BAB 15 MASALAH SETIAP PASANGAN

1388 Kata
Moy dan Nabila berjalan di parkiran saat tidak sengaja bertemu Dito, mantan suami Moy. "Moy!" panggil Dito yang kelihatannya baru tiba dan langsung berjalan cepat menyebrangi halaman parkir. "Aduh, ngapain juga kita ketemu laki-laki ini!" desis Moy. "Siapa?" Nabila menoleh pada sahabatnya yang terlihat kesal. "Dito mantan suamiku." Meski Moy sudah sering bercerita tapi, memang baru kali ini Nabila melihat mantan suami Moy. Dito masih muda, perawakannya tinggi dan tampan. "Jangan coba terus menghidariku!" tuduh Dito begitu mereka lebih dekat. "Jangan harap aku mau ngasih uang ke kalian lagi!" tolak Moy. "Itu uang sewa yang harus kau bayar sesuai kesepakatan!" "Itu rumahku sendiri, kau tidak ikut membelinya sepeserpun! Untuk apa aku harus membayar sepuluh juta sebulan! Kau mau memerasku?" lantang Moy tidak mau kalah. "Selama sidang pembagian gono-gini kita belum selesai sesuai kesepakatan kau harus tetap membayar uang sewa untuk rumah yang kau tempati!" Selain tidak mau mengalah Dito juga tidak tahu malu untuk minta uang dari mantan istrinya. Benar-benar muka tembok karena pertengkaran mereka juga ikut di dengarkan oleh orang lain bukan hanya Nabila. "Ingat sudah dua bulan kau tidak mentransfer apa-apa!" "Hai laki-laki! Ajak istri barumu itu bekerja lebih keras biar tahu kalau hidup gak cukup cuma makan cinta! Aku yang bekerja kalian berdua yang enak-enakan bercinta. Ini kenyataan bukan drama remaja percintaan kalian!" Moy ingat ketika dirinya bekerja banting tulang untuk mengembangkan bisnisnya, Dito malah selingkuh dengan asisten serta sahabat Moy sendiri. "Laki-laki harus kerja lebih keras apa Kau kira wanita akan kenyang hanya dengan kau jejali pe*ismu yang mengeras!" mulut Moy mulai tidak punya saringan jika sudah mulai emosi. "Jangan pikir aku tidak tahu kau juga tidur dengan banyak laki-laki seperti janda gatal!" "Itu bukan urusanmu!" desis Moy semakin sadis. "Atau jangan-jangan duitmu habis untuk laki-laki yang tiap malam menunggangimu?" Nabila coba menarik lengan Moy yang ingin maju mencakar mantan suaminya. "Sama sekali bukan urusanmu, mau kuhabiskan untuk apa duitku! Mau aku pakai utuk membeli pe*is laki-laki yang tiga kali lipat lebih besar dari pe*ismu juga bukan urusanmu!" Nabila benar-benar tidak habis pikir bagaimana dua orang yang dulu pernah saling mencintai bisa sampai bertengkar seperti ini. "Sudah Moy, ayo pergi." Nabila menarik sahabatnya yang mulai ikut jadi tontonan di parkiran, apalagi mulut Moy juga tidak pernah di pasangin filter ketika menyebut organ jantan laki-laki. Moy terus Nabila tarik untuk masuk ke dalam mobil meski dia masih ingin me cakar Dito. "Aku akan tetap melaporkan kemangkiranmu!" ancam Dito ikut didengar oleh banyak orang tapi tetap pasang muka tembok. "Jadi laki-laki jangan cuma punya kemaluan tapi tidak tahu mau minta uang dari wanita!" Moy terus menunjuk Dito dengan bibir berdesis-desis. Sebagian orang yang menonton pertengkaran mereka mulai saling berbisik dan Nabila mendorong Moy masuk ke dalam mobil. "Dasar laki-laki b******k!" umpat Moy sambil mencengkeram kepalanya. "Jangan sampai kau dapat suami kere seperti itu!" Setiap kebencian seseorang sering kali memang didasari oleh pengalaman pribadinya. "Asal kau tahu saja, aku sedang meeting dengan rekan bisnis dan kebetulan produk sampelku ketinggalan di mobil. Ketika aku buru-buru balik ke parkiran Dito sedang menyuruh SPG yang aku sewa untuk menelan pe*isnya di dalam mobil kami. Setelah ku selidiki ternyata ternyata dito juga rajin mengajak gadis-gadis muda itu shoping, nembelikan gelang dan ciccin mengunakan uangku. Sialan memang itu laki-laki!" Moy mulai menghidupkan mesin mobilnya untuk meninggalkan area parkir. "Parahnya ketika aku memeriksa semua rekaman CCTV yang diam-diam kupasang di area rumah kami, ternyata Dito juga sering meniduri asistenku, mengajaknya tidur di kamarku saat aku di luar kota. Bahkan pengurus rumah tanggaku disetubuhinya di sofa dan di meja dapur rumah kami. Dasar playboy gayung! apapun yang ikut terserok bakal dia embat!" "Sebaiknya jangan kau ingat-ingat lagi semua itu, karena dia sendiri yang tidak sehat jangan jadikan dirimu ikut sakit seperti dia!" Nabila coba menasehati karena berkaca pada dirinya sendiri yang pilih tidak mau lagi mengingat-ingat Riko. "Kau benar, aku memang sangat marah ketika sahabatku sendiri juga tega tidur dengan suamiku." "Asal jangan rusak dirimu sendiri." Nabila sendiri juga sedang memiliki masalah, semua orang memiliki masalah masing-masing, tapi tindakan yang benar akan tetap benar meski belum tentu bisa selalu dijalankan. Tiba-tiba Nabila mendapat SMS banking, dana sepuluh juta masuk ke rekeningnya dari Riko. [Terima kasih Mas] Nabila mengirim pesan pada mantan suaminya. [Itu untuk putra kita] Biasanya Riko hanya menyebut nama Bagas, kali ini tumben dia memakai istilah 'putra kita'. [Ya] Jawab nabila dengan singkat sambil masih memperhatikan pesan yang baru di kirim Riko. Moy mengantarkan Nabila pulang sampai di depan rumahnya tapi tidak mampir karena sudah sore. "Sampaikan salamku untuk papamu." "Ya." Nabila melambai pada Moy yang langsung kembali menjalankan mobilnya setelah di turun. "Di mana Bagas, Pa?" tanya Nabila begitu masuk kedalam rumah dan sepi-sepi saja, padahal biasanya Bagas yang paling rame jika bundanya pulang dari manapun apa lagi kali ini Nabila juga membawakan kue dari Elice. "Tadi Bagas di jemput Riko, Papa pikir dia sudah ngasih tahu kamu." "Apa?" Nabila langsung terkejut. Nabila segera menelpon Riko dengan jemarinya yang gugup, tapi untung Riko segera mengangkat teleponnya. "Apa Mas Riko jemput Bagas?" "Ya, Bagas sedang bersamaku di rumah." "Kenapa Mas gak bilang aku dulu." Nabila memang masih sangat terkejut dengan Riko yang tiba-tiba menjemput putra mereka. "Tadi aku ke rumah orang tuamu dan kau yang tidak ada di rumah padahal kupikir hari Sabtu kau sedang libur." "Kenapa Mas tidak menelepon?" rasanya Nabila masih tidak terima anaknya dibawa begitu saja. "Kalau aku menelpon apa kau tidak akan memberiku ijin?" Riko pura-pura bertanya. "Bukan begitu maksudku, paling tidak aku tahu kalau Mas Riko mau menjemput Bagas." "Bukankah sekarang kau juga sudah tahu." "Iya, tapi... " tiba-tiba Nabila bingung. "Tidak apa-apa jika sesekali Bagas tinggal bersamaku. Bukankah seperti ini yang kau inginkan? Kita tetap mebesarkan bagas bersama-sama." Tiba-tiba ucapan Riko terdengar bijak dan malah jadi aneh di telinga Nabila. "Bagaimana Mas bisa ngurusin bagas sendiri, Mas masih harus kerja." Nabila coba mencari-cari alasan. "Sabtu- Minggu ini saja Bagas bersamaku mumpung aku sedang libur nanti malam senin aku kembalikan atau kau yang mau menjemputnya ke rumah." "Apa Novie tidak masalah?" Nabila tetap sangat khawatir karena tahu Novie tidak menyukainya apa lagi putra mereka. "Novie sedang pulang ke rumah ibunya di Sukabumi, jadi biarkan bagas menemaniku." "Apa Mas masih ingat berapa takaran susunya dan jam berapa dia harus ganti popoknya?" "Tenanglah Nabila, Bagas juga anakku, aku juga ikut mengurusnya dari bayi." Nabila sadar memang hak Bagas untuk sesekali tinggal bersama papanya tapi tidak tahu kenapa rasanya seperti tetap ada yang tidak benar. Nabila belum sadar jika sebenarnya Riko sedang cemburu dan tadi ketika papa Nabila memberitahu Nabila sedang keluar dengan teman, Riko pikir Nabila keluar dengan teman laki-laki. Jadilah Riko langsung terpikir untuk membawa Bagas. Malam harinya Sunan menelpon karena Nabila belum membalas pesannya sejak sore meski centangnya sudah biru. Kemarin Nabila sudah memberi tahu jika dia pergi bersama Moy hari Sabtu jadi Minggunya mereka bisa pergi bersama anak-anak. "Aku cuma ingin memastikan bagaimana rencana kita besok?" "Ya, Mas. Mas tadi bilang apa?" Nabila malah balik bertanya seperti orang yang sedang linglung kurang konsentrasi. "Kenapa kau Nabila? apa kau lelah dan aku mengganggumu?" "Tidak Mas, tidak seperti itu, aku hanya sedang kepikiran Bagas." "Memangnya kenapa dengan Bagas apa dia sakit?" "Tidak, Bagas cuma sedang menginap di tempat papanya dan sepertinya aku belum terbiasa," Nabila bicara jujur. "Apa aku boleh memberimu nasehat, Nabila." "Ya." Nabila segera menegakkan punggungnya meski tahu Sunan tidak bisa melihat reaksinya tapi Nabila memang terkejut. "Sebenarnya Moy sudah bercerita mengenai kasus perpisahan kalian" "Maaf Mas." "Kau tidak perlu minta maaf padaku." "Maaf, aku benar-benar sedang tidak bisa berpikir." "Aku mengerti Nabila, karena itu dengarkan aku." Sunan masih bicara dengan sangat tenang. "Dikhianati pasangan memang sangat menyakitkan tapi jauh lebih menyakitkan lagi jika di tinggalkan pasangan pergi untuk selama-lamanya." Tiba-tiba d**a Nabila ikut berdenyut mendengarkan ucapan Sunan. "Jika suamimu berselingkuh paling tidak putramu masih punya ayah. Tidak seperti anak-anakku yang sudah tidak punya ibu dan tidak bakal bisa melihat ibunya lagi." "Mas ... " desah Nabila dari ujung telepon dan bibirnya tergagap tanpa bisa mengucapkan apa-apa. "Bagiku jauh lebih baik dikhianati dari pada ditinggalkan pergi untuk selama-lamanya, karena jika dia mengkhianatiku paling tidak aku juga masih bisa melihatnya hidup bahagia dengan orang lain." Tanpa sadar Nabila malah meneteskan air mata mendengar nasehat Sunan. Bisa Nabila bayangkan sebesar apa cinta Sunan kepada mendiang istrinya dan hal itu bukan cinta yang salah. "Apa tidak apa-apa besok sore kita tetap jalan-jalannya Mas? ajak putra mas Sunan." "Ya, tentu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN