Kondisi Yang Berantakan

1047 Kata
Tiara pulang dengan tubuh seperti tanpa tulang. Kepalanya penuh tekanan, matanya berat, dan pikirannya seakan tak sanggup lagi membedakan antara mimpi buruk dan kenyataan. Tapi semuanya makin kacau saat ia tiba di depan unit apartemennya. Pintu terbuka. Beberapa barang miliknya. Koper, kardus, tas, bahkan pakaian. Tergeletak di lorong. Ia langsung berlari. “Apa-apaan ini?!” teriaknya kesal. Sang pemilik apartemen berdiri di ambang pintu, wajahnya datar, tanpa rasa bersalah. “Gue udah kasih waktu cukup, Tiara. Kondisinya darurat. Tempat ini harus dikosongin sekarang.” Tiara membelalak. “Tapi masih ada dua hari lagi! Kita udah sepakat! Gue belum telat bayar sewa juga, kan?!” “Bukan soal itu. Ini urusan pribadi dan mendesak. Gue kasih lo waktu sampai malam ini buat bersihin semua barang lo dari sini.” “Lo gila,” desis Tiara dengan suara tercekat. “Lo tahu gue nggak punya tempat tinggal sekarang. Gue belum nemu unit pengganti!” Pemilik apartemen tak bergeming. “Bukan urusan gue, Tiara. Gue minta lo selesaikan ini hari ini juga.” Tiara nyaris melempar sesuatu ke wajah pria itu, tapi tangannya gemetar. Ia menunduk menahan air mata yang nyaris tumpah. Beberapa penghuni lain melongok dari pintu, ada yang menatap kasihan, ada pula yang hanya kepo. Ia masuk, melihat barang-barangnya sudah tak karuan. Beberapa kardus dibuka, sebagian isi lemari sudah diangkat dan dibanting sembarangan ke atas tempat tidur. Gila. Ini benar-benar gila. Dengan napas terengah, Tiara mulai memilah satu per satu barang-barangnya. Ia menelpon jasa ojek online, menyewa mobil dadakan, dan mulai memindahkan koper, tas, serta semua kardus miliknya dengan tubuh yang sudah tak sanggup berdiri tegak. Sambil menyeka keringat, Tiara menyumpahi semua orang dalam hidupnya hari ini. Termasuk Abimana. CEO gila itu seperti kutukan. Dan sialnya, sejak dia masuk dalam hidupnya, semuanya jadi berantakan. Tiara menyeret koper dengan satu tangan dan menggandeng tas selempangnya dengan tangan lain. Langkahnya lelah, napasnya tersengal. Malam begitu dingin, tapi tubuhnya panas oleh campuran marah dan kecewa. Dia berjalan menuju jalan utama untuk mencari taksi. Sudah tak ada niat lagi menelepon mobil online, karena pikirannya terlalu kacau untuk berpikir jernih. Dia hanya ingin pergi, sejauh mungkin dari tempat itu, dari semua kekacauan hidupnya malam ini. Lampu jalan remang, udara lembap menusuk kulit. Tiara berdiri di pinggir trotoar, memandangi jalan kosong sambil menggigit bibir menahan isak. Tapi sebelum ia sempat melambai ke taksi yang baru saja muncul di ujung jalan, suara kasar terdengar dari belakang. “Hei, cantik. Malam-malam begini bawa koper? Jalan sendirian?” Tiara membalikkan badan dengan cepat. Tiga pria asing berdiri di belakangnya, tubuh mereka tinggi dan sikap mereka jelas tidak bersahabat. Salah satu dari mereka mengenakan hoodie kusam, tangan di saku celana. “Ada perlu apa lo?” tanya Tiara, mencoba tetap tegar. “Kita Cuma mau bantu, kok. Tas lo itu berat, kan? Kita bantu bawa,” ujar yang satunya lagi sambil nyengir, matanya menelusuri tubuh Tiara dari atas sampai bawah. Tiara mundur satu langkah. “Gue nggak butuh bantuan! Pergi sana!" Pria bertubuh besar maju satu langkah, menyeringai. “Kalo gitu, kasih aja barang berharga lo. Supaya kita cepet pergi.” “Gue bilang pergi!” Tiara mencengkeram tasnya erat-erat. Salah satu dari mereka langsung menariknya dengan kasar. Refleks, Tiara menendang keras ke arah lutut pria itu. Dia terhuyung, mengumpat, sementara Tiara