Tiara duduk di ujung tempat tidur sambil menatap layar ponsel barunya. Jari-jarinya gugup menari di atas keyboard virtual. Ia mengetik satu kata kunci yang tak pernah ia bayangkan akan dicari, terapi disfungsi ereksi secara alami.
Berbagai artikel terbuka. Ia membaca cepat. Tentang sentuhan, keintiman non-seksual, latihan pernapasan, hingga stimulasi visual. Beberapa membuat pipinya memanas. Beberapa lagi membuat tubuhnya berkeringat. Tapi ia terus menekankan dalam pikirannya, ini demi kesehatan. Demi Abimana kembali normal. Demi dirinya bisa terbebas tanpa harus menyerah total.
Ia mengetuk pintu ruang kerja pria itu. Abimana menoleh dari balik meja, menatap Tiara dengan pandangan terlalu intens.
“Ada yang ingin saya diskusikan,” ucap Tiara sambil meletakkan beberapa lembar kertas.
Abimana mengamati. “Perjanjian?”
“Saya tidak mau semua ini menjadi abu-abu. Saya di sini bukan untuk dijadikan ani-ani, Pak. Saya akan bantu Bapak melewati gangguan itu, tapi semua harus jelas.”
Abimana mengangkat alis. “Kamu pikir saya bisa menahan diri?”
Tiara menyipitkan mata. “Apa maksudnya?”
Abimana bersandar, membuka satu kancing atas kemejanya. Nada bicaranya tenang tapi tajam.
“Saya sudah ereksi sekarang. Hanya karena kamu berdiri di situ dan bicara seperti itu. Kamu yakin saya bisa menahan?”
Tiara refleks menutup bagian depan tubuhnya, meskipun tahu tak ada yang terbuka.
“Pak... jangan main-main. Ini serius. Saya bukan wanita gampangan.”
“Justru karena itu tubuh saya bereaksi,” jawabnya pelan.
Suasana mendadak jadi panas.
Tiara menelan ludah. Matanya bergerak tanpa sadar. Dari rahang yang mengeras, ke leher tegang, ke kemeja separuh terbuka, lalu turun sedikit. Tubuhnya ikut bereaksi. Ia menegakkan punggung, mencoba menjaga jarak, tapi detak jantungnya berdebar keras di telinga.
Abimana bangkit. Ia berjalan mendekat. Tidak menyentuh. Hanya berdiri di hadapan Tiara. Jarak mereka terlalu dekat. Tatapannya seperti ingin menguasai.
“Kamu tidak tertarik dengan saya, Tiara?”
Pertanyaan itu meluncur seperti bisikan panas.
Tiara mendongak. “Secara medis, saya ingin membantu. Tapi saya tidak ingin bercinta dengan Bapak.”
“Jawaban yang cerdas.”
Ia mundur, lalu kembali duduk. Tenang di luar. Tapi sorot matanya masih membakar. Tubuhnya masih tegang nyata. Dan Tiara tahu itu.
Tiara mengatur napas. Ia masih bisa mengendalikan diri. Tapi tubuhnya sendiri mulai melawan. Tangannya gemetar. Bagian dalam pahanya menegang. Dan pikirannya mulai penuh oleh kemungkinan-kemungkinan yang ia tolak mentah-mentah.
Mereka saling diam cukup lama.
“Saya tetap bersedia. Tapi hanya jika Bapak bisa mematuhi perjanjian ini. Kalau tidak, saya pergi. Apa pun risikonya.”
Tiara menegakkan bahu saat Abimana membaca ulang setiap baris di lembar perjanjian itu. Matanya tajam dan ekspresinya sulit ditebak. Saat dia selesai membaca, ia menyandarkan tubuh dan menatap Tiara dengan tenang tapi penuh tekanan.
“Saya bisa tanda tangan sekarang juga, Tiara. Tapi jangan menyesal kalau nanti kamu sendiri yang lupa batas.”
Tiara menahan napas. Ia bersiap menjawab, tapi tubuh Abimana sudah bergerak mendekat.
Terlalu dekat.
Refleks, Tiara mundur sedikit. Wajah pria itu tepat di hadapannya, dan untuk sesaat, jantungnya berdetak kencang. Dia mengira pria itu akan menciumnya. Napas mereka saling bersentuhan. Aroma aftershave mahal dan tubuh hangat pria itu menyeruak memenuhi ruang.
Namun Abimana justru mengulurkan tangan ke meja di belakang Tiara, mengambil bolpoin tanpa mengalihkan pandangan. Gerakannya lambat dan penuh intensi, seolah tahu betul dia sedang mempermainkan emosi Tiara.
“Saya tanda tangani,” ucapnya datar sambil menorehkan tanda tangan tegas di atas kertas.
Lalu ia menyerahkan kembali lembaran itu ke Tiara.
“Sekarang kamu terikat dengan pilihanmu sendiri. Jangan lupa, Tiara, tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk niat baikmu.”
**
Tiara kembali ke kamarnya dengan langkah ringan tapi napasnya terasa sesak. Jantungnya berdetak kacau. Bayangan wajah Abimana yang terlalu dekat, suara tenangnya, aroma tubuhnya yang masih tertinggal di udara—semuanya membuat Tiara kehilangan arah.
Ia menjatuhkan tubuh ke atas ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran penuh gejolak. Sekarang dia mengerti kenapa banyak wanita di kantor bisa terpesona, bahkan sampai rela bersaing untuk sekadar dipandang pria itu. Sisi sensual Abimana terlalu mencolok untuk diabaikan, dan sayangnya, tubuh Tiara mulai merespons dengan cara yang tak bisa dikendalikan.
Tadi itu hanya pengambilan bolpoin, hanya satu gerakan sederhana, tapi tubuhnya seolah bereaksi seperti hendak dicium. Tiara menggigit bibir, berusaha mengusir rasa malu yang menyergapnya.
Yang lebih membuatnya kesal, adalah cara dia berbicara barusan.
Sok tenang. Sok profesional. Seolah dia seorang terapis berpengalaman yang tahu cara menangani disfungsi ereksi, padahal kenyataannya dia hanya perempuan biasa yang sedang mencoba bertahan hidup. Perempuan biasa yang juga punya naluri. Yang bisa terangsang. Yang bisa kehilangan kendali. Dan sekarang dia bermain terlalu dekat dengan garis tipis itu.
“Sial,” desisnya sambil menutupi wajah dengan bantal.
Dia tidak sedang menyelamatkan siapa-siapa. Bahkan mungkin dia sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri.
Tapi entah kenapa, dia juga tidak mundur.
**
Pagi itu Tiara mungkin bisa terlepas dari situasi terjepit mencari apartemen baru, melunasi cicilan kartu kreditnya, dan biaya-biaya yang makin membengkak. Namun dia juga tidak serta-merta merasa nyaman, karna ibaratnya, lepas dari situasi mencekam, dan ia masuk ke dalam situasi yang lebih mengerikan. Berada di rumah CEO gila yang seharusnya ia hindari.
"Oke, gue harus tetep jaga-jaga, kan," gumamnya.
Tiara turun dari lantai atas setelah memastikan dirinya tampil setertutup mungkin. Hoodie kebesaran membungkus tubuhnya rapat, lengkap dengan kupluk yang menutupi kepala hingga sebagian wajah. Dia tidak ingin mengambil risiko. Hidup serumah dengan pria yang selalu bereaksi berlebihan terhadap keberadaannya jelas bukan sesuatu yang normal.
Begitu tiba di dapur, langkahnya langsung terhenti. Abimana berdiri di depan kulkas hanya mengenakan celana panjang. Tanpa atasan. Tubuhnya tinggi, d**a bidang, perut berotot, semua terlihat begitu nyata seperti sosok yang dipahat. Tiara membeku di tempat. Tenggorokannya kering. Matanya menelusuri tubuh pria itu sebelum buru-buru mengalihkan pandangan.
“Saya mau bikin kopi,” ucapnya pelan.
Abimana tidak banyak bicara, hanya melirik dan menunjuk ke arah mesin kopi di sudut dapur.
Tiara melangkah menuju sana, berusaha tetap fokus. Tapi ketika tubuh Abimana bergerak sedikit untuk menutup pintu kulkas, otot punggungnya ikut menegang, dan garis di pinggang pria itu terlihat terlalu sempurna. Pandangan Tiara terseret tanpa sadar. Tubuhnya merespons secara refleks. Napasnya sesak, jantungnya berdetak cepat, dan sebelum dia sadar, darah mengalir dari hidungnya.
“Kamu mimisan,” komentar Abimana dengan nada netral.
"A-Apa??"