Tiara melangkah keluar dari kamar dengan penampilan yang jauh lebih segar dan rapi. Rambutnya ia ikat ke belakang, tubuhnya dibalut atasan putih polos dan celana panjang hitam yang simpel namun tetap menawan. Saat ia menuruni anak tangga, rumah itu terasa sunyi. Hanya suara pel dari arah dapur yang masih terdengar. Beberapa pelayan tampak sibuk membereskan bagian terakhir ruangan sebelum akhirnya bersiap pulang.
Tak satu pun dari mereka terlihat heran melihat keberadaan Tiara di dalam rumah itu. Mereka tak bertanya, tak menunjukkan ekspresi curiga. Tiara mengamati mereka sejenak, lalu menarik napas pendek. Mungkin mereka sudah biasa melihat perempuan berbeda keluar masuk rumah itu. Mungkin juga dia hanya salah satunya.
Tiara memeriksa ponselnya. Sebuah pesan masuk.
CEO GILA
Saya ke kantor. Kamu urus apa yang kamu mau lakukan untuk tugasmu. Malam saya akan pulang terlambat.
Tiara mengetik balasan tanpa berpikir lama.
Tiara
Baik, Bapak. Hati-hati di tempat kerja, ya. Saya akan ke supermarket dulu, membeli beberapa bahan makanan.
Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu melangkah keluar dengan langkah tenang. Dalam kepalanya, ia sudah menyusun daftar panjang bahan-bahan bergizi yang konon katanya bisa meningkatkan performa pria. Tapi tetap saja, hatinya masih diliputi rasa ragu. Ini bukan pekerjaan biasa.
Sementara itu, Abimana duduk di balik meja kantornya. Matanya masih terpaku pada layar ponsel. Pesan singkat dari Tiara terulang beberapa kali di benaknya, tapi bukan itu yang membuat kepalanya mendadak penuh bayangan panas.
Yang muncul justru adegan pagi tadi. Tatapan kaget Tiara. Wajahnya memerah. Tetesan darah di bawah hidung yang menetes pelan saat ia tak bisa menahan reaksinya.
Abimana menahan napas. Rahangnya mengeras. Ia bersandar di kursi, melempar ponsel ke meja. Tapi sialnya, bayangan itu makin jelas. Ia bisa membayangkan suara napas Tiara, caranya berjalan gugup, hoodie kebesaran yang jatuh hingga menutupi lekuk tubuhnya. Dan entah kenapa, justru hal-hal itu yang membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Bawah tubuhnya bereaksi cepat. Ereksi keras dan menyiksa.
Abimana memejamkan mata, menggenggam kedua tangannya di atas meja. Tubuhnya meradang karena rasa frustasi yang tak bisa ia tumpahkan. Wanita itu membuatnya hilang kendali hanya dengan senyuman canggung dan wajah polos yang memerah.
Ia menggeram pelan.
Tangannya mengepal. Nafasnya berat. Bayangan tentang Tiara yang melangkah di depannya dengan hoodie besar, menyembunyikan lekuk tubuh yang sudah ia hafal bentuknya. Pagi itu, saat darah mengalir dari hidung Tiara karena menatap tubuhnya, dia menahan tawa sambil menahan hasratnya sendiri.
Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya menjalar lebih liar.
“Aku ingin membuka hoodie itu, perlahan, sambil menatap matamu. Menyentuh kulitmu yang mulai menghangat, menelusuri lehermu, lalu menekan tubuhmu ke tempat tidur. Aku ingin kamu menggeliat di bawah tubuhku. Bukan karena terapi, tapi karena kamu juga menginginkannya.”
Suara seraknya mengisi ruangan. Jemarinya menggenggam kursi dengan kuat.
“Aku ingin kamu basah hanya karena tatapanku. Aku ingin kamu menyebut namaku sambil merintih pelan. Aku ingin menarik mu masuk ke ranjang, membuka semuanya, menyatu sampai kamu tidak bisa berpikir.”
Abimana berdiri dari kursinya. Ia mengancingkan kemeja yang sebelumnya sempat terbuka. Ia tahu, malam nanti ia harus pulang lebih larut jika tak ingin membiarkan diri lepas kendali.
Karena kalau ia pulang sekarang, dan melihat Tiara lagi, ia mungkin tak bisa menahan diri.
**
Tiara berdiri di depan rak makanan organik, tangannya meremas pegangan keranjang belanja seolah itu bisa menyalurkan segala tekanan yang menghantui pikirannya. Ia memperhatikan setiap bahan dengan cermat, mulai dari sayuran hijau, alpukat, pisang, jahe, hingga cokelat hitam dan madu. Ia mencatat semua yang menurut hasil riset internet bisa membantu meningkatkan vitalitas pria. Tapi benaknya terus bertanya, benarkah semua ini bisa berhasil untuk pria seaneh Abimana?
Ponsel barunya bergetar di dalam tas, ia buru-buru mengambilnya. Satu pesan masuk dari kontak bernama CEO GILA.
[Screenshot transfer dompet digital]
Untuk keperluan kamu. Jangan ragu ambil yang terbaik.
Tiara menahan napas. Jumlah saldo dalam tangkapan layar itu nyaris membuat kerongkongannya tercekat. Bukan hanya cukup untuk belanja bahan makanan, uang sebanyak itu bisa dipakai untuk hidup nyaman selama sebulan. Rasanya terlalu mewah hanya untuk sekadar membeli jahe dan dark chocolate.
Ia menghela napas panjang, memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sambil berjalan menuju kasir. Wajahnya masih belum bisa lepas dari sorot keraguan.
Abimana memberinya ponsel baru setelah kejadian perampokan itu. Sekarang dia memberinya dana sebanyak ini. Terlalu mudah. Terlalu mengikat.
Di sepanjang antrean, Tiara terus berpikir. Bagaimana kalau ternyata semua ini gagal. Bagaimana kalau Abimana tetap tidak bisa sembuh. Bagaimana kalau akhirnya dia justru yang kehilangan kendali. Dia bukan terapis, dia hanya wanita biasa dengan tubuh yang juga punya batas.
Ia mengepalkan jemari, mencoba menepis getaran halus yang muncul saat membayangkan tubuh pria itu. Jika sampai ini gagal, dia tidak hanya akan mengecewakan Abimana, tapi juga menghancurkan kendali dirinya sendiri.
Saat giliran Tiara membayar belanjaannya, dia mengeluarkan ponsel dan men-scan barcode dompet digital untuk menyelesaikan transaksi. Namun sebelum proses selesai, sebuah suara familiar menyergap pendengarannya.
“Ra, itu lo kan?”
Tiara membeku. Kedua matanya langsung menatap ke arah sumber suara. Dadanya menegang.
“Andra?” gumamnya, setengah kaget, setengah jengkel.
Pria bertubuh tinggi dengan gaya santai itu tersenyum menyebalkan. “Nggak nyangka kita ketemu di sini. Lo makin cantik aja sekarang.”
Tiara mencibir, mengacuhkan komentar itu. “Mau apa lo!” sahutnya ketus, lalu menyelesaikan pembayaran dan langsung mengambil belanjaannya untuk pergi.
Andra buru-buru mengejar. Tangannya menarik lengan Tiara tanpa izin. “Hei, jangan galak gitu dong. Lo lupa, dulu kita sedekat apa?”
Tiara spontan menepis sentuhannya. “Lepas sial! Jangan sentuh gue! Lo nggak kapok udah dikasih pelajaran sama Mas Adrian, suami Vanila? Lo mau dihabisin lagi kayak waktu itu?”
Andra tertawa kecil, nadanya meremehkan. “Ra, lo bukan anak kecil. Ngapain lo ngadu-ngadu ke suami orang segala. Apa jangan-jangan lo masih sama kayak dulu? Deketin cowok buat ngasih kepuasan nafsu ranjang lo?”
Tiara mengepalkan tangan. Wajahnya memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang menumpuk. Tangannya hampir melayang untuk menampar, tapi ia sadar mereka ada di tempat umum. Semua mata mulai menoleh ke arah mereka.
Dengan suara bergetar menahan marah, Tiara mendekat dan menatap tajam ke arah wajah Andra.
“Denger ya, jangan pernah muncul lagi di depan mata gue. Gue jijik lihat muka lo. Lo itu kotor, Andra. Dan satu hal lagi, gue nggak perlu ngasih tau cowok mana pun buat ngadepin lo. Tapi kalau lo masih ganggu gue, lo bakal nyesel.”
Dia tak menunggu jawaban. Kakinya melangkah cepat keluar supermarket, membawa semua belanjaan, dan menahan air mata yang hampir jatuh. Bukan karena takut, tapi karena jijik dan trauma yang kembali terkuak hanya karena satu orang bernama Andra.
“Tiara!”
Tiara menggeram, ia tetap berjalan cepat meninggalkan Andra. Tapi Andra berhasil menyusul Tiara.
“Tunggu, Sayang.” Andra mencengkeram tangan Tiara.
“Lepasin!!”
“Tiara, suara manja lo bener-bener masih sama. Gue kangen, tidur bareng lo, denger suara desah—“
Plak!
“Tutup mulut lo, sialan!”