mencoba lari sambil tetap menarik koper besarnya. Tapi dua lainnya langsung mengejar. Salah satu berhasil menarik rambutnya dari belakang, membuat Tiara menjerit dan terjatuh. Ia melawan dengan menggigit tangan pria itu sekuat tenaga, lalu menendang ke arah s**********n. “Aaargh! Dasar jalang!” ** Tiara merangkak bangkit, tapi pria satunya lagi lebih cepat. Tangannya mencengkeram lengan Tiara, menyeretnya kasar ke dinding bangunan terdekat. “Lepasin gue!” teriak Tiara. Dia menendang, memukul, tapi kekuatan mereka terlalu besar. Salah satu dari mereka menahan tubuhnya dari belakang, sementara dua lainnya mulai membongkar koper dan tasnya, mengambil dompet, ponsel, dan barang lain. Tiara terus berteriak, berharap ada yang mendengar, berharap ada siapa pun yang bisa menolong. Tapi jalan itu sepi. Tidak ada orang. Tidak ada satu pun. Dalam kepanikan itu, dadanya sesak. Kepalanya terasa ringan, nyaris pingsan. Tapi ia terus menendang, menggeliat, melawan sebisa mungkin. “Dasar keras kepala!” hardik salah satu dari mereka sambil memukul bahu Tiara. Tiara terbatuk pelan, tubuhnya terhempas ke aspal kasar. Suaranya serak karena terus berteriak, tapi tidak ada yang datang. Satu-satunya yang terdengar kini hanya tawa keji dari para preman yang sedang membagi barang-barangnya seolah itu bukan milik siapa pun. Tubuhnya lunglai. Ia menggigit bibir bawah, menahan sakit yang menyebar dari lengan dan pinggangnya. Namun saat ia mencoba merangkak menjauh, suara langkah berat bergema pelan dari ujung gang. Tak ada satu pun dari mereka yang memperhatikan saat sosok tinggi dalam balutan jas gelap itu muncul dari balik bayangan. Langkahnya lambat, tenang. Nyaris tidak terdengar. Wajahnya sebagian tertutup bayangan topi, tapi sorot matanya dingin. Tanpa suara, ia menghampiri preman yang paling dekat dengannya—lalu menghantam tengkuk pria itu dengan keras menggunakan siku. Dentuman tulang yang retak terdengar jelas. Pria itu roboh seketika. Dua preman lainnya menoleh cepat. “Siapa lu?!!” Namun mereka tak sempat bergerak lebih jauh. Abimana meraih batang besi di dekat tumpukan sampah dan mengayunkannya tanpa ampun ke lutut salah satu dari mereka. Jeritan nyaring terdengar, bersamaan dengan tubuh yang terjatuh dengan lutut tertekuk aneh ke arah yang salah. “Bangsatt! Mati lu!” teriak preman terakhir yang mencoba menyerangnya dengan pisau lipat. Namun gerakan pria bersetelan jas itu jauh lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan si penyerang, memutarnya sampai terdengar bunyi patah, lalu menghantamkan kepala pria itu ke dinding berkali-kali hingga tubuhnya jatuh tak bergerak. Tak ada suara. Hanya napas kasar dan darah yang mengalir pelan di sepanjang lantai gang sempit itu. Setelah memastikan ketiganya tak lagi sadar, Abimana berdiri tenang, menarik napas dalam, lalu mengeluarkan sapu tangan putih dari sakunya untuk membersihkan noda darah di jemarinya. Tiara masih terbaring, tak menyadari semua itu terjadi di belakangnya. Pandangannya buram. Napasnya tersengal, dan tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. Pria itu berjalan mendekat, berdiri di belakang Tiara yang mulai kehilangan kesadaran. Ia menatap tubuh ringkih itu beberapa detik. Tatapannya berbeda dari tadi, ada satu sisi dalam dirinya yang tak biasa ia biarkan muncul ke permukaan. Abimana merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan menekan nomor cepat. “Bawa mobil. Lokasi dikirim. Dan pastikan tak ada satu pun yang masih hidup.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN