Kurbel

1084 Kata
Zizi duduk dengan jantung berdebar-debar saat melihat Raka akan menyantap makanan yang telah ia sajikan diatas meja makan kecil ini. "Gimana pak?" Zizi penasaran karena Raka tak memberi respon apapun setelah menelan suapan pertamanya. Hanya anggukan kecil yang ditunjukkan Raka seraya melanjutkan aktifitas makannya dengan santai yang membuat Zizi lega. "Gak keasinan kan pak?" "Nggak, saya suka asin kok," "Syukurlah, saya takut nanti salah-salah bapak sakit lagi. Toh tadi saya nanya bapak suka asin apa nggak bapak nggak jawab dan malah ngomentarin rambut saya," wanita itu kini juga ikut menyantap sup ayam dan sayur yang ada di depannya. "Karena rambut kamu membuat mata saya mengganjal melihatnya," "Yaudah gak usah dilihat pak," "Tapi itu memang warna asli rambut kamu kan?" Zizi menghela napas lelah mendengar Raka yang masih saja tidak percaya, "ya ampun pak masih aja nggak percaya, emang kenapa sih pak kalau saya ngewarnain rambut?" "Saya tidak suka," "Terus kalau bapak nggak suka urusannya sama saya apa?" "Nurut aja kenapa sih? Kamu udah mulai ngeyel ya?" omel Raka pada wanita yang hanya memasang wajah datar menanggapinya. "Iya deh pak maaf, emang kenapa bapak nggak suka?" "Nggak tahu, emang urusan kamu apa nanya-nanya saya?" Zizi memutar bola matanya malas, "si bapak ngegas mulu dari tadi, saya mah apa cuma bisa nurut," Entah kenapa melihat respon Zizi membuat Raka ingin tertawa puas. "Makasih," Mata Zizi membulat sempurna tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Kenapa kamu lihat saya dengan wajah seperti itu?" protes Raka karena Zizi mempelototinya. "Bapak bilang makasih untuk apa?" "Ya karena kamu mau datang kesini dan masak untuk saya," "Yah pak, kalau saya gak datang bapaknya pasti marah dan ngancam saya ini itu," "Yang penting kamu datang," "Iya pak, demi bapak apa sih yang nggak?" canda Zizi sekaligus untuk mengusir rasa kesalnya pada tingkah Raka. "Begini ternyata rasanya memiliki orang yang memang bekerja untuk saya," ujar Raka seakan-akan sangat puas dan senang. Mendengar itu dahi Zizi langsung berkerut tidak paham dengan maksud Raka, "maksud bapak??" Raka tersenyum simpul walau entah kenapa Zizi merasakan ada sesuatu yang aneh dengan raut wajah pria dihadapannya. "Kamu sebenarnya pekerja ilegal," "Hah!? Saya masuknya pakai tes wawancara kok pak, serius, bapak kan juga tahu, apa kontrak saya palsu? Lah kok gitu sih pak!? Saya ditipu!?" panik Zizi seketika bahkan sudah tidak peduli dengan sendok dan garpunya yang sudah berantakkan karena terlepas dari tangannya. Seketika Raka terbahak melihat respon Zizi yang panik dan cemas dengan status pekerjaannya. "Lah kok bapak ketawa? Pak serius ini gimana sih?" "Astaga kamu lucu banget," Raka berusaha menghentikan tawanya karena Zizi mulai marah. "Pak Raka!!!!!" "Oke oke dengerin saya dulu, jangan langsung ngamuk gitu," Raka menenangkan Zizi dan hendak menjelaskan. "Ya jelasin lah pak cepaaatt!!" "Sebenarnya semua orang yang bekerja disekitaran saya harus melalui persetujuan orang tua saya, termasuk posisi sekretaris yang sedang kamu duduki sekarang," "Semua orang??" Raka mengangguk, "maksudnya pekerjaan yang langsung berinteraksi dengan saya," "Terus saya??" Zizi belum paham. "Kamu tahu tentang sekretaris saya mendadak berhenti karena hamil dan akan menikah? Karena posisinya harus digantikan dengan cepat jadi orang tua saya belum tahu jika posisi iti digantikan oleh kamu, bukankah kamu berpikir jalanmu terlalu murah bisa lolos menjadi sekretaris saya? Seharusnya mereka yang mencarikan gantinya," Zizi terdiam saat mulai paham dengan pembicaraan Raka. "Kenapa wajah kamu berubah murung begitu?" "Artinya kalau nanti saya ketemu orang tua bapak, terus mereka nggak suka, saya dipecat dong? Pasti mereka milih orang yang jauh lebih baik dari saya," suara Zizi terdengar pelan dan ia tertunduk seolah hilang harapan. Raka memperhatikan Zizi yang, wajahnya jelas-jelas terlihat takut dan sedih secara bersamaan. "Saya harus bersiap-siap mencari kerja ke tempat lain bukan?" Zizi mendongak sambil memaksakan senyumnya walau sekarang rasanya sudah akan menangis. Baru saja ia akan menjamin kehidupannya kedepan, tapi jalan hidup yang tidak jelas kembali terpampang di hadapannya. "Saya tidak akan membiarkan kamu juga dibawah kendali orang tua saya," "Maksud bapak?" Raka mengambil gelas berisi air didepannya dan meminumnya sedikit sambil kini menghadapkan diri seutuhnya pada Zizi yang duduk tepat dihadapannya, jangan lupa wajah menyedihkan gadis itu. "Semua orang yang bekerja di kitaran saya seolah ikut mengatur pergerakan saya karena mereka hanya mendengarkan orang tua saya. Itu alasannya kadang saya ingin menyetir sendiri atau tidak mau meminta bantuan asisten saya, itu sangat menyebalkan. Apapun yang terjadi semuanya akan sampai ke telinga dua orang tua itu," Zizi masih diam menyimak Raka yang seolah tengah curhat padanya, lihat saja wajah mengeluh dan kesal Raka. "Saya tidak pernah bebas, saya ingin satu orang saja bekerja benar-benar untuk saya, berada dipihak saya, tidak dibawah kendali mereka. Saya akan mempertahankan kamu," Zizi terkaget mendengar ucapan Raka, "bapak lagi perjuangin saya??" "Kamu tahu cari kerja di jaman sekarang susah kan? Bersyukurlah saya berniat mempertahankan kamu, jadi jangan pernah melawan apapun ucapan saya," Zizi tidak paham dengan jelas bagaiamana perasaannya saat ini saat mendengar ucapan Raka, terasa aneh. Entah dia harus senang, tersanjung, kesal, takut atau cemas untuk saat ini. "Saya mohon kamu setia jangan berkhianat, atau malah beralih mengikuti orang tua saya jika nanti mereka menginginkanmu," Tidak seperti sebelumnya, kalimat terakhir Raka terdengar seolah pria ini tidak percaya diri dengan ucapannya, ada sebuah ketakutan. "Dari awal saya memang bekerja untuk bapak, tenang saja..., terima kasih sudah percaya dengan saya," Zizi tersenyum meyakinkan Raka dengan sebuah semangat ketulusan dan berharap pria ini juga sama dengannya. "Saya senang mendengarnya," "Bapak pasti merasa sangat kesepian," "Apa terlihat jelas?" Raka mulai terkekeh lagi. "Saya juga bakal usaha bikin bapak merasa lebih baik," Raka tanpa sadar tersenyum sambil memperhatikan wajah Zizi yang sumringah, "kamu cantik," Dan Zizi beku seketika mendengar pujian Raka yang terdengar lambat, bahkan Raka sudah sibuk dengan makanannya lagi tanpa ada niatan melihat respon Zizi seolah ia tak mengatakan apapun. "Lo udah kelamaan kurbel, makanya dipuji dikit langsung malu, sadarlah Zizi!!" Zizi menyadarkan dirinya yang mendadak salah tingkah di depan Raka. Bahkan dengan bodohnya ia kini menumpahkan air digelasnya saat akan minum saking geroginya. "Astaga," Zizi mengomeli dirinya seraya mengambil serbet untuk mengelap air yang ia tumpahkan. "Hati-hati," seru Raka melihat Zizi. "Iya bapak sih," "Saya kenapa?" "Muji saya cantik, kan sayanya jadi salting," balas Zizi seadanya tanpa menutup-nutupi sedikitpun. "Baru dibilang gitu aja," "Ya saya udah kelamaan nggak di rayu dan digombalin cowok makanya begini pak, ngenes," "Jangan baper," "Iya pak saya tahu, saya mah juga tahu diri orangnya," Raka tertawa mendengar sekaligus melihat wajah Zizi yang setiap ekspresinya selalu menghibur Raka, "saya beneran ganteng nggak Zi?" "Iya bapak ganteng," "Saya nggak salting dipuji kamu, artinya tingkat ngenes saya belum seperti kamu," Zizi menatap Raka dengan wajah datar, "iya pak terserah bapak,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN