Setiap langkah Raka diatas pasir meninggalkan jejak yang terus Zizi ikuti, cukup jauh jarak Zizi dibelakang Raka agar dia tidak sadar sedang terus diawasi.
"Yaampun, mau ngapain sih? Emang cowok kalau lagi galau segininya ya?" omel Zizi mulai bosan mengikuti langkah Raka.
"Nah loh, itu ngapain jalan ke laut? Mau bunuh diri!?" Zizi panik seketika melihat dengan gontainya Raka terus melangkah ke laut.
Dan tanpa pikir panjang Zizi berlari berteriak menyadarkan bos nya itu, "Pak!!! Mau ngapain!? Jangan aneh-aneh!!" Zizi meraih tangan Raka dan menariknya sekuat tenaga.
"Hidup nggak harus berakhir cuma karena bapak diputusin!!" Zizi terus mengomeli pria tinggi itu.
"Kamu ngapain sih!?" Raka berusaha melepaskan tangannya dari wanita yang terus ingin menariknya menjauhi air laut.
"Masih banyak cewek yang mau sama bapak, jangan gegabah pak, jangan bunuh diri!!" dan Zizi berhasil menarik Raka dengan kekuatan penuh.
"Astaga siapa yang mau bunuh diri hah!?" Raka melepaskan tangannya dari Zizi hingga membuat gadis bertubuh ramping itu terhuyung hampir jatuh.
"Itu bapak tadi,"
"Saya cuma mau nyentuh air! Emang nyentuh air laut bisa bikin kita mati!?"
Zizi ternganga, "oh? Seriusan? Iya bapak sih bikin orang jantungan aja,"
Raka menghela napas membuang pandangannya, "memangnya kalau saya mati siapa yang peduli?"
"Saya!"
Raka menatap Zizi malas, "kamu takut nggak kerja dan nggak ada yang ngegaji kamu lagi,"
Zizi terkekeh, "nah itu bapak tahu, jadi jangan bunuh diri, hidup saya tergantung sama bapak,"
"Ya begitulah saya, orang-orang membutuhkan saya hanya sebatas itu," Raka bicara sambil mengambil posisi duduk diatas pasir.
Zizi terdiam sambil menggigit bibir bawahnya sekilas melirik Raka, sepertinya ada yang salah dengan ucapannya sehingga membuat wajah bosnya itu tersenyum miris.
Dengan ragu Zizi ikut duduk disebelah Raka, "nggak kok pak, bapak jangan berpikiran begitu. Setidaknya keluarga bapak bakalan sedih kalau bapak mati, dan saya pastikan kalau bapak mati saya selaku sekretaris yang baik bakalan sedih banget,"
Mendengar jawaban Zizi, Raka tertawa sambil menyapu rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya.
"Dan bapak tahu? Semua cewek dikantor bakalan sedih terus nangis-nangis histeris kalau bapak mati konyol cuma gara-gara diputusin cewek,"
"Segitunya kah?"
Zizi mengangguk pasti, "bapak tahu kan cewek satu kantor pada naksir bapak?"
Lagi-lagi Raka tertawa, "sekedar seperti itu, mereka hanya melihat saya dari luar saja,"
"Ya gimana mau kenal bapak dari dalam, bapak aja nggak peduli sama mereka," Zizi ikut tertawa karena merasa suasana diantara mereka sudah lebih nyaman.
"Tapi bukannya pacar bapak lagi hamil ya?" Zizi teringat beberapa kali ia mendengar Raka bertengkar dengan wanita di telfon.
"Hamil? Siapa yang hamilin?" Raka terbelalak.
"Eh? Bapak dong? Kok nanya saya?"
"Astaga, kamu fitnah saya? Saya lelaki baik-baik, gak bakal apa-apain anak orang sebelum sah,"
Zizi menggaruk kepalanya yang tak gatal, "terus yang sering nelfon dan berantem sama bapak itu siapa dong?"
Raka mencebik setelah paham dari mana Zizi bisa berpikiran seperti sebelumnya, "itu sepupu saya, dia lagi hamil tapi suaminya nggak peduli sama sekali,"
"Oh begitu, saya pikir...," entah kenapa rasanya Zizi merasa lega mengetahui kebenaran tentang Raka.
"Jangan buat rumor aneh-aneh tentang saya," Raka memperingatkan sambil menunjuk-nunjuk wajah Zizi.
"Iya pak, maaf. Bapak sih gelagatnya aneh, tapi saya nggak pernah bicara apa-apa sama orang tentang bapak ke siapapun selama kerja sama bapak. Walaupun banyak orang yang ngepoin bapak lewat saya,"
Raka tertawa lagi, "kamu pasti kesusahan menahan untuk tidak menggibahi saya kan?"
"Bapak harus bersyukur punya sekretaris seperti saya," Zizi membanggakan dirinya.
"Saya apresiasi itu,"
Zizi tersenyum melihat Raka disebelahnya. Baru kali ini mereka bisa bicara sesantai dan senyaman ini. Ada gunanya juga si Pak Bos galau, pikir Zizi.
"Mulai dingin ya pak?" tanya Zizi saat Raka terlihat mengusap tengkuknya.
"Tapi saya masih ingin disini,"
Zizi memalingkan kepalanya ke belakang memastikan jika masih ada beberapa pedagang menjual jagung yang tadi dia lihat.
"Jangan kemana-mana ya pak, tunggu bentar," dan tanpa menunggu jawaban Raka, Zizi langsung berlari secepat kilat.
Dan tak butuh waktu lama dia sudah kembali dengan dua jagung bakar yang masih panas, "mantap nih pak kalau sambil makan jagung, tapi masih panas banget jadi tunggu bentar pak,"
Raka tidak merespon banyak, toh dia tak ingin apapun, ia hanya ingin memperbaiki suasana hatinya.
"Pak, mau sampai kapan kita disini kalau saya boleh tahu?" Zizi kembali bersuara.
"Entahlah,"
Zizi memajukan bibirnya karena kesal mendengar jawaban Raka. "Kita udah disediain tempat istirahat yang nyaman banget pak, masa sih kita milih kedinginan disini? Mana saya jarang-jarang pula tinggal di tempat sebagus itu,"
"Apa gunanya kalau tidak membuat saya merasa lebih baik,"
"Ya itu kan bapak, saya gimana?" Zizi mulai berani protes, mau sampai kapan memangnya dia harus terus patuh seutuhnya pada Raka?
"Kamu udah jadi sekretaris pribadi saya, nanti juga sering saya bawa ke tempat yang lebih bagus. Apa besok kita pulang aja ya?"
"Lah kok pulang? Emang udah selesai pak?" bingung Zizi padahal tadi Raka sudah memberinya daftar berbagai hal yang harus ia lakukan besok.
"Memang kamu pikir kenapa?"
"Jangan bilang ini karena bapak moodnya lagi jelek karena baru putus sama pacar bapak? Tapi saya ngikut aja sih," Zizi tersenyum teringat jika besok ia bisa bertemu Arvin.
Raka menghela napas malas mendengar jawaban Zizi, " kamu tadi menyimak saat meeting kan? Bagaimana menurutmu?"
"Oh masalah yang tadi, saya mungkin nggak paham secara jelas, tapi saya pikir kerja sama ini tidak begitu memberi benefit untuk kita dan penjelasannya saya kira agak tidak masuk akal," Zizi memberi pendapat kurang yakin, ia takut dibilang sok tahu.
"Penilaian dan pemahamanmu lumayan, pertahankan itu. Jadi kita besok balik saja, saya malas,"
"Saya mah ikut aja, mungkin bapak juga perlu waktu nenangin diri bapak,"
Raka mengangguk dan pandangannya kini kembali menatap kedepan dengan kosong.
"Segitu sayangnya ya bapak sama pacar bapak?" Zizi kembali mengajak Raka berbincang.
"Saya sudah berusaha bertahan walaupun keluarga saya menentang,"
"Jadi hubungan bapak gak direstuin keluarga?"
"Apapun yang saya lakukan tidak pernah benar dimata mereka, saya harus melakukan semua keinginan mereka, dan saat saya berusaha membuat keputusan sendiri malah berakhir seperti ini. Saya benar-benar menyedihkan..,"
Zizi terdiam mendengar cerita Raka, dibalik sikap dan gayanya yang seolah bebas ternyata dia terikat oleh sesuatu yang membuatnya tertekan.
"Saya merasa tidak memiliki kehidupan seutuhnya, siapa saya? Apa keinginan saya? Untuk apa saya hidup? Kadang pertanyaan seperti itu hadir dan membuat saya ingin menghilang dari kehidupan ini,"
"Saya pikir hidup bapak sudah menyenangkan, bapak bisa dapatkan apa yang bapak mau, coba saja bandingkan dengan saya," Zizi mencoba menghibur Raka.
"Semua yang saya lakukan hanya atas keinginan orang tua saya, mereka menghadirkan saya ke dunia ini untuk melakukan apa yang mereka mau. Sejak dulu saya tidak pernah mendapatkan apa yang benar-benar saya inginkan hingga sekarang saya tidak tahu apa yang saya inginkan sebenarnya. Semuanya terasa kosong bagi saya,"
"Mungkin bapak harus mencoba menikmatinya, saya yakin secara perlahan bapak bisa menikmati kehidupan bapak. Dan bolehkah saya meminta sesuatu?"
Raka menolehkan kepalanya pada Zizi menunggu apa yang akan diminta oleh gadis berambut kecoklatan itu.
"Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, sebuah kehidupan itu sangat berarti hanya kita saja yang kadang tak mensyukurinya,"
Raka terpaku menatap Zizi yang mendadak wajahnya menjadi sendu memperhatikan lautan, sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan oleh wanita ini, namun Raka tidak tahu pasti itu apa.
"Zivana..,"
"Ya pak?" agak kaget Zizi mendengar Raka menyebut namanya, ini sangat langka, Raka sangat jarang menyebut nama Zizi.
Raka malah terkejut karena saat ia memperhatikan wajah Zizi tanpa sengaja ia menyebut nama Zizi dan kini gadis itu menoleh padanya dan menatapnya dengan wajah yang juga tak kalah kaget.
"Oh bukan apa-apa," Raka mengalihkan pandangannya dan mengambil jagung bakar yang Zizi beli dan memakannya.
Namun baru beberapa gigitan Raka langsung mengibas-ngibaskan tangannya didepan mulut.
"Kenapa pak??" panik Zizi melihat itu.
"Ini huh pedaashh!" protes Raka mengigit lidahnya.
"Bapak nggak bisa makan pedas? Ya tuhan, saya nggak tahu pak,"
"Minum mana minum!!?" Raka meletakkan jagung yang tadi ia pegang dan panik sendiri.
"Bentar pak bentar saya cari!" dan tanpa banyak bacot Zizi berlari mencari minum untuk Raka.
"Aish, gawat!" rutuk Raka berusaha menghilangkan pedas dilidah sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok padanya.
***
Zizi yang sudah siap-siap kini tengah mematut dirinya di depan cermin, walaupun semalam ia pulang larut dan hanya tidur beberapa jam, ia sangat bersemangat karena ia akan pulang. Ia benar-benar merindukan Arvin.
"Kalau makai baju yang rada mahal itu emang beda ya, jadi merasa lebih cantik," Zizi terkekeh sendiri didepan cermin sambil merapikan rambutnya sekilas dan melirik jam tangannya.
"Pak Raka kok belum ngasih kabar ya? Apa dia belum bangun?" Zizi ragu saat mencek ponselnya, ia mencoba menelfon tapi tak ada jawaban sama sekali.
"Samperin aja kali ya?" Zizi berpikir sebentar dan memutuskan keluar kamar untuk mendatangi kamar Raka.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar dan menekan bel yang tersedia, tak ada juga respon dari dalam.
"Pak Raka? Bapak di dalam?" dengan ragu Zizi masuk karena pintu kamar Raka tidak terkunci, "pak??"
"Astaga Pak Raka!?" Zizi kaget bukan main melihat Raka yang keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi dan berkeringat, ia juga berjalan sempoyongan.
"Bapak kenapa pak?" dengan cepat Zizi membantu Raka berjalan menuju ranjang.
"Perut saya sakit sekali," dengan suara nyaris tak terdengar Raka berbicara dan meringkuk di atas tempat tidur.
"Kenapa pak? Apa karena jagung semalam? Tapi kan bapak makannya cuma sedikit??" Zizi tidak yakin dengan kemungkinan yang ia pikirkan.
"Saya sama sekali tidak bisa makan pedas, argh..," Raka meringis dengan keringat yang masih mengucur di wajahnya.
"Ya tuhan, terus ini gimana? Sakit banget ya pak?" Zizi malah panik melihat wajah Raka yang sangat kesakitan.
"Bentar ya pak, rasanya saya punya obat. Tahan ya pak, nanti perutnya juga di kasih air hangat biar sakitnya berkurang. Sabar ya pak ya," Zizi berlari secepat yang ia bisa sedangkan Raka terus meringis di tempat tidur.