BAB 16 RISAU DAN MALU

1330 Kata
"Mas, gimana Bagas, apa dia rewel?" Hampir tiap dua jam sekali Nabila menelpon cuma untuk memastikan kondisi putranya. Sejak Bagas lahir memang baru kali ini Nabila tidak tidur bersama putranya. "Bagas baru saja tidur." Terdengar suara Riko yang sepertinya juga sambil mengetik padahal sudah lewat jam sebelas malam. "Mas, masih bekerja?" "Ada sedikit revisi untuk meeting besok hari Senin." Tiba-tiba jemari Riko terhenti untuk mengetik. Entah sudah berapa lama tidak ada lagi yang bertanya seperti itu karena biasanya Novie acuh tidur jika Riko sedang lembur. Hanya Nabila yang dari dulu memperhatikan hal-hal sepele untuknya. Riko menghela napasnya yang menyesak di d**a tapi bibirnya tidak bisa berucap apa-apa dengan kondisi mereka sekarang. "Istirahatlah Nabila. Jika nanti malam Bagas bangun dan menangis mencarimu akan kuantar ke tempatmu." "Titip Bagas, Mas." Nabila menutup teleponnya. Semalaman itu Nabila juga tidak bisa tidur sama sekali. Rasanya memberikan suaminya untuk Novie tidak seberat memberikan bagas untuk menginap satu malam bersama Riko. Menjadi ibu rasanya memang sudah sangat berbeda, dalam segala hal yang diutamakan pasti akan anak terlebih dulu, yang lain bisa diabaikan. Walau pun kadang sikap Riko masih membuat kesal tapi asal dia baik pada putranya Nabila pasti akan luluh kembali. Sama seperti Riko mengenal Nabila, sebenarnya Nabila juga sudah sangat mengenal mantan suaminya dengan baik, bagaimanapun mereka sudah pernah tiga tahun menjalani hidup bersama dan saling mencintai. Riko sebenarnya tidak jahat dia hanya egois dan agak pengecut sebagai laki-laki. Ketika dulu Nabila masih menjadi istrinya, dia juga sudah terbiasa memaklumi semua sifat Riko, Nabila hanya tidak bisa memaklumi perselingkuhan yang dilakukan Riko. Tapi setelah tadi mendengarkan nasehat dari Sunan, Nabila juga jadi berpikir jika apa yang dikatakan pria itu ada benarnya dan tidak tahu kenapa ketika memikirkan Sunan tiba-tiba Nabila jadi tanpa sadar meraba dadanya sendiri. Seharusnya Nabila tidak merasa seperti ini hanya karena memikirkan laki-laki yang baru dia kenal beberapa hari. Malam ini sepertinya kan jadi semakin panjang untuk Nabila dan menggelisahkan. ****** Pagi-pagi Sunan sudah kembali mengirim pesan menanyakan kabar Nabila pagi ini, seolah mereka balik menjadi anak remaja yang cuma sekedar ingin mengirim pesan sepele. [Lagi buatin bubur untuk ibu Mas. Mas Sunan lagi ngapain?] balas Nabila. [Baru jemputin Abang Azil dari rumah ibu, mereka baru balik dari Bandung.] Sebutan Sunan untuk putranya. Sebuah file foto juga Sunan kirim kepada Nabila. Sunan Mengirim foto dirinya bersama anak laki-laki kecil sekitar tiga tahun yang sedang duduk di pangkuannya. Mungkin maksud Sunan untuk memperkenalkan putranya, tapi mustahil jika Nabila tidak jadi ikut memperhatikan bapaknya. Mereka berdua masih berada di dalam mobil, Sunan juga terlihat santai tapi ternyata Nabila malah tidak berani berlama-lama memandanginya. Nabila benar-benar malu karena ingat dirinya sekarang adalah seorang ibu. Sunan memang sangat tampan, bahkan ketika hanya memakai baju rumahan yang santai. [Abang Azil mau ikut jalan-jalan sama Tate Nabila] pesan yang kembali dikirim Sunan. Nampaknya Sunan juga pandai mendekati wanita. [Tentu Sayang ... ] Nabila menambahkan emoji kiss untuk anak laki-laki di ujung pesannya. Dua emoji kiss balik di dapat oleh Nabila. Benar-benar cuma emoji, tapi menggelikannya Nabila jadi deg-degan dan malu pada dirinya sendiri karena tahu yang mengetik Sunan bukan putranya yang baru tiga tahun. "Kenapa kau terus tersenyum Nabila?" Nabila terlonjak kaget dengan kemunculan Bang Togar yang tiba-tiba sudah berada di pintu dapur. "Nabila tidak dengar suara mobil Abang datang." Nabila pura-pura celingukan. "Bagaiman kau bisa dengar jika mengaduk bubur saja sambil mengetik pesan!" Bang Togar langsung masuk mengulurkan bungkusan yang dia bawa pada Nabila. "Rendang buatan kakakmu, tinggal dipanasi lagi karena bikinnya sudah kemarin." Maksud Bang Togar buatan istrinya, kakak ipar Nabila. "Makasih Bang." "Di mana Bagas?" Bang Togar ikut celingukan karena biasanya anak laki-laki itu langsung minta gendong jika tahu dia datang. "Bagas sedang menginap di rumah Riko." Bang Togar langsung terlihat kaget. "Tumben, ada angin apa dia ingat anaknya?" "Kemarin Riko yang jemput ke rumah." "Kau yakin tidak akan rujuk dengannya?" Bang Togar langsung curiga. "Gak Bang, mana mungkin!" tegas Nabila. "Kupikir kau tadi senyum-senyum karena laki-laki pengecut itu merayumu lagi!" "Bukan Bang!" Nabila juga buru-buru menolak tuduhan abangnya. "Awas kalau kau sampai mau balikan sama laki-laki model seperti itu!" Bang Togar terus mewanti-wanti adik perempuannya. "Sungguh Bang, gak mungkin Nabila mau balikan lagi sama Riko!" "Trus, siapa itu tadi yang membuatmu senyum-senyum?" Bang Togar sepertinya masih penasaran. "Cuma si Moy ngajakin becanda," Nabila berbohong. "Moy temanmu SMA dulu?" Bang Togar masih ingat. "Ya, Bang. Sekarang Nabila juga kerja di salon milik Moy." "Sampaikan salam Abang buat Moy." Bang Togar langsung percaya karena dari dulu Moy memang paling rame dan lucu, bahkan Moy pernah naksir Bang Togar. Waktu Nabila dan Moy masih SMP, Bang Togar sudah jadi primadona kampus. Banyak cewek yang naksir Bang Togar termasuk Moy yang memang sejak anak-anak sudah punya bibit kecentilan. "Ehm, Nabila!" tiba-tiba Bag Togar kembali berpaling. "Ada teman Abang mau kenalan sama kamu, apa kau mau?" "Ah, Abang apaan!" acuh nabila mengibaskan telapak tangannya yang baru dia gunakan untuk mengicipi kuah bubur. "Sebenarnya atasan Abang di kantor, duda belum punya anak, usinya juga baru tiga puluh lima tahun." "Nabila belum mau cari jodoh Bang!" tegas Nabila dengan nada langsung nyolot. "Kenalan aja dulu, siapa tahu cocok buat jadi bapaknya Bagas," canda Bang Togar buat sengaja godain adiknya yang baru jadi janda muda. "Bagas masih punya bapak, Nabila gak mau buru-buru." "Ingat, ya! jangan sampai kau balikan lagi sama si Riko terkutuk itu!" Bang Togar benar-benar masih memiliki dendam kesumat pada mantan suami Nabila. "Enggak Bang, gak mungkin!" Tiba-tiba nada panggilan telepon Nabila berbunyi dan muncul nama Sunan di layar ponselnya. Nabila tidak berani mengangkat telepon tersebut karena masih ada Bang Togar. Nabila sengaja biarkan nada berisik itu berhenti sendiri. Sunan kembali menelepon beberapa akali lagi sampai Bang Togar curiga karena Nabila terus membiarkan ponselnya teriak-teriak. "Kenapa tidak kau angkat itu telepon?" "Cuma Moy, Bang, aku masih sibuk!" teriak Nabila dari dapur. Nabila juga cemas karena Bang Togar tidak pulang-pulang sampai hampir lewat tengah hari padahal Nabila ada janji keluar dengan Sunan. Nabila benar-benar malu jika sampai ketahuan Bang Togar dia sedang dekat dengan laki-laki, apa lagi jika Bang Togar sampai tahu mereka kenal dari grup perjodohan. Mampus lah Nabila jika Sunan datang dan Bang Togar belum pulang. Sudah hampir jam setengah dua ternyata Bang Togar masih asik ngobrol sama papa mereka di teras. Nabila sudah mondar-mandir di kamarnya dengan pikiran tidak tenang. Nabila juga tidak bisa tiba-tiba memberi tahu Sunan untuk membatalkan janji mereka. Baru kali ini Nabila terus berdoa agar abangnya buru-buru pergi dan baru saja Nabila selesai berdoa tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di halaman. Sepertinya Tuhan sedang tidak mengabulkan doa Nabila. Nabila tahu itu mobil Sunan. "Nabila ada yang mencarimu!" panggil Bang Togar beberapa saat kemudian. Terpaksa Nabila keluar juga dari kamarnya seperti anak perawan yang masih malu-malu di datangi laki-laki. Nabila melihat Sunan sedang mengobrol dengan Bang Togar dan papa Nabila di kursi teras. Sunan sudah berpakaian rapi, terlihat segar dan tampan. Anehnya mereka tidak sengaja sama-sama memakai kemeja berwarna biru gelap. "Baru tahu Abang kalau kau dari tadi sedang dandan di dalam kamar." Nabila sudah sangat malu ketahuan di datangi laki-laki dan Bang Togar masih tega menyindir penampilannya. "Mas Sunan sudah dari tadi?" Nabila pura-pura bertanya untuk basa-basi mengabaikan godaan abangnya. "Baru saja sampai." Sepertinya papa Nabila dan Bang Togar senang melihat sopan santun Sunan, jadi tidak terlalu masalah tapi Nabila tahu jika Bang Togar tidak akan tinggal diam saja setelah ini. Pasti Bang Togar akan segera membuat daftar pertanyaan yang lebih panjang dari daftar belanjaan dapur selam satu bulan. "Nabila jalan dulu, Pa." Nabila mencium punggung tangan papanya kemudian Bang Togar bergantian. "Kami jalan dulu Bang," kali ini yang berpamitan Sunan. Nabila benar-benar masih bingung untuk memilah dari mana saja sumber rasa malunya, apa lagi ketika kemudian Sunan menggandeng tangannya sampai diajak masuk ke dalam mobil. "Di mana putra Mas Sunan?" tanya Nabila setelah dia duk-duk di dalam mobil dan cuma ada mereka berdua. "Tadi ada keponakan mampir ke rumah dan Azil malah merengek mau ikut mereka ke Ancol." Tanpa perlu dibahas lagi Nabila juga sudah tahu jika mereka cuma akan pergi berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN