DIALOG

1612 Kata
"Kita sampai, Tuan." Gyan mengangguk. Bruno berbisik ke timnya melalui earphone-nya. "Bersiap amankan lokasi!" London, pertengahan November. Kabut tipis menggantung rendah di udara St. Pancras International ketika kereta Eurostar dari Paris berhenti perlahan di peron terminal. Di dalam kabin Business Premier, Gyan meneguk kopinya yang sudah dingin sambil menatap keluar jendela—menyaksikan butiran air hujan yang berlarian di kaca, jatuh, meluncur, kemudian menghilang satu per satu. Sebelumnya, musim gugur adalah musim terindah bagi Gyan. Namun sejak Antoine wafat, segalanya berubah. Dan sejak Belle pergi, musim gugur tak lagi sama. Keindahan musim ini ternyata membawa pesan kehilangan, sama seperti dedaunan yang meninggalkan ranting. Begitu kereta berhenti sempurna, Bruno berdiri lebih dulu, membuka kompartemen bagasi atas, menurunkan koper kecil yang setengah isinya adalah buah tangan khas Paris. "Ayo," ujar Gyan. Ia beranjak dari duduknya, mengayun langkah dengan punggung tegap dan jemari yang mengunci rapat kancing mantelnya. "Jangan lupa pesankan satu meja untuk makan malam besok. Di restoran terakhir yang aku dan Belle kunjungi." “Baik, Tuan,” sahut Bruno. Ia melangkah tegap di sisi kiri, mata waspada menyapu sekitar. Mereka melangkah melewati lounge eksekutif, menembus udara London yang masuk ke kabin dari pintu-pintu yang terbuka. Gyan bernapas dalam. “Sebelumnya, aku selalu menganggap London terlalu dingin untuk ditinggali, meski kota ini lebih tenang dibandingkan Paris,” ujarnya lagi. Bruno mengangguk. “Tapi sekarang, tak ada yang mengalahkan ‘dinginnya’ Paris bagiku,” lanjut Gyan, bergumam. Gyan melangkah turun. Satu tangan memegang koper kulit hitam, dan tangan lain menggenggam paspor merah marun bertuliskan Union Européenne – République Française. Di pemeriksaan imigrasi, petugas hanya memeriksa sekilas dokumen itu sebelum mengangguk hormat. Tak ada pertanyaan, tak ada pemeriksaan tambahan. Nama Elroy di halaman pertama tampaknya sudah lebih dari cukup untuk membuka jalan, bahkan di negeri yang dikenal kaku terhadap tamu luar. Mereka berjalan menembus kerumunan, menyebrangi King’s Boulevard menuju sedan hitam yang sudah menunggu di luar. Sepanjang jalan, Gyan memandangi langit kelabu yang menaungi kota. London selalu memberinya kesan yang sama; tempat di mana rahasia lama tak benar-benar terkubur—hanya menunggu waktu untuk ditemukan kembali. Mungkin karena itulah Sherlock Holmes lahir di sini. *** Mobil berhenti di depan menara kaca 100 Bishopsgate, City of London. Jingga di cakrawala tak lagi tampak semburatnya, digantikan kelam yang datang terburu-buru. Lampu-lampu gedung perkantoran berkilau terang, seolah berlomba-lomba menegaskan eksistensi mereka di tengah kabut malam. Gyan menatap fasad gedung itu dari balik kaca mobil sambil mengeluarkan ponsel. Satu bulan lalu, seorang Raditya Baskara baru ia kenali lewat bincang singkat di telepon—seorang teman Dirga yang katanya bisa ‘membuka hal yang bahkan sistem sembunyikan dengan rapat.’ Kini, Gyan berada di depan kantor resmi pria itu, Baskara Tech, perusahaan digital yang memegang sejumlah kontrak besar dengan perusahaan-perusahaan ternama dan bank-bank Eropa. Tanpa membuang lebih banyak waktu, ia menekan nomor Ditya. “I’m here,” ujar Gyan begitu panggilannya tersambung. “Lantai delapan belas, bro,” sahut Ditya. “Langsung aja nih?” “Yup!” “Gyan Magani? Atau Alexander Elroy?” tanyanya, ragu harus menyebut nama yang mana saat melaporkan kehadirannya di front liner nanti. “Hmm. Jangan sebut yang kedua, soalnya gue ngga nyuruh siapin karpet merah,” jawab Ditya. Gyan mendecak. “Justru harusnya saat gue jadi Gyan lo siapin sambutan yang meriah.” Ditya terkekeh. “Kopi?” “Double shot espresso on the rock, please,” jawab Gyan. “On the rock, in autumn? You’re weird, bro.” Ditya terdengar ragu. “Perfect. I’m on my way.” “Okay.” Gyan menutup telepon dan keluar dari sedan, diikuti Bruno yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Udara London menyergapnya—dingin, lembap, dan beraroma khas selepas hujan. Resepsionis menyapanya sopan begitu ia berdiri di depan konter resepsionis. “Good evening, sir. May I have your name, please?” “Magani. Gyan Magani,” jawabnya datar. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum dengan gesture profesional. Sejenak tatapannya teralihkan ke layar komputer, memeriksa nama tamunya di sistem. “Ah—Mr. Magani. You’re expected. Mr. Baskara is already waiting. Eighteenth floor, please.” “Thank you,” balas Gyan. Keduanya masuk ke lift, Bruno menekan tombol 18. Kotak itu bergerak cepat, diiringi musik instrumental yang mengalun lembut. Gyan tidak bicara apa-apa, hanya menatap pantulan dirinya di dinding logam; mantel abu gelap, kemeja hitam, dan mata berkantung yang membuatnya tampak lebih tua dari umurnya. Tiba di lantai tujuan, pintu lift terbuka. Seorang pria mengangguk sopan. “Mr. Magani?” Gyan mengangguk. Pemuda itu membawanya ke sebuah ruangan, membukakan pintu. Aroma kopi menyambut lebih dulu, sementara pemilik bilik berdiri dari balik meja kerjanya. Penampilan Ditya tampak santai dengan jaket hoodie biru muda bertuliskan nama perusahaan dan headphone menggantung di leher. “Welcome to my cave,” ujar Ditya riang. Ia mengulurkan tangan lebih dulu, Gyan menyambut, mereka berjabat erat. “Rapi banget lo?” “Begini rapi?” balas Gyan. “Untuk standar IT expert yang ngga lagi meeting dengan shareholders, klien, atau pejabat... iya banget!” Gyan tergelak singkat. “Kalau lo ngerasa terintimidasi, kita bisa pindah ke bar bawah,” sahut Gyan, meletakkan mantel di standing hanger. “Atau lo punya rekomendasi?” “Istri gue ngga suka kalau gue pulang dengan bau alkohol. Sorry, bro,” sahut Ditya sambil mengulurkan tangan, mempersilahkan Gyan duduk di meeting area ruangan itu. “Sengaja banget lo bikin gue iri?” tanggap Gyan, tak langsung menempati salah satu kursi. “Bagian yang mana?” balas Ditya sembari mengambil sebuah laptop dari laci meja kerjanya. Perangkat itu penuh dengan berbagai stiker di casing-nya. “Ngga minum alkohol atau istri?” Gyan hanya tersenyum, lalu matanya beralih memandang panorama kota di balik dinding kaca. Lautan cahaya yang berdenyut di antara kabut. “London memang selalu punya cara membuat seseorang merasa kecil. Setuju ngga lo?” tanya Ditya. “Mengingat lo bosnya di sini... gue ngga beranggapan begitu lagi,” jawab Gyan. “Karena?” “Justru London kelihatan rapuh. Orang-orang kayak lo penyebabnya, Dit. Mereka yang lebih berbahaya dari para mafia bersenjata api,” jelas Gyan. “Sekali aja kalian bikin sistem digital kacau, dunia ini bisa runtuh.” Ditya tersenyum. “Terima kasih pujiannya. So, mau mulai dari mana?” Gyan mengeluarkan flash-drive kecil dari saku celananya. Di permukaannya terukir logo lawas Elroy—huruf E melingkar dari perak tahun ’80-an. “Link-nya tolong pindahin ke sini, bro.” “Oke!” sahut Ditya. Ia menerima benda mungil itu, menghubungkan ke laptopnya. Lampu biru di ruangan redup berpendar lembut. Baris kode mulai berlari cepat di layar. Link yang ia simpan sebelumnya berpindah mulus ke flash-drive. “Done. Mau periksa apa gue simpan copy-annya?” “Ngga usah,” tanggap Gyan. “Link-nya Père kirim ke gue beberapa jam sebelum… Père terbunuh,” ujarnya pelan. “Gue kepengin tau apa yang disembunyikan di dalamnya.” “Lo pernah nyuruh orang selain gue untuk buka link ini?” balas Ditya. Gyan menggeleng. “Tol0l ya gue, Dit? Gue ngga tau harus percaya ke siapa.” Ditya mendengus. “Link-nya terenkripsi tiga lapis. Bukan hacker sembarangan juga yang bisa buka itu.” “Dan lo salah satunya yang di level itu, Dit.” “Nggalah, gue mah level bocah.” Gyan mendecak. “Ayo kita buka.” “Lo yakin ngga ada jebakan di dalamnya?” tanya Ditya, mencoba menakar resiko. “Kalau dibuka di sini, dan ternyata memang ada jebakan, posisi kita bakal terdeteksi ngga?” balas Gyan. “Mmm... gue bisa swich dari ‘level bocah’ ke ‘level itu’,” jawab Ditya. “Kalau jebakan itu aktif, sistem gue bakal nutup jaringan global dalam dua detik. Jadi rileks aja.” “I trust you, bro,” ujar Gyan. “Silakan.” Ditya memutar layar laptopnya ke arah Gyan, mengizinkan tamunya untuk membuka link yang sudah menunggu untuk ditelisik. Telunjuk kanan Gyan menekan tombol enter. Bruno berdiri di belakangnya, memperhatikan dalam diam. “File-nya cuma satu,” gumam Gyan. Satu ikon muncul di tengah layar—hanya bertuliskan huruf V. Ditya ikut menatap layar. “V?” tanyanya. “Kode proyek tertentu?” “Kayaknya bukan,” jawab Gyan, tatapannya lekat ke layar. Ia kembali menekan enter. Deretan kalimat muncul perlahan—bukan laporan, bukan transaksi, melainkan baris-baris seperti chat pribadi: V: Aku di Firenze. Langit pagi ini persis seperti saat pertama kali kau mengajakku menginjak Italia kembali. A: Dunia tidak seaman dulu. Kau terlalu tenang untuk orang sepertimu. V: Aku tidak bicara tentang dunia. Hanya tentang kita. A: Waktunya menjadi orang biasa? V: Kau yang paling tau itu mustahil bagiku, kawan. “Wait,” gumam Ditya, menatap Gyan. “Ini—” “Chat,” lirih Gyan. “Antara Père dan sahabatnya.” *** Gyan terus menggulir pesan-pesan di sana. Cukup banyak, namun tak ada hal penting yang dibahas, hanya bertukar kabar. Sampai akhirnya ia tiba di percakapan virtual terakhir, bertanggal dua hari sebelum kematian sang ayah. A: V, aku tau tujuan kita sama. Tak satu pun dari kita yang menginginkan kekacauan terjadi. Kita sama-sama punya mereka yang ingin kita lindungi. Katakan padaku, V. Kamu yang mencari hingga ke Loire. Apa kamu sudah menyimpan kuncinya? Suara di sekitar seolah lenyap dari pendengaran Gyan. Bahkan bunyi server yang sebelumnya terasa seperti musik latar. “Vittore,” gumam Gyan. Ditya diam saja, tak berani mencampuri. Gyan mengangkat pandangannya, menoleh ke dinding kaca, memandang jauh ke arah Sungai Thames yang memantulkan cahaya lampu-lampu di tepinya. “Père pernah menyebut nama itu… sekali,” lirihnya lagi. “Beri saya perintah, Tuan,” ujar Bruno. “Kurasa... yang Papa maksud adalah Black Gem. Telusuri seluruh Loire!” titah Gyan. Bruno menunduk patuh sebelum menjauh dan mulai mengatur timnya. Di luar, hujan kembali turun. Seolah langit London ikut menunduk pada rahasia yang baru saja dibangunkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN