Langit di atas pemakaman tampak kelabu saat Gyan mengayun langkah. Gerimis yang intens turun lagi, seperti enggan meninggalkannya atau masih belum bosan menggambarkan suasana hatinya.
Ia berdiri di antara barisan batu nisan, memandangi nama ayahnya yang terukir rapi. Di atas pusara sebuah buket bunga berdiri indah, semuanya berwarna putih dengan ikatan tali rami. Pasti Edith yang meletakkannya di sana. Meski sudah empat tahun berlalu, rangkaian bunga perlambang kejernihan hati itu selalu diganti setiap hari Selasa dan Minggu—hari kepergian Antoine dan hari pernikahan keduanya.
Tanpa peduli dengan rerumputan dan tanah yang basah, Gyan duduk, memandangi kelopak-kelopak mawar yang gugur karena didera rintik hujan sedari tadi. Ia mengulurkan tangan, menyentuh nisan laksana membelai kepala ayahnya.
“Aku datang, Papa,” lirihnya.
Dan seketika, ingatan itu kembali—hari ketika dunia runtuh, tepat di depan matanya.
***
Empat tahun yang lalu.
“Maman yakin kuat?”
“Hanya ini yang bisa aku lakukan, boy. Mengantar ayahmu ke tempatnya beristirahat.”
“Maafkan aku karena tidak bisa mengurangi kesedihan Maman.”
“Kehadiranmu dan adikmu sudah cukup untuk mengurangi kesedihanku. Aku hanya merindukan Antoine.”
Rintik yang turun ke bumi laksana serbuan jarum-jarum halus tanpa suara. Jejak dinginnya nyata kala membasahi batu nisan, membuatnya berkilau. Payung-payung hitam berbaris rapi, membentuk gerumbul yang menutup titik pandang ke langit abu-abu.
Di antara aroma tanah basah dan wangi mawar segar, orang-orang berjas mahal berdiri dengan sikap duka sambil mawas memperhatikan sekeliling. Tak ada isak tangis berlebihan. Tak pula ada pelukan yang berlama-lama.
Nama di batu itu sederhana; ANTOINE ELROY, lalu dilanjutkan dengan tanggal kelahiran hingga kematian. Tak ada gelar. Tak ada kata-kata mutiara. Namun semua yang hadir tau jika lelaki itu bukan sekadar pria dengan tanggal lahir dan tanggal mati. Ia adalah gravitasi yang menjaga orbit puluhan ambisi agar tidak saling bertabrakan. Di Paris mereka menyebutnya bermacam-macam—arbitre, médiateur, l’homme qui retient la guerre — orang yang menahan perang. Tuan Elroy.
Gyan berdiri tepat di hadapan nisan, tanpa payung. Jas hitamnya basah, rambutnya menempel ke dahi. Ia tetap bergeming meski tetes-tetes air mengalir dari pelipis hingga dagu. Dari samping, Bruno menyodorkan payung, dijawab Gyan dengan gelengan.
“Papa tidak suka payung,” ucapnya, datar. Suaranya terdengar retak karena luka. “Papa bilang, hujan satu-satunya yang adil di muka bumi.”
**
Baru beberapa bulan Gyan tinggal bersama keluarga Elroy. Rasanya aneh, seorang Gyan Magani kini bersembunyi di balik nama baru yang ia dapat dari seorang pria berpengaruh di Paris. Ia yang sempat berpikir hidupnya akan terbelenggu di sebuah panti asuhan di Jakarta, kini menikmati malam musim gugur dari sebuah distrik kelas atas di pusat la Ville Lumière.
Sekolah baru saja berakhir. Jika anak-anak lain dijemput sopir atau membawa payung, hanya dirinya yang berjalan kaki—meski satu unit sedan mewah beserta beberapa pengawal mengikuti dan mengawasinya. Ia menemukan Antoine menunggu di beranda, tidak berlindung, jasnya basah kuyup sama seperti dirinya.
“Kenapa Père tidak masuk?” tanya Gyan, menggigil. Ia belum berani memanggil pria itu ‘Papa’ berhubung panggilan tersebut memaknai satu hubungan yang sangat kental seperti ikatan darah. Gyan takut Antoine tak suka dan lebih memilih menyapa dengan sebutan resmi; Père.
Antoine hanya tersenyum simpul, yang anehnya meniupkan kehangatan di hati Gyan. Pria itu menatap hujan yang menetes di tepi genting. “Karena hujan satu-satunya yang adil, Nak. Ia tak memilih atap siapa yang akan disinggahi, tak peduli jas siapa yang mahal atau lusuh. Kamu bisa membenci atau menyukainya, tapi ia tetap turun.”
**
Gyan menghela napas panjang, hujan menyamarkan pandangannya yang bersimbah air mata dalam sunyi. ‘Aku pun sudah merindukan Papa. Bagaimana caranya agar aku tidak mencari dan membunuh mereka sementara para b******n itu membuatku kehilanganmu?’
Bruno menarik kembali payungnya tanpa berkomentar. Orang-orang berbisik, ribut berusaha menebak jawaban dari teka-teki besar; siapa yang akan menggantikan Antoine? Siapa akan duduk di kursi paling berbahaya—kursi kosong yang membuat semua tangan gatal? Apakah pria yang baru berusia 22 tahun di pusat pemakaman ini?
Di bawah naungan pohon cemara, jauh dari barisan terbelakang, Belle berdiri tenang. Ia mengenakan mantel coklat yang melindungi gaun hitam selututnya. Surainya ia ikat tengah, tanpa hiasan lainnya. Tatapannya lurus ke Gyan sementara jemarinya meremas erat gagang payung.
Beberapa saat berlalu, hingga prosesi dipungkaskan doa. Suara sekop bertemu tanah yang terdengar menyusul tak ubahnya seperti end credit song dari akhir kisah kehidupan Antoine.
Serentak, barisan payung bergeser, satu-satu mendekat ke keluarga yang ditinggalkan, termasuk Gyan. Ucapan belasungkawa mengalir, tangan-tangan hangat meremas bahunya. Nama-nama besar mencoba menunjukkan empati, beberapa menyematkan panggilan ‘Monsieur’ yang terdengar kaku. Gyan hanya mengangguk tipis.
Hingga para pemain sandiwara meninggalkan kompleks pusara, juga Edith dan Giselle masuk ke salah satu unit sedan, barulah Belle mengayun langkah mendekati sahabatnya.
“Gyan?” Suara Belle nyaris tenggelam desir hujan.
Gyan bergeming. Tubuhnya kaku, tatapannya tak lepas dari nisan di hadapannya—seolah berharap nama Antoine Elroy di sana tiba-tiba berubah menjadi rangkaian aksara lain, agar masih ada sosok hidup yang bisa ia panggil Papa.
Belle menurunkan payungnya. Ia melangkah mendekat, lalu berhenti di samping Gyan.
Saat jemarinya menyentuh lengan pemuda itu, tubuh Gyan gemetar hebat. Belle membelalak, menarik Gyan ke pelukannya. Dan kala ia hendak mengatakan sesuatu, tangis Gyan pun pecah.
Gyan terisak di bahu Belle. Hujan bercampur dengan air mata di wajahnya, namun ia sama sekali tak peduli.
Belle menatap langit, menahan air matanya sendiri. “Jangan hancur, kumohon jangan hancur,” bisiknya di telinga Gyan.
**
‘Tok-tok!’
Gyan menarik napas dalam sebelum menjawab sapaan tanpa kata itu. “Masuk,” jawabnya, bahkan tanpa menoleh.
“Aku kira kamu sudah tidur,” ujar Belle.
Dari pantulan bayangan di kaca jendela, Gyan mendapati gadis itu mendekat.
“Tidur?” Gyan terkekeh getir. “Papa bahkan belum sempat tidur cukup sebelum mati.”
Belle duduk di window seat—tempat duduk di balik jendela besar dengan bantalan empuk berwarna abu hitam—tepat di samping Gyan. Kakinya terlipat, lutut sejajar bahu, sementara punggungnya bersandar di salah satu sisi jendela. Ia menatap keluar, ke taman yang basah oleh hujan. “Kamu belum ganti baju, Gyan.”
“Sudah satu jam di rumah ini dan aku bahkan tidak tau harus mulai dari mana,” jawab Gyan datar. “Padahal baru tujuh tahun aku punya ayah… tapi saat ia pergi, rasanya seperti duniaku luluh lantak seketika.”
Belle terdiam lama. Ia menatap wajah Gyan yang redup diterpa cahaya lampu.
“Sayang sekali cuacanya kurang bagus. Padahal kamu lebih tenang jika kita duduk sambil bercerita di atap,” gumam Belle akhirnya.
Gyan tak menjawab, diam saja dengan tatapan kosong.
“Kamu masih punya dunia, Gyan. Hanya saja sekarang bentuknya berubah, sama seperti peranmu yang juga berganti. Sama seperti hujan—tidak bisa kamu hentikan, tapi harus bisa kamu terima.”
Gyan tersenyum pahit. “Kamu semakin ahli meniru kata-kata Papa.”
“Aku fans-nya. Ia pantas dikagumi.”
“Dan sosok seperti itu yang hilang dari hidupku, Belle. Aku bahkan merasa tak lagi pantas memiliki nama Elroy.”
“Kehilangan tidak menghapus siapa kamu, Gyan.” Belle meraih kedua tangan Gyan, menggenggam erat sambil menatap dalam pemuda itu. “Monsieur Antoine menyayangimu. Kamu putranya, titik! Aku yakin, ia pergi dengan tenang karena ada kamu, dan ia percaya kamu tidak akan menyerah karena kepergiannya.”
Kata-kata itu... menembus pertahanan Gyan yang nyaris runtuh.
“Aku putranya?”
“Ya, Monsieur selalu bilang itu padaku. ‘Bagaimana putraku, Belle? Apakah putraku bersikap baik padamu? Aku sedang membayangkan putraku memimpin Elroy Holdings, pasti ia hebat bukan?’ Monsieur jarang menyebut namamu, baik Gyan ataupun Alex. Panggilan kesayangannya untukmu adalah ‘putraku’ dan itu abadi, Gyan. Tak ada yang bisa mengambil itu darimu,” ujar Belle lagi.
Gyan mengangguk pelan. “Terima kasih, Belle.”
***
Masa kini.
“Papa… kalau Belle yang membuatku bertahan waktu itu, maka kehilangannya sekarang membuatku nyaris gila,” lirih Gyan yang diiringi embusan angin dingin. “Aku tidak tau apa salahku. Semua orang yang aku pikir akan bersamaku—selalu pergi. Orangtua kandungku yang sama sekali tak peduli. Papa. Diana. Sekarang Belle.”
Ia tertawa pelan, getir.
“Apa ini balasan karena aku terlalu percaya kalau cinta bisa menahan orang untuk tetap tinggal?”
Gyan menyandarkan kepalanya di nisan Antoine.
“Kalau aku bisa bicara padanya sekali lagi, aku hanya ingin bilang… aku menginginkannya, Papa. Aku menginginkannya selalu bersamaku. Harusnya aku mengatakan itu sejak awal, bukan? Aku takut sesuatu terjadi padanya, tapi aku sama sekali tidak bisa berpikir di mana ia berada.”
Gyan mengeluarkan ponselnya, membuka kontak dengan nama Belle René Moreau.
Lama ia memandang nama itu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencoba lagi.
Mengutarakan isi hatinya.
Gyan: Belle, aku tidak tau kamu di mana sekarang. Tapi kalau pesan ini sampai, tolong dengarkan.
Gyan: Aku mencintaimu.
Gyan: Aku minta maaf karena akhirnya mengaku dengan cara pengecut seperti ini. Tapi aku lebih takut kamu tidak pernah tau, daripada aku terlihat lemah.
Gyan: Satu lagi, kamu benar, aku yang sinting.
Gyan: Kamu pernah bilang kehilangan bukanlah akhir. Tapi aku kehilanganmu, dan entah kenapa duniaku hancur lagi, berhenti lagi.
Gyan: Aku akan terus mencarimu. Namun kalau kamu baik-baik saja, kumohon kembalilah. Jangan tinggalkan aku, Belle.
‘Kalau kamu masih di bawah langit yang sama, semoga pesan ini sampai ke tempatmu,’ batin Gyan.
Pesan terkirim.
Tanpa tanda terbaca.
Layar ponselnya gelap beberapa detik kemudian, menampilkan bayangannya sendiri.
“Ke mana lagi aku harus mencarimu?” lirih Gyan. “Jangan sakit, jangan terluka, dan kumohon, Belle... jangan mati.” Ia memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh lagi untuk kali kedua—di hari yang sama—sejak hari pemakaman itu.