Zizi membuka pintu ruangan Raka secara perlahan memastikan jika pagi ini bosnya itu sudah datang, Zizi sudah mulai kerja lagi dari kemarin, tapi Raka kemarin tidak datang dan memberi kabar.
"Pagi pak," sapa Zizi mendapati Raka duduk di kursi kebesarannya sambil memutar pulpen ditangannya, sepertinya dia sedang melamun.
Raka menoleh kearah Zizi yang masih berdiri dipintu, "kamu baru datang?"
"Iya pak,"
"Kenapa baru datang?"
Zizi mengerutkan dahinya sambil melirik jam ditangan kirinya, "pak, saya datangnya tepat waktu,"
"Kamu datang setelah saya, artinya kamu terlambat!"
"Lah kok begitu? Gimana caranya? Saya mana tahu bapak mau datang jam berapa, ngasih kabar juga enggak, saya datang sesuai jadwal pak,"
"Tetap saja ini namanya terlambat,"
Zizi menarik napas dalam sambil memejamkan mata sejenak, masih pagi untuk tersulut emosi karena Raka.
"Yaudah saya minta maaf pak, saya selalu salah,"
"Kamu pacaran sama anak divisi keuangan?"
Zizi terperangah dengan apa yang barusan keluar dari mulut Raka, "sama siapa? Bapak denger darimana?"
Raka bersandar sambil meletakkan pulpen ditangannya, "kamu kira saya nggak denger gosip yang tersebar satu kantor? Yang namanya Farel itu, malah tadi pagi kamu pergi bareng sama dia kan?"
"Gosip?? Iya sih pak tadi kebetulan saya bareng karena nggak sengaja, dia bawa mobil terus abang gojek pesanan saya kelamaan banget datangnya. Tapi kita cuma teman aja, nggak lebih,"
"Kamu membohongi saya karena takut saya pecat??"
"Bukan gitu pak, kenyataannya memang saya sama Farel nggak ada apa-apa," Zizi yang tadinya berdiri dipintu kini sudah berdiri tepat di depan meja Raka.
"Bukannya Farel itu salah satu karyawan yang terkenal karena tampangnya?"
"Hm.., iya sih pak, dia juga baik orangnya,"
"Dan kamu masih mau bohong? Kamu pikir saya tidak tahu dia sering kesini terus ngobrolnya lama banget bareng kamu?"
Zizi menggaruk tengkuknya sekilas, "ya saya bisa apa pak? Toh dianya yang sering ngikutin saya, tapi kok bapak tahu? Bapak diam-diam merhatiin saya ya?"
Raka mendecak malas, "kepedean sekali kamu, saya cuma mau bilang kalau kamu emang mau pacaran yaudah lanjut saja asal nggak ganggu kinerja kamu ke saya. Saya cuma nggak mau dibohongi,"
Zizi terdiam mendengar ujaran Raka.
"Yakin pak? Tapi kalau saya pikir-pikir dengan sikap bapak yang labil mana bisa saya pacaran? Bapak udah nyita banyak waktu saya dan itu nggak jelas kapan maunya," komen Zizi karena merasa keputusan Raka seolah tidah berguna sama sekali.
"Yaudah kamu nggak boleh pacaran lagi,"
"Lah kok gitu pak!?" Zizi langsung tak terima.
"Kamu sih, sudah saya kasihani masih aja ngelunjak," ujar Raka tidak peduli.
"Tapi kan pak saya cuma...,"
"Masih mau protes lagi??" potong Raka membuat Zizi tak ingin memperpanjang perdebatan yang tak ada gunanya.
"Tadi saya lihat asisten bapak, dia sudah ketemu sama bapak?"
"Sudah,"
"Ngapain pak? Maaf pak saya kepo," tanya Zizi walau merasa bersalah di akhirnya.
"Dia ngasih tahu tentang kedatangan orang tua saya,"
Wajah Zizi langsung berubah cemas seketika, "mereka mau datang pak? Terus saya harus gimana sekarang? Kapan mereka datang?"
"Bulan depan,"
"Bulan depan??"
"Harusnya lusa, tapi karena ada sesuatu jadinya diundur,"
Wajah Zizi yang tadinya tegang menjadi lebih rileks, "syukurlah..,"
"Jangan terlalu dipikirkan,"
"Maunya sih nggak pak, tapi pasti kepikiran,"
"Siang nanti bisa jadwal saya dikosongkan?" Raka mengalihkan pembicaraan.
Otomatis Zizi membuka sebuah buku yang dari tadi ia pegang, "nanti siang sekitar jam satu ada yang bikin janji sama bapak, kalau mau dikosongin mungkin bisa sekitar jam dua,"
"Yaudah tolong kosongin,"
"Baik pak, bapak mau keluar?"
"Maurin akan kesini nanti,"
"Oh, sepupu bapak yang hamil itu?" Zizi memastikan.
"Iya, tapi dia tidak jadi hamil,"
"Tidak jadi hamil? Bagaimana bisa?" heran Zizi mendengar jawaban Raka.
"Ribet ceritanya, sudahlah kamu siapin bahan rapat, rapatnya sebentar lagi bukan?"
"Baik pak,"
"Yang benar, jangan kebanyakan pacaran,"
Zizi hanya memutar bola matanya malas keluar dari ruangan Raka tanpa ingin melawan.
*
"Raka di dalam?"
Zizi yang tadinya fokus dengan laptop dihadapannya dibuat kaget oleh seorang perempuan yang langsung bertanya tanpa basa-basi padanya.
"Maaf, mbak sudah buat janji sebelumnya?" tanya Zizi sopan.
"Nggak perlu bikin janji, dia di dalam kan?" jawab wanita itu enteng tidak begitu peduli dan ingin masuk begitu saja.
"Ini dengan Mbak Maurin ya?" Zizi memastikan sambil melirik jam disudut bawah laptop yang menunjukkan hampir jam dua siang.
"Iya,"
"Oh begitu, maaf mbak. Pak Raka sedang bertemu seseorang didalam sekarang. Sebentar lagi akan selesai, mbak boleh tunggu sebentar, jadwal Pak Raka setelah ini kosong kok, Pak Raka juga sudah memberi tahu saya kalau Mbak Maurin akan datang," terang Zizi pada Maurin.
"Ya sudah," jawab Maurin singkat langsung berbalik dan duduk pada bangku yang tersedia.
Diam-diam Zizi memperhatikan wanita yang mengenakan dress abu-abu selutut itu, tubuhnya tinggi ramping dengan wajah oval, dia memiliki raut wajah blesteran timur tengah, rambutnya hitam sepunggung, intinya dia cantik menurut Zizi.
"Bagaimana bisa perempuan secantik ini tidak dipedulikan oleh suaminya?" pikir Zizi teringat cerita Raka tentang perempuan yang tengah sibuk dengan ponselnya itu.
*
"Hey kamu sudah datang," sapa Raka saat pintunya terbuka menunjukkan seorang perempuan berambut panjang berniat masuk.
"Aku menunggu cukup lama diluar," jawab wanita itu langsung duduk dikursi ruangan Raka diikuti Raka yang juga duduk didepannya.
"Salah siapa yang datang di jam kerja?"
"Aku frustasi,"
"Suamimu masih belum pulang?"
"Aku tidak tahu kapan dia akan pulang, terlebih saat dia tahu aku sedang tidak hamil,"
"Lagian siapa yang bodoh berpura-pura hamil? Kamu gila mempermainkan kondisimu pada seseorang seperti suamimu dan keluarganya,"
Maurin mendecak, "aku tidak main-main, aku pikir aku memang sedang hamil saat itu!"
"Kamu hanya terobsesi agar suamimu kembali memperhatikanmu,"
"Tidak ada yang mengerti posisiku, aku baru kehilangan anak, dan semuanya tidak peduli, mereka hanya memikirkan bayiku tanpa peduli aku selaku ibu yang kehilangan anak,"
"Sudahlah, lagian semua masih berusaha menemukannya. Berlaku manislah pada keluarga suamimu agar hubungan kalian membaik lagi,"
"Aku mulai lelah, sudahlah jangan bahas itu lagi. Aku kesini untuk melepaskan lelah hatiku,"
"Apa yang ingin kamu lakukan?"
"Entahlah..," Maurin menyenderkan tubuh seutuhnya ke sofa yang ia duduki.
"Itu sekretaris barumu?" Maurin merubah arah pembicaraan.
