Aku Bersedia

1033 Kata
Tiara merintih pelan. Tubuhnya tergeletak di sudut trotoar, di antara koper terbuka dan barang-barang yang tercecer. Bahunya berdenyut nyeri, dan matanya mulai kabur oleh air mata serta darah yang mengalir dari pelipis. Napasnya tersengal. Dia menggigil. Bukan hanya karena dingin, tapi karena ketakutan dan rasa putus asa yang mulai menelan seluruh kewarasannya. Dia mencoba bangkit tapi gagal. Setiap gerakan kecil membuat nyeri menjalar dari bahu ke seluruh lengan. Kepalanya terasa berat. Dunia seperti berputar. Langkah kaki terdengar dari kejauhan. Pelan tapi mantap. Lalu aroma maskulin yang familiar menguar. Wangi yang melekat di setiap ruangan kerja Abimana. Sosok itu mendekat, berjongkok perlahan di hadapannya. Tiara membuka matanya yang hampir terpejam. Dia mendongak dengan sisa tenaga, dan mendapati sosok tinggi dalam balutan jas gelap berdiri di hadapannya. “Pak Abimana?” Tatapan tajam itu melunak sesaat melihat kondisi Tiara. Pria itu mengangkat tangan, menyentuh pipi Tiara yang basah oleh air mata dan bercampur darah. Sentuhannya dingin, namun terasa nyata di tengah segala kehancuran. “Kamu kenapa bisa kacau begini, Tiara?” ucapnya pelan, tapi tetap terdengar jelas di antara deru napas berat Tiara. Tiara menahan isak. Tubuhnya gemetar. Mulutnya ingin bicara tapi tak ada suara keluar. Abimana menatapnya lama, lalu mengusap rambut yang menempel di wajah Tiara. “Tiara, saat begini apa kamu masih keras kepala?” Tiara menggertakkan gigi, air matanya semakin deras. “Apa maksud lo! Pergi dari sini,” ucapnya lirih. Abimana tersenyum kecil. Bukan senyum sinis, tapi seperti seseorang yang sudah tahu arah permainan sejak awal. Ia lalu mengambil dompet dari saku jasnya, mengeluarkan selembar cek dan menyodorkannya ke hadapan Tiara. Cek yang sama. Nilainya masih satu milyar. “Tiara, tinggal bersama saya. Cek ini untuk kamu. Semua penderitaan kamu akan terselesaikan.” Tiara menatap cek itu dengan mata basah. Tangannya tak terangkat. Ia hanya bisa menatapnya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Wajah yang terlihat terlalu tenang di saat seperti ini. Pria gila. Pria arogan. Pria yang telah mengacaukan segalanya. “Kenapa lo malah muncul saat gue udah hampir mati begini,” gumamnya sambil mengatupkan bibir rapat. "Lo pikir gue gila, Pak..." "Pergi dari sini, gue mohon ...." Abimana tidak menjawab. Ia hanya menatap perempuan itu dengan wajah sulit ditebak. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, ia menyelipkan cek itu ke dalam genggaman tangan Tiara yang dingin. “Anggap ini bukan tawaran, tapi penyelamatan.” Tiara tidak menjawab. Air matanya terus mengalir. Dunia di sekelilingnya memudar, dan yang tersisa hanya rasa sakit dan tangan hangat yang menggenggam jemarinya dengan lembut. Tiara perlahan membuka mata. Ruangan asing yang mewah dan luas menyambut pandangannya. Dinding putih bersih, langit-langit tinggi, dan aroma lavender samar menyebar dari diffuser di sudut ruangan. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna abu-abu yang terasa lembut di kulit, bukan miliknya. Beberapa plester menempel di pelipis, lengan, dan bahunya. Tubuhnya masih terasa nyeri. Ia mencoba bangun, tapi rasa sakit di pundaknya membuatnya terhenti. Baru saja ingin mengangkat tubuh, suara langkah masuk membuatnya menoleh. Abimana melangkah masuk dengan tenang, mengenakan pakaian rumah serba hitam yang tetap terlihat rapi. Ia menghampiri ranjang dan duduk di sisi tempat tidur. “Masih ingin pergi?” Suara itu membuat Tiara terkejut. Ia menatap laki-laki itu tajam, rahangnya mengeras. “Apa yang Anda lakukan? Kenapa saya ada di sini?” “Kamu pingsan. Di jalan. Luka di pelipismu cukup dalam dan bahumu tampaknya mengalami trauma. Saya tidak punya pilihan selain membawamu kemari.” Tiara menarik napas cepat, mencoba mengingat. Samar-samar ia ingat preman, pukulan, rasa sakit yang menyambar. Kepalanya terasa berat. “Saya tidak minta diselamatkan.” “Saya tahu. Kamu tidak akan berterima kasih, dan saya juga tidak menunggu itu. Tapi kamu tetap saya selamatkan.” Tiara ingin membalas, tapi kata-kata tak kunjung keluar. Lelaki itu terduduk di sisi ranjang, memandangi wajahnya yang masih pucat. Ia tidak menunjukkan senyum, tidak juga amarah, hanya tatapan dingin yang samar menyimpan kegelisahan. “Kamu bisa tinggal di sini selama kamu mau. Atau kalau kamu tetap ingin pergi, saya tidak akan menghentikan. Tapi kamu tahu kondisi kamu tidak akan memungkinkan untuk ke mana-mana sekarang.” Tiara mengalihkan pandangan, dadanya sesak. Rumah ini terlalu mewah, terlalu sunyi, dan terlalu jauh dari segala yang pernah ia anggap normal. “Saya tidak butuh dikasihani.” “Dan saya tidak pernah berniat mengasihanimu. Tapi tubuhmu berdarah, kamu sendirian, dan kamu tidak tahu harus pergi ke mana. Saat itu, saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan.” Tiara menutup mata, menahan airmata yang hendak jatuh lagi. Kelelahan, ketakutan, rasa malu dan marah bercampur jadi satu. Tiara menunduk. Rasa nyeri di tubuhnya membuat napas tersengal. Pikirannya kacau, seperti benang kusut yang tak bisa diurai. Semua pintu tertutup. Ia kehilangan uang, kehilangan ponsel, dan bahkan tempat tinggal. Tubuhnya pun terasa remuk, bahunya ngilu, pelipisnya perih, dan ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup besok pagi. Hening mendesak di antara mereka. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menahan tangis sekuat tenaga, tapi suara gemetar dari bibirnya tak bisa lagi disembunyikan. Satu-satunya hal yang tertinggal hanya kehendak untuk bertahan. Tapi bahkan itu kini terasa tipis, nyaris tak ada. “Aku...” Suaranya serak. Ia menelan ludah, lalu mencoba mengatur napas yang masih berat. “Aku bersedia.” "Kamu bilang apa, Tiara?" "A-Aku bersedia!!" tegas Tiara, ia lalu meringis mencengkeram telapak tangannya sendiri. Pria di hadapannya menatap lekat. Tidak ada senyuman, tidak juga tatapan penuh kemenangan. Hanya ketenangan. Tapi ada sesuatu yang dalam dari sorot matanya, sesuatu yang tak bisa Tiara baca. Tiara memejamkan mata sejenak. “Tapi jangan pernah kira aku melakukan ini karena takut atau menyerah. Aku cuma nggak mau mati konyol.” Tak ada respons cepat dari pria itu. Ia hanya mengangguk perlahan, lalu berdiri. Langkahnya tenang, tubuh tegak, dan aura mengintimidasi yang biasa ia bawa kini sedikit meredup. Ia meraih selimut lalu menariknya pelan, menutupi tubuh Tiara hingga ke bahu. “Mulai hari ini, kamu tinggal di sini. Semua kebutuhanmu akan saya urus. Tapi saya harap kamu menepati bagianmu dari kesepakatan,” ucapnya datar, tapi tak terdengar mengancam. Tiara hanya menatap langit-langit, mengumpulkan sisa tenaga untuk tidak menangis lagi. Ia tidak tahu seperti apa hidup ke depan. Ia hanya tahu satu hal, ia terpaksa masuk lebih jauh ke dalam dunia pria ini, dan mungkin, ia takkan pernah bisa keluar lagi. "Please, siapapun, bilang kalau ini cuman mimpi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN