.
.
Baik Sergio, Regal, maupun Rafa hanya saling berpandangan melihat Gabriel memasuki markas dengan wajah keruh. Memang sih, biasanya juga tidak pernah kelihatan ramah, tetapi untuk kali ini aura yang dipancarkan Gabriel seolah berkata 'jangan ngajak ngomong atau tenggorokan lo bolong'.
Kalau Gabriel sudah masuk markas dengan wajah terlipat begitu, suasana ramai nan asik yang tadinya sangat santai akan berubah senyap. Anak-anak yang lagi pada main poker sambil sumpah-sumpahan jadi berbisik pelan, beberapa orang di dekat jendela yang lagi main gitar sambil bernyanyi ikut berhenti dan menyimpan gitarnya. Tiga teman terdekat Gabriel saja hanya melongo melihat bos geng mereka seminggu belakangan ini terus ketus.
Mode garang yang diperlihatkan Gabriel biasa disebut gerhana bulan oleh anak Rajawali. Gerhana bulan, lebih menyeramkan dari datang bulan. Auranya hitam pekat, semboyannya senggol bacok. Kira-kira begitulah anak-anak lain menyebutnya, tentu saja tanpa sepengetahuan Gabriel.
Saat Gabriel duduk di samping Rafa sambil mendengus kasar, refleks Rafa bersiul dan bergeser sedikit menjauh dengan gestur yang dibuat sesantai mungkin.
"Gak ada makanan?" Gabriel menatap jengkel pada meja kayu yang kosong di depannya.
"Ada, tinggal beli," Rafa bersiap pergi menghindar. "Lo mau apaan?"
Brak!
Gabriel menendang meja itu sampai berguling. Pakai tenaga dalam kayaknya, satu kaki meja sampai patah. Anak-anak lain langsung pada menahan nafas saling melirik satu sama lain, antara ingin kabur tapi takut diamuk juga.
"Lo semua daritadi nongkrong disini ngapain aja, sih?!"
"Ya... Ngobrol aja biasa. Apa kek ..." Regal yang menyahut langsung dipendelikin. "... gitu."
"Emang ngobrol nggak bikin tenggorokan kering? Nggak ada minuman? Satupun nggak ada yang inisiatif beli cemilan? Nggak ada yang mikir? Bego semua?!"
Pengen jawab enggak, tapi bogeman Gabriel keras. Semuanya diam.
"Kalian yang daritadi nyanyi nggak jelas, nggak sepet, hah?"
Anak-anak di pojok jendela langsung pada tersentak.
"Lo lo pada yang daritadi main poker sambil unjang-anjing juga gak pada pengen minum?!"
Yang ditanya hanya meneguk ludah. Kalau sudah kena semua, siapa yang berani jawab biasanya langsung babak belur, jadi mending cari aman.
Kesal tidak ada jawaban, Gabriel menarik jaket Rafa sampai cowok itu terduduk lagi.
Lalu hening lama sekali.
"TERUS KAKI MEJA PATAH NGGAK ADA YANG MAU BENERIN, HAH?!"
"Ah, biar gue cari kayunya dulu," satu orang bergegas pergi.
"Gue juga!"
"Gue juga!"
"Ikut, deh!"
"Heh, tungguin!"
"Woy ayo beli makanan!"
"Yo!"
Dan semuanya pergi kecuali Regal, Sergio, dan Rafa, yang cukup mampu menahan diri dengan kebringasan Gabriel. Setidaknya kalau satu lawan tiga mereka masih bisa selamat.
Gabriel meraup wajah kasar. Rasanya semua orang jadi menyebalkan.
"Gue nggak mau sok-sok nebak sih, tapi... Kaella, kan?" Sergio yang daritadi cuma diam akhirnya bersuara. Kebungkaman Gabriel dengan wajah keras justru memperjelas praduganya. Emosi Gabriel yang tidak karu-karuan dan jarangnya Kaella yang terlihat di dekat pemuda itu membuat semua orang berprasangka kalau dua manusia itu pasti lagi tidak akur.
Regal menatap aneh pada Gabriel. "Gue tuh kadang bingung, lo sebenarnya cuma main-main apa serius, sih?"
"Lo kira gue tipe orang yang suka main-main?"
"Ya enggak, cuma..." Regal menggantung jawabannya. "Lo tau kan, dia sepupu Haidar."
Tidak usah diulang juga Gabriel lebih tahu dari siapapun kalau Kaella adalah sepupu Haidar.
"Sejak dulu anak PN sama Rajawali nggak bisa dibilang akur. Lo ingat, lo bahkan pernah ancam Haidar pake Kaella."
Gabriel ingat, itu adalah saat dia belum menjadi ketua seperti sekarang. Saat itu Rajawali di bawah komando pimpinan terdahulu, dan mereka terpojok saat tawuran. Haidar adalah satu-satunya orang yang terus Gabriel incar kala itu. Melihat anggota lainnya kalah, Gabriel membawa nama Kaella untuk mengancam Haidar agar pasukan mereka mundur. Dan berhasil. Lalu sejak itulah Gabriel digadang-gadang menjadi calon penerus ketua geng Rajawali.
Rafa mengingatnya. "Ah iya, gue inget. Pas kita bahkan nggak ada yang tau kalau Kaella itu sepupu Haidar. Tapi si Ega udah tau anjir. Riset darimana sih lo?"
"Bukan urusan lo."
Rafa langsung mingkem lagi.
Sergio menghembuskan nafas lelah. Seharusnya tadi dia pulang bersama pacarnya saja daripada harus dihadapkan di situasi memalaskan seperti sekarang. Tidak ingin ikut nimbrung, Sergio lebih memilih membuka obrolan di ponselnya dan mulai mengirimi pesan untuk Ashilla —pacarnya.
"Ya lo ngamuk-ngamuk gak jelas begini juga sebenernya bukan urusan kita, tapi secara sadar lo merugikan banyak orang," kampret. Regal jadi misuh-misuh. "Berantem gara-gara apaan sih lo?"
Gabriel mendecak lalu menyugar rambutnya, oh bukan, menjambak rambutnya sendiri karena frustasi. Lalu dengan cepat ia berdiri menghentak, membuat kaget tiga orang di sekelilingnya. "Bukan urusan lo." Dan Gabriel memilih pergi dari gedung dua lantai tanpa cat itu diiringi tatapan heran dari teman-temannya.
"Ending yang sangat membagongkan," Rafa jadi ikutan kesal. Memang, Gabriel datang cuma untuk menebar benih keributan dan menanamkan kejengkelan, lalu pergi setelah menciptakan hawa negatif di markas.
Regal yang dikacangin ikut misuh-misuh. Dia menghampiri meja yang masih terguling miring, lalu menendang-nendang kaki meja yang lain sampai ikut patah juga. "Gue cowok. Gue salah. Gue selalu salah. Elo doang yang suci. Elo doang! Meja sialan!"
Hanya Sergio yang tidak terpengaruh dan tetap fokus pada ponselnya.
.
.
***
.
.
Daripada terus-terusan melihat kesenduan di wajah Kaella, malam ini Sera mengajak cewek itu untuk nongkrong di Cafe Temu Rasa. Kebetulan ini adalah malam minggu. Ada jadwal rutin di setiap akhir pekan yang diadakan oleh pihak kafe, yaitu sesi curhat. Dan biasanya akan ada tiga sampai lima pengunjung yang naik ke panggung untuk membagikan kisah cintanya. Karena terkenal di kalangan anak milenial, pengunjung kafe bernuansa vintage itu didominasi oleh anak muda. Seperti Kaella dan Sera.
Bagi Sera, daripada galau mikirin Gabriel yang kelakuannya bikin bulu kuduk berdiri, lebih baik Kaella cari pasangan yang lebih manusiawi. Ini solusi yang selalu Sera sarankan dan tidak pernah Kaella tanggapi. Bangke banget memang temannya ini.
Padahal biar enak aja gitu Sera ngelabraknya kalau ada cowok yang berani bikin temannya uring-uringan. Tetapi karena cowok itu Gabriel, Sera bisa apa? Jangankan labrak, mau melotot aja tuh rasanya mata udah berdosa banget.
"Kael, lo madep ke depan, dong. Dengerin cowok yang sekarang lagi curhat, tuh," Sera menggoyang punggung tangan Kaella.
Kaella yang tidak berminat akhirnya memutar kepala dengan terpaksa. Seorang lelaki sedang duduk di kursi panggung dan berceloteh tentang hal yang sumpah demi apapun Kaella nggak mau tahu.
"Ganteng juga ya, Kael," celetuk Sera.
Kaella hanya sanggup menonton beberapa detik saja dan selebihnya ia kembali membelakangi panggung. "Biasa aja. Gantengan Ega," balasnya lalu mencuil malas satu french fries di meja.
Sera langsung mendecih tidak setuju. "Ega mah apaan, ganteng doang tapi suka ingkar janji."
"Nnggggg," Kaella merengek saat kembali diingatkan pada masalahnya dengan Gabriel.
Ini sudah satu minggu dan hubungannya yang tidak jelas ini makin tambah tidak jelas. Gabriel bahkan tidak mencoba minta maaf atau setidaknya melakukan usaha yang membuat Kaella luluh. Alih-alih membuat luluh, Kaella malah lebih sering mendapati Gabriel hanya menatapnya dari jauh, terus pergi. Rasanya Kaella ingin menginjak-injak wajah cowok kaktus satu itu.
"Kael sumpah Kael," Sera menepuk-nepuk meja sedikit heboh. "Cowok yang tadi curhat lagi jalan kesini, Kael!"
Bodo amat.
Kaella santai menyeruput matcha-nya.
"Hei," suara laki-laki terdengar ringan. Saat Kaella menoleh, benar ucapan Sera bahwa cowok yang menyapanya sekarang adalah cowok yang tadi ada di panggung. "Boleh gabung?"
Kaella baru saja mau bilang keberatan, tetapi Sera lebih dulu menjawab, "boleh!"
Dan akhirnya cowok berjaket navy itu menarik kursi di sebelah Sera, memamerkan senyum ramah pada Kaella di depannya. Saat tersenyum, Kaella sempat melihat lesung pipi tunggal yang cuma muncul di sebelah kiri.
"Ah, lo udah pada tau nama gue pas barusan perkenalan di panggung ya."
Belum, tuh. Tetapi Kaella menahan jawabannya karena ia segera tahu dari Sera.
"Langga, kan? Kalo nggak salah, sih. Gue Sera."
"Airlangga. Panggil aja Langga."
Sera bersalaman dengan pemuda itu. Lalu tangan Langga terulur pada Kaella. Cukup lama Kaella tidak menghiraukan, namun akhirnya dia membalas jabatan tangan itu. "Kaella."
"Mau tau satu hal nggak?" Langga bertanya tanpa melepaskan jabatan tangan mereka. Alis Kaella terangkat satu. "Menurut penelitian, cowok lebih suka melihat cewek tersenyum," sambung cowok itu masih mempertahankan eksistensi senyumannya.
Ya terus? Apakah karena Kaella memperkenalkan diri seperti orang yang tidak niat berkenalan?
"Dan cewek lebih suka melihat cowok yang jarang tersenyum." Kaella melepaskan tangannya menjauh.
Langga malah terkekeh sambil mengangguk-angguk. Entah artinya setuju dengan pendapat Kaella atau malah menertawakannya.
Dan begitulah singkatnya. Tiba-tiba seorang lelaki bernama Langga menjadi salah satu orang yang Kaella tahu namanya. Tiba-tiba menjadi akrab dengan Sera dan mereka saling bercanda membicarakan hal yang tidak begitu Kaella perhatikan.
Kaella hanya berpikir, Sera tertarik pada lelaki itu. Tetapi sampai kepada Sera mengangkat telepon, Kaella jadi mengerti kemana akhir dari perjumpaan singkat mereka dengan Langga.
"Ya, Ma? .... Hah? Kok bisa, sih? .... Ya udah Sera pulang kalo gitu .... Iya iya langsung pulang!"
Lalu Sera berdiri tergesa mengambil tas kecilnya. "Kael, anjing gue katanya keracunan. Urgent! Gue harus pulang duluan. Gak papa, ya? Makanan udah gue bayar!"
Belum sempat Kaella menjawab sepatah dua patah kata, Sera ngacir.
Iya.
Inilah skenario Sera sejak awal. Meninggalkan Kaella dengan lelaki lain. Kampret tuh anak!
Dua orang di meja kayu cokelat itu sama-sama terdiam.
Langga yang lebih dulu memecah canggung dengan kekehan kecil. "Temen lo kocak," katanya.
Kaella meremas tangannya sambil memutar bola mata. "Gue sumpahin anjingnya beneran mati keracunan!" sungut Kaella sebal sembari menandaskan minumannya. Tak berapa lama ia menyusul berdiri siap pergi, namun tertahan oleh Langga yang menghadangnya.
"Gue anter?"
Sebenarnya tidak perlu. Kaella bisa minta Gab— bukan, Kaella bisa minta Haidar untuk menjemputnya. "Makasih untuk tawarannya tapi nggak perlu. Gue punya tukang ojek pribadi yang selalu siap sedia dua puluh empat jam," Kaella tersenyum singkat sambil lalu.
Siapa sangka kalau Langga bakal mengikutinya sampai ke depan kafe?
"Cuma mau temanin nunggu sampai tukang ojek lo dateng, gak boleh?" Alasan yang cukup bisa diterima.
Kaella mengabaikan Langga dan menelepon Haidar.
Tidak diangkat.
Ia menelepon lagi.
Tidak kunjung diangkat sampai di percobaan keempat.
Sabar. Sabar. Diliriknya Langga yang masih memperhatikan Kaella, lalu pelan-pelan cowok itu tersenyum sadar karena sepertinya tukang ojek yang digadang-gadang sedia dua puluh empat jam itu sedang non available.
"Gue anter?" Langga sekali lagi menawarkan diri.
Kaella tuh bukan takut diantar cowok asing malam-malam, dia tidak sepolos dan senaif itu. Tapi Kaella hanya tidak mau. Tidak butuh alasan untuk merasa seperti itu.
Jadi pilihan terakhir adalah... Gabriel.
Tapi tengsin banget nggak sih lagi marahan tiba-tiba minta jemput?
Kaella berperang dengan batinnya. Sesaat dia berpikir untuk menerima tawaran Langga saja. Tetapi sebuah panggilan masuk mengurungkan niatnya. Mata Kaella melotot hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam.
Gabriel is calling...
Buru-buru Kaella menerima panggilan itu.
"Tinggal telepon gue minta jemput emang gak bisa?"
Uhuk! Kaella batuk sendiri. Apa maksudnya? Gabriel tahu darimana Kaella sedang berharap dia jemput?
"Nyebrang. Gue di depan Mandiri."
Mata Kaella langsung memandang ke seberang jalan begitu panggilan dimatikan. Dan dia hampir menjerit kegirangan melihat mobil Gabriel terparkir di bahu jalan. Kaella tidak pernah sebahagia ini ketika melihat cowok yang membuat dia kesal ada disana.
"Sekali lagi makasih tapi nggak usah." Kali ini senyum Kaella tidak setengah-setengah. "Supir gue udah dateng."
Lalu Kaella melambai pada Langga sebelum menyebrang dan memasuki mobil hitam milik Gabriel.
"Berapa lama lo disini?"
"Sejak lo datang ke kafe itu."
Kaella berusaha untuk tidak terlihat girang meski binar matanya membeberkan perasaan gadis itu secara nyata. "Ngapain?"
"Nunggu lo pulang bareng Sera tapi ternyata yang gue lihat adalah lo keluar bareng cowok asing."
"Jangan cemburu. Lo nggak punya hak."
"Gue nggak peduli sama hak."
"Jadi?"
"Ck! Gue cemburu."
Gemas banget nggak sih dengarnya? Kaella geregetan dan refleks menggigit pipi Gabriel. Lupa diri kalau dia lagi ngambek. "Minta maaf nggak sama gue," tuntut Kaella.
Sesaat alis Gabriel menyatu tidak setuju. Jelas saja harga dirinya setinggi langit seluas jagat raya. Tapi ternyata...
"Maaf."
Haihhh!!! "Mamaa nggak mau pulaang!"
.
.
***