DOA

1517 Kata
“Kita sampai, Tuan,” ujar Bruno sebelum melangkah turun. Hujan baru saja reda ketika mobil yang membawa Gyan berhenti di kawasan Rue Saint-Sulpice. Begitu Bruno membuka pintu, udara lembap dan dingin berembus mengusap wajahnya. Gyan keluar, berdiri terpaku menatap tetes-tetes air yang masih jatuh dari atap gereja tua di hadapannya. Kubah Saint-Sulpice Church menjulang di antara deretan bangunan klasik. Gereja itu tak seramai Notre-Dame atau Sacre-Coeur, namun justru di situlah daya tariknya. Sunyi, damai, dan seolah menyimpan cerita-cerita yang tidak pernah diucapkan. Langkah Gyan bergema di lantai batu. Aroma lilin dan kayu tua menyambutnya. Ia menurunkan payung, lalu berdiri di tengah nave, di hadapan deretan kursi panjang kosong. Hanya ada beberapa jemaat yang duduk di sudut, berdoa dalam hening. “Ibuku sedang di sini,” ujar Belle saat itu. “Apa kamu berdoa?” “Ya, tapi bukan di sini,” jawab Gyan. “Lalu?” “Aku punya Tuhan, tapi...” lirih Gyan. “Sudahlah,” Belle tak berusaha mengorek kisah apa pun dari sahabatnya itu. Ia lebih suka jika Gyan menceritakan hal-hal tanpa tuntutan. Beberapa saat kemudian, seorang wanita mendekati mereka. Gyan cukup terkejut, namun ia menahan diri untuk tak langsung bertanya. “Ibumu... biarawati?” Gyan akhirnya menyuarakan pertanyaannya saat mereka meninggalkan gereja—menyusuri pedestrian diiringi sorot lembut cahaya matahari sore. “Beliau yang mengasuhku. Aku dititipkan di house of refuge.” Adalah tempat perlindungan bagi anak gadis yatim/piatu dan perempuan muda yang dianggap ‘berisiko’. Semisal mereka yang rawan tereksploitasi atau menjadi incaran jaringan prostitusi. Gyan mencengkeram lengan Belle, memaksa langkah mereka berhenti. Matanya lekat menatap Belle. “Kenapa?” Belle diam saja. Lalu sesuatu di sorot mata gadis itu membuat Gyan bungkam. Mungkin ia harus menghargai latar belakang Belle sama seperti yang Belle lakukan padanya selama ini. “Tapi kamu tau siapa orangtuamu?” “Apakah itu penting?” ‘Belle tau!’ batinnya. ‘Dan itu cukup.’ Sejak itu, Gyan tau Belle menyembunyikan fakta tentang keluarganya. Tapi ia tak pernah bertanya lebih jauh. Gyan juga memiliki luka yang teramat dalam menyangkut frasa pertalian darah tersebut. Ia tau rasanya dibuang. Setidaknya, itu yang Gyan yakini hingga kini. Dan sekarang, ia berdiri di tempat yang sama dengan bertahun-tahun lalu. Gyan merasakan perasaan itu dengan jelas; rindu yang menyesakkan, dan takut yang tak beralasan. *** Ia berjalan ke deretan kursi depan, tempat dulu ia dan Antoine pernah duduk bersama. Waktu itu Gyan masih remaja—pemuda pendiam yang belum lama diadopsi. “Aku bertemu sahabatku di sini,” ujar Antoine. “Keluarga kita lebih senang berdoa di sini, mungkin karena suasananya lebih tenang.” “Begitu juga keluarga sahabat Père?” balas Gyan. “Tidak. Ia tinggal di sebuah panti asuhan tak jauh dari sini. Ia mencuri sepatuku, kami berkelahi, lalu akhirnya akrab,” tutur Antoine. Namun, suaranya jelas terdengar sedih di telinga Gyan. “Apakah sahabat Père seorang pendeta di sini?” tanya Gyan polos. Antoine tersenyum. “Tidak, dia sudah pergi. Dan mungkin tak ingin mengenalku lagi.” Kening Gyan sontak mengerut. “Kalau begitu dia bukan sahabat,” balas Gyan cepat, ia mendengus. Jujur saja, ia benci mengatakan itu karena rasanya seperti mengakui dosanya pada Diana. Antoine menggenggam tangannya, menatap Gyan dengan matanya yang sayu. “Dengar, Nak... kadang dunia tidak bekerja dengan cara yang kita sukai. Terkadang tetap bersama justru membahayakan nyawa, dan menjauh adalah cara terbaik untuk tetap hidup.” Gyan terdiam. Aneh memang, tapi ia setuju dengan ucapan ayah angkatnya. Dalam versi lain, itu pula yang Gyan lakukan, menjauh untuk mencari kesuksesan, meski Gyan sendiri tak yakin apakah ia benar-benar bisa kembali ke tempat asalnya kelak. “Aku mau berdoa,” kata Antoine. “Oh, kalau begitu—“ Gyan nyaris berdiri dari duduknya. Antoine menahannya. “Tetaplah di sini,” pintanya. “Aku tidak akan memaksamu mengikuti keyakinanku. Aku sudah sangat bersyukur karena kamu memiliki Tuhan. Dan aku ingin kamu percaya pada Tuhan dengan caramu sendiri.” Untuk kali pertama Gyan melihat Antoine menangis. Samar ia mendengar kata ‘Vittore’ meluncur dari bibir sang ayah. Entah apa artinya Gyan tak mengerti sama sekali. Suara langkah terdengar di belakang, memecah lamunan Gyan. “Sudah lama tidak melihat Anda di sini, Monsieur Elroy,” sapa seseorang dengan nada ramah. Gyan berbalik. Seorang pastor paruh baya dengan rambut perak berdiri di sana, mengenakan jubah abu terang. Wajahnya teduh, senyumannya hangat. “Pastor Étienne?” ujar Gyan pelan. Pria itu mengangguk. Gyan mendekat, membiarkan Étienne memeluknya singkat. “Bagaimana kabarmu, Nak?” “Sama bugarnya dengan Anda, Mon Père.” Étienne terkekeh. “Terima kasih atas pujiannya,” tanggapnya. “Empat tahun bukan?” “Ya,” lirih Gyan. “Bagaimana dengan Madame Edith dan Nona Giselle?” “Tidak sebahagia saat Père masih ada. Mereka bertahan.” Gyan menghela napas pelan. “Aku juga.” Étienne mempersilahkan Gyan duduk, lalu ia menyusul, bersisian. “Ayahmu tak pernah melewatkan cerita tentang kalian berdua setiap kali ia datang untuk berdoa. Ia bilang, kalian adalah miliknya yang paling berharga, memiliki kalian adalah keputusan terbaiknya sepanjang hidup. Ia bangga sekali.” “Aku pun bangga menjadi putranya,” lirih Gyan. “Aku bersyukur kalian bertahan. Terutama untuk ibumu,” ujar Étienne lagi. “Cintanya habis untuk Père, Mon Père.” “Aku bisa melihatnya, Nak.” “Ia melanjutkan hidup dengan baik dan sehat. Masih sering memarahi kami juga. Aku terutama.” Étienne terkekeh. “Kalau begitu, dunia belum sepenuhnya berubah.” Tersua hening sejenak. Ia menatap sisi samping wajah pemuda di kanannya. “Apa ada seseorang yang kamu cari?” Fakta jika Gyan meminta bertemu dengan seorang biarawati yang mengelola house of refuge tentu saja menimbulkan kecurigaan. Gyan membalas tatapan pastor itu. “Betul, Mon Père. Sahabatku.” Ia menghela napas berat, sendu menyelimuti wajahnya. “Seseorang yang terlambat kusadari jika aku mencintainya.” “Boleh aku tau siapa? Akan aku sisipkan namanya saat berdoa.” “Belle. Belle René Moreau.” *** Tak lama kemudian, langkah lain terdengar mendekat. Seorang biarawati berparas lembut muncul dari balik pilar, membawa sekeranjang bunga segar. “Ma sœur,” sapa Étienne pada suster itu. “Ini Monsieur Elroy,” ujarnya lagi, memperkenalkan. “Anak dari Antoine dan Edith. Mungkin kau juga ingat pada mereka?” Biarawati itu menatap Gyan, lalu tersenyum haru. “Tentu. Ayah dan ibumu banyak membantu kami. Aku Sœur Marguerite.” “Aku akan meninggalkan kalian, berbincanglah dengan tenang.” Marguerite mengangguk. “Terima kasih, Mon Père,” ujar Gyan. Begitu Étienne menjauh dan menemui jemaat lain, barulah Gyan memulai dialog. “Bagaimana kabar Anda, Ma Sœur?” “Sangat baik, berkat rahmat Tuhan,” tanggap Marguerite. “Syukurlah,” timpal Gyan. “Apa Anda masih mengingatku?” Marguerite mengangguk. “Aku lebih mengenalmu sebagai teman dekat Belle.” Gyan menunduk, menyembunyikan kesedihannya. “Apakah dia... mengabari atau datang akhir-akhir ini?” Marguerite menggeleng perlahan. “Kamu ke sini untuk mencarinya?” “Begitulah. Ada sedikit kesalahpahaman.” “Begitu...” lirih Marguerite. “Apakah ada yang Belle ceritakan terakhir kali kalian bertukar kabar?” tanya Gyan lagi. Marguerite menatap Gyan lekat. Entah untuk alasan apa, Gyan justru menangkap ada sesuatu yang berusaha suster itu tutupi. “Dia hanya bilang kalau ingin mengunjungi tempat-tempat tersembunyi di Prancis. Hidden gems, katanya—tempat-tempat yang tidak banyak orang tau. Katanya dia ingin menghabiskan waktu sendiri tanpa mengaktifkan ponsel.” Gyan tertegun. “Dia bilang begitu? Kapan dia mengatakannya?” “Sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Dia mengabari akan pergi ke Bali.” “Ah.” Gyan mengangguk. “Melihat Anda di sini, saya rasa Belle sungguh-sungguh melakukannya.” “Dan aku semakin sedih karena ia tidak mengajakku,” seloroh Gyan, meski yang terdengar justru begitu sendu. “Kadang diam juga bisa berarti seseorang sedang mencari ketenangan, Monsieur.” Kalimat barusan, anehnya menguatkan praduga Gyan jika ia tak salah datang ke sini, jika Marguerite pasti tau sesuatu. “Mungkin,” lirih Gyan. Ia sadar betul, tak mungkin membuat Marguerite bicara. Gyan menunduk kian dalam, bahunya merosot pelan. Belle bukan bersembunyi dari dunia—melainkan darinya. “Apa boleh aku meminta sesuatu?” tanya Gyan lagi. “Tentu, Monsieur.” Ia menatap Sœur Marguerite, matanya berkaca. “Kalau Belle menghubungi... tolong sampaikan jika... aku minta maaf.” Gyan berhenti sejenak. “Dan aku merindukannya,” lirihnya, parau. Suara itu nyaris hilang, tenggelam oleh dentang lonceng sore. Étienne menoleh, memperhatikan keduanya. Sementara Marguerite menatap Gyan dengan tatapan iba. “Akan aku sampaikan, Monsieur.” Gyan menarik napas dalam, lalu berdiri, memberi anggukan hormat. “Kalau begitu, saya pamit, Ma Sœur. Jaga kesehatan Anda.” Saat ia melangkah, air matanya menitik. Pikirannya penuh dengan asumsi jika Belle benar-benar muak padanya. Tangannya naik ke dad4, memukul-mukul pelan. Ia tau tidak semua doa dikabulkan, bahkan mungkin doanya selalu tertolak—atau ditunda dan diganti seperti yang banyak orang katakan padanya. Tapi kali ini, hatinya lantang memohon. Bukan untuk menemukan Belle, tapi agar ia punya cukup kekuatan jika memang harus kehilangan—atas alasan apa pun. “Tuan?” tegur Bruno saat mendapati Gyan melangkah keluar dengan keadaan kacau. “Antar aku,” lirihnya. Bruno tak langsung menjawab. “Antar aku ke ayahku,” ujar Gyan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN