BENANG MERAH

1400 Kata
Jam di dinding berdetak pelan, seolah enggan bergerak. Céleste masih terus khusuk berdoa, sementara Lorenzo akhirnya meletakkan tabletnya dan melangkah ke jendela lalu merenggangkan tubuh. Belle merapatkan cardigannya, mencoba menahan dingin yang entah berasal dari udara atau efek hatinya yang kacau “Hujan lagi,” ujar Lorenzo. “Berapa lama lagi operasi berlangsung?” tanya Belle tanpa menatap siapa pun, ia hanya bergumam. “Entahlah, tapi Matteo bilang prosedurnya rumit sehingga butuh waktu tindakan yang cukup lama,” jawab Lorenzo. “Papà pasti kuat. Baik melewati operasi ataupun masa pemulihan yang tak kalah panjang.” Belle mengangguk. Tiga bulan. ‘Kuharap bukan hanya Papà yang sembuh seperti seda kala. Tapi Gyan juga. Pulih dari rasa kecewanya padaku. Harusnya ia membenciku karena menghilang seperti ini. Harusnya ia menghapus perasaannya padaku,’ batin Belle. “Gyan pasti khawatir,” ujar Céleste tiba-tiba, tanpa membuka mata. Belle menahan napas. “Mamma...” “Dia anak yang baik,” lanjut ibunya pelan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan Black Gem terus menghilang tanpa tuannya. Dan itu artinya kamu harus ikut mencari. Kebersamaanmu dengan Gyan mustahil, ma chérie. Kalian bisa saling membahayakan. Kamu tau itu.” Belle memandangi ibunya lama. Kadang ia lupa, di balik kelembutan Céleste tersimpan keberanian seorang perempuan yang pernah bertahan di dunia suaminya tanpa kehilangan nurani. “Aku tau, Mamma.” “Masalahnya tau tidak selalu berarti siap,” potong Lorenzo. Belle menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak pernah siap untuk apa pun di dunia ini, Lorenzo. Tidak untuk menjadi De Santoro. Tidak untuk kehilangan seseorang. Tidak untuk memilih salah satu dan melukai yang lain.” Hening. Hanya suara hujan yang kian deras dan napas berat yang saling menimpali. “Kamu tidak sendiri, Belle,” ujar Lorenzo lagi. “Kita sekeluarga juga demikian.” Belle menutup matanya sejenak. Di balik kelopak yang basah, wajah Gyan muncul samar; tatapan teduhnya, seringainya, ciumannya, dan imajinasi akan eskpresinya saat menulis kalimat terakhir dalam pesan yang baru Belle baca. Aku minta maaf karena akhirnya mengaku dengan cara pengecut seperti ini. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, seolah ingin menahan suara di kepalanya itu. “Dia tidak tau...” bisik Belle, meratap. Namun, karena heningnya ruangan, lirihan itu sampai ke telinga Lorenzo. “Tidak tau apa?” tanyanya. Belle membuka mata, namun pandangannya kosong. “Kalau aku juga mencintainya. Tapi cinta kami artinya saling membahayakan.” Lorenzo menatap adiknya lama. Ia tau tak ada kalimat apa pun yang bisa menenangkan luka seperti itu. Ia sudah melewati masa-masa itu lebih dulu. Dan hatinya serasa mati hingga kini. Céleste merapat ke Belle, membelai rambut putrinya perlahan. “Terkadang cinta bukan tentang memiliki, sayang,” ucapnya lembut. “Tapi tentang menjaga seseorang agar tetap hidup, bahkan jika itu berarti kita harus menjauh.” Belle menutup matanya lagi, sementara Céleste memeluk putrinya erat. Pintu ruangan akhirnya terbuka. Matteo melangkah masuk, mengangguk sopan.” “Monsieur De Santoro sudah melewati masa kritis, Madame,” ujarnya. Suaranya terdengar lega. “Operasi berjalan dengan baik.” Céleste menghela napas panjang, air matanya jatuh, penuh syukur. Lorenzo mendekati ibu dan adiknya, memeluk keduanya sekaligus, sementara Belle akhirnya bernapas ritmis setelah menahan sesak kekhawatiran terlalu lama. “Berhubung operasinya cukup lama, Monsieur akan dipantau di ICU lebih dulu. Begitu kita pastikan beliau stabil, baru akan dipindahkan ke ruangan ini,” lanjut Matteo. “Kalian bisa bergantian menjenguknya dua jam lagi.” “Baik, terima kasih, Dokter,” jawab Lorenzo, mewakili keluarganya. Belle menatap pintu ruangan yang kini kembali tertutup selepas Matteo keluar, namun pandangannya kosong. Di kepalanya kini, suara Gyan masih bergema, bertumbukan dengan pesan terakhir sang ayah sebelum masuk ruang operasi: “Kalau dia juga tak ada, kekacauan besar akan terjadi, sayang. Keluarga Elroy adalah pengendali kepentingan dan keserakahan. Belle, tetaplah di sisiku... biarkan dunia memihaknya.” *** Beberapa menit kemudian, ponsel Lorenzo bergetar. Ia mundur beberapa langkah, menekan tombol hijau, lalu berbicara pelan. “Ya?” Suara dari seberang terdengar tegang. “Signore, kami menemukannya. Koordinat lama dari file Nona Belle yang Anda kirim... sesuai. Ada sinyal lemah di wilayah Loire, di antara reruntuhan vila tua. Kami yakin itu bukan kebetulan.” Lorenzo menatap Belle yang masih duduk diam dengan mata bengkak. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, ragu apakah ia harus menyampaikan kabar itu sekarang atau nanti. Namun pada akhirnya, ia memilih diam. Malam itu terlalu berat untuk menambah beban baru. *** PARIS Sementara itu, di belahan lain dunia, langit Paris kembali diselimuti hujan. Cahaya lampu kota memantul di jalanan basah seperti serpihan kaca. Gyan duduk di balik meja kerjanya sambil mencari satu nama yang ia pikir bisa membantunya. “Woy!” sapa Dirga, salah satu kenalan Gyan saat di Jakarta tempo hari. Pria yang sudah seperti abang bagi Andra—suami Diana. Mereka berteman dan kerap saling memberi kabar sejak bekerjasama menyelamatkan Diana dari penculikan. “Tidur, Bang?” balas Gyan. “Kalau gue tidur ngga bakalan gue angkat telpon lo, Yan. Lagian masih sore.” “Sendiri di London, Bang?” “Ada sekitar lima belas juta orang lainnya sih.” Gyan terkekeh. “Kenapa lo?” tanya Dirga kemudian. “Pakai kontrak kalau mau pinjam duit.” “Masih banyak duit gue, Bang.” “Syukur deh. Terus kenapa?” balas Dirga. “Gue butuh hacker yang ngga berhubungan sama dunia underground ada ngga, Bang?” “Wah, kenapa nyari yang susah sih lo?” “Ngga ada ya, Bang?” “Ada sih. Yang suka nutup situs pinjol.” “Serius gue, Bang.” “Gue tau lo serius. Kalau becanda doang ngga mungkin lo nanya ke gue masalah hacker.” “Lyon bisa ngga ya, Bang?” “Mengingat siapa diri lo, kayaknya apa pun masalah yang mau lo bawa, dia ngga bisa. Maksud gue, setau gue Lyon ngga pernah nyolek area blackmarket skala mafia, Yan. Masa lo ngga punya orang sama sekali sih?” “Ada, Bang. Masalahnya sejak Père terbunuh, gue harus hati-hati banget bergerak.” “I see!” “Gue cuma mau minta cek satu link. Père kirim ke nomor gue sebelum beliau meninggal. Tapi sampai sekarang ngga bisa gue buka.” “Bisa ngecek link ngga lo, Dit?” “Kenapa, Bang?” “Oh, gue ngga ngomong sama lo. Ada teman gue nih, lagi ngopi, sobatnya Lyon. Bentar, Yan.” Gyan menunda kata, menunggu Dirga bicara sambil menatap permukaan meja yang disinari lampu hangat. “Ngecek doang?” tanya pria yang tengah bersama Dirga. “Dicek dan dibikin biar bisa kebuka, Dit,” timpal Dirga. “Bahaya ngga?” “Gue yakin ngga lebih bahaya dari mantan lo sih.” “Mantan lo juga, Ga!” “Jadi bisa ngga?” tanya Dirga lagi. “Gue lihat dulu deh.” “Kirim ke gue link-nya, Yan,” ujar Dirga kemudian ke Gyan. “Dia—“ “Ngga, dia mah ngga main mafia-mafiaan. Nyolong duit di rekening orang aja kadang-kadang,” potong Dirga. “Sudah ngga, Ga. Paling rekening orang gue bekuin,” sahut pria asing itu. “Yakin lo, Bang?” Gyan masih khawatir. “Yakin!” jawab Dirga. “Jadi ngga?” “Oke. Gue kirim link-nya sekarang.” Sambungan terputus. Gyan mengirimkan link tersebut ke nomor Dirga. Begitu pesan terkirim dan terbaca, udara di sekitarnya seolah menipis. Kekhawatiran mulai membelenggunya, semua inderanya mawas akan ancaman. Menit demi menit berlalu. Hingga nyaris setengah jam kemudian ponselnya baru berdering dengan nama Dirga di layarnya. “Ya, Bang?” “Bentar, Yan,” sahut Dirga. “Ada yang mau ngomong nih.” “Gue Ditya, yang ngerjain link lo,” ujar seseorang yang suaranya terdengar asing, mungkin karena sebelumnya pria itu bicara dari jarak yang cukup jauh dengan mic ponsel. “Oh. Oke, Bang. Gimana?” “Link ini ada di perangkat yang bokap lo pakai?” “Ngga ada, Bang. Père kirim langsung, tapi ponsel dan sim card beliau rusak sebelum tragedi ” “Rusak?” “Père yang ngerusak.” “Saksinya?” “Mère. Ada apa?” “Sudah lo cari di semua perangkat yang pernah beliau pakai?” “Sudah. Kenapa sih, Bang?” “Better lo ke sini deh, Yan. Ini tuh semacam jalur komunikasi rahasia.” “Ada pesan khusus di dalamnya?” “Ya mana berani gue buka? Makanya lo ke sini. Apa gue kirim aja link yang sudah bisa dibuka?” “Jangan, Bang. Gue atur waktu ke sana.” “Oke.” Hujan di Paris reda. Tapi untuk Gyan, badai baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN