Seorang pria paruh baya dengan jas mewah dan cincin batu hijau di jarinya melangkah maju. Senyumnya tipis, tetapi matanya berputar meneliti Tiara dari atas sampai bawah. Ia mengangkat gelas sampanye, lalu mencondongkan tubuh seolah ramah. “Istri yang memesona, Tuan Abimana. Boleh saya menyentuh tangannya sebentar sebagai bentuk penghormatan?” Tiara refleks mundur setapak. Pipinya memanas oleh tatapan tamu lain yang jelas menunggu adegan berikutnya. Ia melirik Abimana, berharap ada perlindungan, meskipun dalam hati ia muak karena sejak tadi dipajang seperti barang pameran. Pria itu tidak menunggu jawaban. Dengan santai, ia meraih jemari Tiara. Sentuhannya licin dan menjijikkan. Tepat saat itu, tangan Abimana bergerak cepat, mencengkeram pergelangan pria itu keras sekali hingga terdengar

