Suasana ruang bawah tanah itu menekan. Bau logam bercampur dinginnya udara membuat setiap detik terasa panjang. Safira duduk dengan tangan terikat, tubuhnya tetap tegak, matanya penuh api. “Abimana Narendra Tama” suaranya tegas sekaligus sarkas. “Akhirnya kau muncul juga di hadapanku. Berani sekali kau menahan aku di tempat ini. Apa kau lupa siapa aku. Aku adalah darah yang ikut membesarkan nama Serigala Hitam. Orang tuaku menanamkan dasar kekuasaan di sini, dan kau sekarang memperlakukan aku seperti tawanan.” Abimana berdiri di hadapannya, wajahnya datar namun sorot matanya mengiris. “Jangan merasa besar hanya karena nama keluargamu. Kau duduk di kursi besi itu bukan tanpa alasan. Kau sudah melanggar aturan, Safira.” Safira tertawa sinis, suaranya menggema di ruangan sempit itu. “Atura