"Iya, ganti yang kemarin,"
"Dari ibumu?"
"Tidak, ibu tidak tahu aku mengganti sekretaris,"
Maurin mengangguk, "pantas saja...,"
"Ada apa?"
"Gayanya berbeda, dia lebih ramah dan sederhana. Biasanya sekretarismu sebelum-sebelum ini selalu terkesan sombong dan gayanya selangit. Aku tidak tahu mungkin karena pilihan ibumu adalah orang-orang terbaik dan mereka merasa bangga dengan itu,"
Raka tersenyum simpul, "kamu menyukainya?"
"Tentu saja, tapi apa ibumu membiarkan ini? Mana mau dia orang sembarangan bekerja langsung padamu, kamu sudah pastikan sekretarismu itu sudah sesuai dengan kriteria ibumu kan?"
"Dia jauh dari kriteria ibuku,"
"Lalu bagaimana? Apa dia bekerja sementara sampai ibumu mendapatkan pengganti?" Maurin penasaran.
"Dia bekerja untukku, jadi dia harus sesuai kriteriaku, bukan kriteria ibuku,"
Maurin tertawa meledek, "maksudmu kamu akan melawan? Mustahil sekali, nanti juga kamu akan ikut apa yang ibumu katakan,"
"Aku akan menjalankan apa yang kumau sekarang,"
"Seperti saat kamu memilih Kania dan mengorbankan banyak hal? Akhirnya toh kamunya menyesal kan? Dia memilih meninggalkanmu,"
Raka menghela napas lelah sambil mengusap wajahnya sekilas, "jangan bawa-bawa gadis itu,"
"Ibumu pasti akan tertawa puas mengetahui hal ini, seorang Raka tidak pandai dalam membuat pilihan hidup," ledek Maurin sekaligus iba dengan sepupunya itu.
"Kenapa dia memutuskanmu?"
"Aku tidak tahu," jawab Raka malas seolah tidak tertarik dengan pembicaraan sekarang.
"Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Dia pasti lelah melanjutkan hubungan yang dipertentangkan oleh keluarga kalian."
"Bukankah sangat menyebalkan hubungan harus berakhir karena ikut campur keluarga? Ini memuakkan,"
"Dan dia juga pasti telah menemukan seseorang yang lebih baik darimu sehingga dengan sangat yakin menyudahi semuanya, setidaknya dia berhenti berurusan dengan keribetan keluargamu."
"Apa dia tak peduli dengan perjuanganku sebelumnya?? Apa semudah itu seorang perempuan berpaling? Aku masih belum bisa terima ini semua berakhir begitu saja," Raka terlihat emosi saat menyampaikan kekesalannya pada Maurin.
"Dari awal hanya kamu yang bersikeras, dia tidak. Kamu terlalu lambat untuk sadar, itu kelemahan seorang Raka. Langsung buta jika sudah jatuh cinta," Maurin melemparkan tatapan iba sekaligus prihatin.
"Jangan bicara seolah kehidupanmu lebih baik dariku," Raka tidak terima Maurin seolah tengah mengolok-olok kehidupannya.
"Setidaknya aku memiliki jalanku sendiri dari awal, aku menikmatinya walau itu masalah sekalipun. Aku tahu kamu tak menikmati hidupmu sama sekali,"
Raka hanya membuang pandangannya tak ingin begitu memikirkan ucapan Maurin.
"Ibumu jadi datang lusa?"
"Tidak, mungkin bulan depan,"
"Sudah tahu apa yang akan ibumu lakukan?"
"Aku tidak peduli,"
"Dia akan membawakan wanita yang harus kamu nikahi,"
Raka langsung menatap kaget Maurin, "jangan asal bicara!"
"Ibumu pasti sudah tahu hubunganmu dan Kania sudah berakhir, atau lebih tepatnya usahanya memisahkan kalian sudah berhasil. Dia akan datang membawakan wanita yang ia mau untuk menjadi menantunya," dengan yakin Maurin menyatakan pendapatnya.
"Dan dengan sempurna dia bisa mengaturku sesukanya, aku tidak akan biarkan itu!" Raka bicara dengan penuh kekesalan.
"Persiapkanlah sebelum apa yang kuakatakan benar-benar terjadi,"