Tiara tersentak. Tangannya menutupi hidung secara refleks. “Astaga ini nggak—"
Abimana tetap diam di tempat, mengamati dari jarak aman. “Karena kopi atau karena saya?”
Tiara melotot. “Bapak bisa nggak ngomong biasa aja?”
“Saya Cuma berdiri. Kamu yang kelihatan panik.”
Tiara buru-buru mencari tisu, mengelap darah dari hidungnya sambil memutar tubuh menjauhi pria itu. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu sekaligus kesal. Ini benar-benar konyol. Dia hanya ingin membuat kopi, tapi ujung-ujungnya malah kalah oleh d**a bidang seseorang yang bahkan tidak menunjukkan ekspresi menggoda.
Dia harus tetap waras. Dia harus mengingat fungsinya berada di rumah ini. Membantu. Mendisiplinkan. Memberikan ruang agar pria itu bisa sembuh, bukan malah memperparah gangguan dengan respon tubuh yang tidak bisa dikendalikan.
Kalau dia tidak hati-hati, bukan hanya Abimana yang sulit pulih. Dia sendiri bisa jatuh dalam jurang yang lebih gila dari semua ini.
Tiara langsung berbalik arah dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dan membersihkan darah yang masih menetes dari hidungnya. Saat menatap pantulan dirinya di cermin, ia menghela napas panjang. Wajahnya merah, bukan hanya karena mimisan, tapi juga karena rasa malu yang menumpuk. Jantungnya masih berdebar seperti genderang perang. Ia menepuk dadanya pelan, berusaha menenangkan diri. Tapi sialnya, darah masih terus keluar.
Dia menyumpal hidung dengan tisu, lalu keluar dari kamar mandi dengan langkah hati-hati.
Begitu membuka pintu, tubuhnya hampir menabrak seseorang. Pria itu berdiri terlalu dekat.
Untungnya kali ini pria itu sudah mengenakan pakaian lengkap. Kemeja putih dan celana panjang, meski lengan bajunya masih tergulung naik hingga siku.
Tatapan matanya menusuk, tapi bibirnya justru menyunggingkan senyum kecil. “Kamu bukan yang pertama.”
Tiara mengernyit. “A-Apa maksud bapak?”
“Yang mimisan di depan saya. Jadi saya tahu apa sebabnya.”
Nada suaranya terdengar puas, seolah kemenangan kecil itu cukup untuk menegaskan ego maskulinnya. Tiara ingin mendorong wajah pria itu ke dinding.
Dia memejamkan mata, mengumpat dalam hati, lalu berusaha melewati pria itu. Tapi belum sampai dua langkah, lengannya ditarik.
“Pak, apa lagi?” seru Tiara dengan nada kesal.
Pria itu menatap dengan serius, tapi sorot matanya masih menyimpan sisi menyebalkan. “Jadi, apa rencana kamu untuk saya?”
“Rencana apa?”
“Kamu lupa tugas kamu apa?”
Tiara meneguk ludah. Tubuhnya menegang. Ia hampir lupa kalau sedang berada di tengah ‘misi’ terapi seksual.
“Oh, itu. Saya ingat. Tenang aja, sore ini saya akan belanja ke supermarket.”
“Belanja?”
“Tolong lepas tangan Bapak dulu,” potong Tiara cepat.
Tangan di lengannya akhirnya terlepas. Pria itu masih berdiri dengan ekspresi ingin tahu, membuat Tiara makin gugup.
“Saya mau belanja bahan makanan yang bagus untuk Bapak. Semua udah saya pelajari. Jadi terapinya dimulai dari makanan. Gimana?”
Alis pria itu berkerut, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak yakin. “Terapi lewat makanan?”
“Ya. Tahu nggak kalau zinc, vitamin D, dan asam lemak omega-3 itu bagus buat hormon testosteron?” jawab Tiara cepat. Dia merasa seperti presenter acara kesehatan dadakan. “Saya juga baca, stres bisa memperparah kondisi. Jadi makanan yang menenangkan, tinggi nutrisi, itu penting.”
Pria itu menyilangkan tangan di depan d**a. “Saya kira kamu akan menawarkan pijatan atau yoga berdua.”
Tiara langsung melotot. “Saya bukan tukang pijat, Pak. Dan saya nggak fleksibel buat yoga.”
“Saya Cuma memastikan,” sahut pria itu santai.
Tiara berbalik, berjalan menjauh sebelum pria itu membuka topik yang lebih menyebalkan lagi. Tapi langkahnya terhenti ketika suara berat itu kembali terdengar dari belakang.
“Kamu yakin bisa bantu saya sembuh, Tiara?”
Tiara berdiri di ambang pintu dapur. Punggungnya kaku, tapi suaranya tetap tegas. “Saya akan coba. Tapi saya nggak janji. Dan saya punya syarat, tidak ada sentuhan fisik yang nggak perlu.”
Di belakangnya, pria itu hanya tersenyum kecil, nyaris tak terdengar. Tapi nadanya pelan saat menjawab, “Kita lihat nanti siapa yang duluan melanggar.”
**
Tiara duduk di ujung ranjang, kedua tangannya mencengkram sprei kuat-kuat. Jantungnya masih belum tenang. Ia mengatupkan bibir, menggigit lidahnya sendiri agar tidak mengerang kesal. Pikiran tentang pria itu tak juga hilang. Bahkan semakin jelas, semakin nyata, semakin membuat tubuhnya bereaksi dalam diam.
“Apa-apaan sih ini,” geramnya pelan.
Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir seperti orang kesurupan. Tubuhnya panas, tengkuknya berkeringat, dan setiap kali bayangan d**a Abimana kembali melintas, tubuhnya seolah menghangat dari dalam.
“Goblokk!” umpatnya pelan. “Dasar bos sinting! Mentang-mentang wajah bagus, badan bagus, bisa-bisanya bikin aku—“
Ia tak melanjutkan kalimatnya. Tangannya sudah menarik hoodie dan atasan longgar yang dikenakan. Satu per satu lapisan pakaian dilepaskan tanpa ragu. Bra-nya terjatuh ke lantai, celana dan celana dalam menyusul, hingga tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai kain pun melekat.
Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah cepat ke kamar mandi.
Air dingin menyambut tubuhnya, menyapu kulit yang panas karena frustasi dan dorongan naluriah yang tak bisa ia kendalikan. Matanya terpejam, wajahnya mendongak ke pancuran, membiarkan air mengguyur tubuhnya yang menggigil, bukan karena kedinginan, tapi karena terlalu banyak hal yang ia tahan.
“Aku di sini buat nyembuhin dia, bukan buat tidur sama dia,” bisiknya sambil meremas rambutnya. Ia melanjutkan mandi, lalu segera keluar mengeringkan diri.
Kelopak matanya menutup. Bayangan d**a bidang dan garis rahang pria itu memenuhi kepalanya. Ia membayangkan sentuhan itu bukan miliknya, tapi tangan kasar dengan jemari panjang yang menelusuri lembut atau mungkin mengklaim. "Mendingan lo tidur, Tiara!"
Namun ia malah terus kepikiran, tak bisa berpikir normal, hanya pikiran dan fantasi liarnya yang muncul begitu saja. Ia menggeram tertahan, berbaring di kasur sambil meremas selimut.
Desahan tipis lolos dari bibirnya. Pinggangnya melengkung, tubuhnya gemetar. Jemarinya tak berhenti bergerak di antara dua paha yang kini bergetar hebat.
“Abimana bos gila...” gumamnya pelan. Ia benci mendengar nama itu keluar dari mulutnya dalam situasi begini, tapi hasratnya sudah tak bisa dibohongi.
Desahannya tak bisa ia tahan, meluncur dari bibir yang terbuka tipis. Jemarinya bergerak makin dalam, mengikuti bayangan tubuh itu, Abimana, dengan sorot mata tajam dan suara rendah yang entah kenapa sekarang terdengar memanggilnya dalam kepala.
Tiara menggigit bibir. Pinggangnya terangkat, lengannya gemetar, lalu tubuhnya menegang keras sejenak sebelum meluruh pelan-pelan dalam denyutan panas yang menyiksa sekaligus melegakan.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara jelas selain embusan napas yang berat dan tercekat. Satu kata yang lolos, pelan dan putus asa.
“Ah... Bi...”
“Oh, s**t!”
"Lo udah gila, lo udah beneran nggak bisa ditolong, Tiara!!"
Dia menutup mata, malu pada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya tak berbohong.