kecil di atas buffet; Belle tengah tertawa lepas, rambutnya beterbangan ditiup angin pantai, sementara Gyan di belakangnya sedang berusaha menutup lensa kamera. Senyum samar muncul di wajahnya. “Aku bahkan tak menyesal menciummu. Satu-satunya yang kusesali adalah membiarkanmu pergi.” Ia menaruh kembali bingkai itu, beranjak ke sofa, lalu duduk. “Kurasa flat ini masih cukup bersih. Begitu bukan, Belle?” Suasana ruangan begitu hening, hanya terdengar detik jam di dinding dan dengung samar dari kulkas yang masih menyala. “Gila,” desisnya. “Aku bahkan lupa kapan terakhir kali mendengar suaramu.” Ia bersandar, memejamkan mata sejenak. Di antara pikirannya yang berantakan, ada sesuatu yang terus berputar—tatapan Belle di hari terakhir mereka bertemu, antara kecewa, peduli, dan... jika Gyan tak salah tanggap, ada kasih di sana. Namun, sama sekali tak terbersit isyarat pamit. Saat nyaris tertidur, Gyan gegas berdiri, berjalan ke arah balkon mungil. Paris membentang di bawah sana, beratap senja yang kelabu dan angin dingin yang rasanya masih menusuk kulit. Gyan menatap ke bawah, ke jalan tempat mereka sering melangkah berdua. “Sialan kamu, Belle,” ujarnya lirih. “Kamu bahkan berhasil membuat tempat ini terasa hidup meski tanpa kehadiranmu.” Gyan menarik napas panjang, kemudian menepuk jasnya, bersiap meninggalkan tempat itu. “Aku harus pulang atau Maman memecatku sebagai putranya,” gumamnya lagi sambil melangkah ke pintu. “Pulanglah, Belle. Kumohon.” Tangannya sudah memutar gagang, namun sebelum ia keluar, pandangannya kembali ke dalam ruangan sekali lagi. Tirai putih melambai pelan tertiup angin dari celah jendela, membuat ruangan itu tampak seperti masih bernyawa, hanya tengah ditinggalkan sejenak oleh pemiliknya. “Kalau kamu pulang,” lirih Gyan lagi, “aku sudah mengganti penutup kasurmu. Kubeli yang paling nyaman dan paling mahal. Semoga kamu mengamuk karena tau aku menghamburkan uang. Setidaknya dengan begitu, kamu mengingatku.” *** Pintu flat menutup pelan di belakangnya. Koridor apartemen itu panjang dan senyap, hanya diterangi lampu-lampu dinding yang temaram. Gyan melangkah perlahan, sepatu kulitnya menimbulkan gema lembut di lantai kayu. “Bodoh,” gumamnya sendiri. “Entah kenapa rasanya begitu mudah menyiksa diri sendiri. Seolah dengan datang ke sini setiap hari, aku bisa mengembalikan kehadiranmu, Belle.” Ia tertawa hambar, menunduk, lalu melanjutkan langkah. Sampai akhirnya, di ujung lorong yang menuju anak tangga, sesuatu membuatnya berhenti. Tangan Gyan refleks menyusup ke balik jas. Jemarinya dalam posisi siap menembak. Jantungnya berdetak kencang. Bayangan seseorang muncul di bawah cahaya lampu gantung—bergerak pelan dari arah berlawanan. Langkah sepatu kecil terdengar berirama di lantai, ringan tapi pasti. Gyan memusatkan pandangannya. Lampu dinding di ujung lorong menyinari siluet itu, menyingkap warna hitam pada mantel panjang dan syal krem yang membingkai wajahnya. Wajah yang sudah empat bulan terakhir hanya berani Gyan bayangkan dalam doa. Wajah yang sangat ia rindukan. “Belle....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN