TAK HARUS MEMILIKI

1205 Kata
MILAN “Bersandarlah, Mama,” ujar Lorenzo pada sang ibu seraya menepuk-nepuk bahunya. Céleste menatap putranya sejenak lalu menggeleng lemah. Petang kian larut saat ruang rawat naratama rumah sakit itu tenggelam dalam keheningan. Cahaya lembut menjelang senja menerobos masuk melalui celah tirai. Aroma eukaliptus dari diffuser bertumbukan dengan sisa aroma kopi yang kini sudah dingin di tiga cangkir. Harusnya... suasana di jam-jam seperti itu hangat dan manis. Namun tidak kali ini untuk De Santoro. “Kamu lelah?” Lorenzo beralih tanya ke adik satu-satunya. Belle tersenyum simpul. “Kurasa lelah bukan kata yang tepat,” ujarnya. “Kita seolah tengah menggadaikan ketenangan.” “Hmm,” gumam Lorenzo yang mengantarai keheningan. Belle menatap ponselnya yang bergetar di genggaman. Rentetan pesan menyasar ke nomor yang belakangan aksesnya ia batasi. Baru melihat nama pengirim saja sudah membuat jantung Belle mencelos. Tatapan ia palingkan, mengatur emosi dan memikirkan jawaban semisal Gyan menanyakan keberadaannya. ‘Cuti apa yang lamanya sampai tiga bulan? Lantas kalau Papà tidak memberiku izin menemuinya bagaimana?’ Ia menatap Lorenzo yang kini tengah membaca sesuatu di tablet, sementara Céleste berdoa dalam diam dengan jari-jari yang menggenggam rosario. Lalu titik pandangnya bergeser lagi, pindah ke pintu kamar seolah menunggu seseorang masuk dan memberi kabar dari ruang operasi—tentu saja kabar baik. Berselang detik ponselnya bergetar lagi. “Ada apa?” tanya Lorenzo, adiknya jelas gelisah. Belle menggeleng. “Mungkin ia mau memarahiku karena meninggalkan tumpukan pekerjaan.” “Pastikan saja. Apa menunggu operasi Papa masih kurang menegangkan? Dan sekarang kamu menambah beban hatimu dengan menahan rindu.” “Kamu bicara apa sih!” Lorenzo mendelik ke ponsel Belle. Masih nama yang sama di layar: Gyan Elroy. “Aku tidak suka gurauanmu,” lirih Belle. “Aku tidak bergurau,” balas Lorenzo. Belle menatap layar sejenak tanpa berani menyentuhnya, beberapa kali menarik dan mengembuskan napas panjang. ‘Ternyata aku memang sinting!’ “Perlu bantuan?” tanya Lorenzo lagi. Belle mendecak lalu akhirnya membuka pesan-pesan itu dengan jemarinya yang dingin. GyanElroy: Belle, aku tidak tau kamu di mana sekarang. Tapi kalau pesan ini sampai, tolong dengarkan. Aku mencintaimu. Belle membelalak. Ia memicingkan matanya, membaca ulang. Aku mencintaimu. ‘Dia mencintaiku?’ GyanElroy: Aku minta maaf karena akhirnya mengaku dengan cara pengecut seperti ini. ‘Dia mencintaiku? Dia sinting?’ Baris-baris itu terus berlanjut, huruf demi huruf seolah memantul ke dalam hatinya. Belle menelan salivanya, namun rasanya ada yang mengganjal di tenggorokannya. Matanya bergetar, pandangannya pun berkabut. Jantungnya seakan diremas sesuatu yang tak kasatmata. “Akhirnya dia mengakuinya.” “Lorenzo!” omel Belle. Anehnya, tangisnya ikut pecah. “Jangan ganggu adikmu,” tegur Céleste lembut ke Lorenzo. Ia mengulurkan tangan, menepuk-nepuk lengan putrinya. “Maaf, Belle,” ujar Lorenzo. Belle bernapas dalam, menghitung beberapa kali, memaksa emosinya teredam, memerintahkan logikanya memegang kendali. Di dalam ruangan itu, jarum jam terus berdetak, namun waktu bagi Belle seolah berhenti. Segala yang ada di sekitarnya lambat laun memudar. Yang tersisa hanya kalimat yang barusan ia terima. Sebuah pengakuan sederhana, tapi terdengar penuh duka. “Gyan mengirim pesan, ma chérie?” Pertanyaan Céleste memecah dengung di kepala Belle. Ia sedikit tersentak kecil, buru-buru mematikan layar ponsel. “Kamu tidak apa-apa?” tanya sang ibu lagi. “Iya, Mamma,” lirih Belle. Lorenzo memiringkan kepala, memandang Belle dengan sorot menyelidik. “Program yang kutanam ke nomor Paris masih bekerja?” Belle menarik napas panjang sebelum mengangguk. “Hmm. Gyan hanya bisa mengirim pesan. Dan cuma dia. Tak pernah ada telpon yang masuk sejak kamu mengaturnya, baik jalur suara atau video. Aku coba dengan nomorku di sini pun tidak bisa.” “Baguslah,” gumam Lorenzo. “Dia cukup tau kalau kamu masih hidup, tak perlu sampai mengetahui keberadaanmu.” “Kalimat terakhirmu... lucunya, aku justru berharap sebaliknya,” sahut Belle sambil menatap layar ponsel yang kini gelap. “Kadang terlintas di pikiranku, apa mungkin Gyan mengira terjadi sesuatu padaku dan siapa pun pelakunya mengendalikan jalur komunikasiku.” “Pasti!” sahut sang abang. “Dia tidak akan mengaku dan membuat dirinya terlihat seperti pengecut jika bukan karena dia mengkhawatirkanmu.” Belle mengangkat pandangannya, bersirobok dengan Céleste dan Lorenzo yang sejak tadi masih terus memperhatikannya. “Kamu tau kenapa Papà melarangmu kembali padanya, kan?” tanya Lorenzo lagi. Belle tak menjawab. Ia hanya mengangguk samar, namun air matanya menetes kembali. “Belle dengar, aku tidak tau apakah Papà sudah mengatakan ini padamu. Jika tragedi kematian Monsieur Elroy terjadi tak lama sejak beliau mengirimkan pesan ke Papà—apakah Papà sudah menemukan titik terang keberadaan Black Gem?” lanjut Lorenzo. Ekspresi Belle menjawab pertanyaan pemuda itu. Lorenzo menghela napas panjang. “Ternyata Papà tidak berani mengatakannya padamu.” “Kenapa?” cecar Belle. “Karena Papà khawatir kamu menduga jika Papà ada di balik tragedi itu. Meski... itu tak salah sepenuhnya.” “Maksudmu apa?” “Kakek buyut kita adalah perancang Black Gem.” Kedua mata Belle membelalak. Fakta jika Céleste tampak tak terpengaruh dengan informasi barusan membuat bahu Belle jatuh terkulai. “Hanya aku yang tidak tau?” “Ayahmu takut kamu meninggalkan kami sebelum tau kebenaran di balik berlian itu, ma chérie,” ujar Céleste. “Kamu mau terus merajuk atau mendengarkan penjelasanku lebih lanjut?” timpal Lorenzo. ‘Sial! Kenapa emosiku berantakan seperti ini!’ Belle merutuki dirinya sendiri. Ia menatap layar yang kembali gelap, tapi setiap huruf seolah tetap terpampang di kelopak matanya. Seandainya rasa sakit bisa diterjemahkan jadi warna, ruangan itu mungkin sudah berubah menjadi hitam seluruhnya. “Lanjutkan saja,” tanggap Belle. Lorenzo mengangguk. “Black Gem dibuat semirip mungkin hingga menyerupai permata aslinya. Tapi di dalamnya tersimpan kode optik dan hanya bisa dibaca dengan alat khusus yang dimiliki oleh keluarga-keluarga pendiri ‘jalur perdagangan gelap berlian hitam’. Kode tersebut adalah salah satu nomor rekening gelap.” “Ya, aku paham soal kode itu,” tanggap Belle. “Begitu satu rekening terbuka, maka rekening kedua akan didapat, begitu terus hingga semua rekening terbongkar,” gumamnya. “Berarti....” “Papà belum mengatakan sejauh itu padaku. Tapi fakta jika Monsieur Elroy menanyakan keberadaan Black Gem membuatku juga berpikir jika keluarga Elroy adalah salah satu pendiri.” “Dan pembantaian De Santoro membuat semua pendiri berhenti menggunakan jalur perdagangan tersebut?” Sulung De Santoro itu kembali mengangguk. “Lalu kematian Monsieur Elroy berarti peringatan agar tak lagi ada yang mencari Black Gem?” “Betul. Papà khawatir ada yang berhasil menunggangi jalur komunikasi rahasia antara mereka.” “Papà dan Monsieur Elroy punya jalur komunikasi rahasia?” “Apa kamu berpikir mereka berhenti bersahabat? Mereka mungkin saling menjauh, menjaga jarak, mengurangi komunikasi. Tapi bukan berarti hilang sama sekali. Fakta kamu aman selama tinggal di Paris adalah salah satu buktinya, Belle.” “Ya, kamu benar.” Céleste menatap kedua anaknya dalam diam. Ia tak bicara apa pun, hanya menyandarkan kepala di bahu Lorenzo sambil menggenggam erat tangan Belle. “Apa Papà sakit karena merasa bersalah, Mamma?” lirih Belle. “Aku ingin jawab ‘bukan’, tapi itu artinya aku berbohong bukan?” balas Céleste. “Satu lagi, maaf karena aku mengatakan ini padamu... cinta—betapapun dalamnya, tidak selalu bisa diselamatkan, ma chérie.” Belle menunduk dalam. Kenangan terakhir saat Gyan menciumnya memenuhi pikirannya. ‘Kalau saja aku tau itu adalah kali terakhir kami bersama, aku pasti bersikap baik padanya, aku pasti menyambut ciumannya.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN