.
.
Dunia tidak pernah ramah kepada orang lemah.
Ketika seseorang tidak bisa diandalkan, maka apa yang akan terjadi pada dirinya? Dibuang. Ketika seseorang hanya menjadi beban tanpa memiliki kekuatan, lalu apa yang orang lain lakukan kepadanya? Disingkirkan. Ketika seseorang memiliki suara pelan, tidak mendominasi, tidak berpengaruh, orang-orang hanya akan menatapnya sebelah mata, seperti kaum buangan, tanpa harga diri, dan tidak pernah berada di depan.
Setidaknya itulah yang selalu diajarkan Jonathan Alezander –ayahnya, kepada Gabriel. Dan telah tumbuh sebagai bibit yang sudah tertanam begitu kuat dalam karakternya. Sejak kecil ia selalu dituntut menjadi unggul, tidak ada punggung yang dilihat di depannya karena dia sendiri lah orang yang harus menempati garis terdepan. Kekuatan dan kekuasaan sudah menjadi jati diri keluarganya.
Gabriel kecil tidak pernah menangis, karena sulit baginya untuk mempelihatkan emosi kepada orang tua yang memandangnya sebagai aset tangguh masa depan. Selama yang dia ingat, Gabriel hanya pernah menangis sekali, yaitu ketika melihat saudara kembarnya terbaring di ruang ICU. Saat Shanin berada dalam ambang hidup dan mati, diam-diam Gabriel menitikkan air mata yang segera dihapusnya.
Sejak Shanin lumpuh, semua keadaan menjadi tidak memiliki hari yang cerah bagi Gabriel, bahkan di rumahnya sendiri. Pandangan sang ayah seringkali membuatnya geram, entah mengapa. Lelaki tua itu menjadi sedikit menyebalkan dengan sikap angkuhnya.
Seperti pagi ini saat keempat anggota keluarga itu tengah menyantap sarapan bersama di meja makan. Tidak ada yang mengeluarkan suara hingga Jonathan akhirnya berkata, "Sabtu malam nanti akan ada pesta undangan dari keluarga Karaka, pastikan kamu tidak kemana-mana, Gabriel."
Karaka adalah kolega bisnis terkuat keluarga Alezander, sekaligus pemilik yayasan tempat Gabriel bersekolah sekarang. Yang artinya ini adalah salah satu pesta penting untuk dihadiri.
Gabriel diam sejenak, kemudian mengangguk kecil. "Aku akan datang dengan Shanin."
Seketika gerakan sendok di meja makan itu kompak berhenti kecuali Gabriel yang dengan santai masih menyuap nasinya. Bahkan meski di pagi hari dengan sinar matahari yang cerah, nuansa pekat seakan tidak bisa pudar dari aura keluarga Alezander. Terdengar hembusan pelan, sepasang mata gelap Jonathan yang diturunkan kepada dua anaknya kini menatap dingin pada Gabriel, lalu beralih pada Shanin yang diam tertunduk.
"Pesta itu akan berlangsung lama, Papa tidak mau Shanin kelelahan."
Gabriel mendengus pelan. "Tidak mau Shanin kelelahan? Atau malu memperkenalkan anak sendiri?"
Dentingan sendok dan garpu yang dihempaskan ke piring terdengar nyaring bersamaan dengan kedua pasang mata yang saling menyorot tajam. Vidya, —mama Gabriel, berusaha menyabarkan suaminya dengan mengusap punggung tangan Jonathan.
Gabriel tahu, dua tahun sejak Shanin lumpuh, tidak ada tempat yang dipijak adik kembarannya selain rumah dan rumah sakit. Gabriel tahu, Jonathan Alezander sengaja menyembunyikan salah satu anaknya hanya karena tidak menginginkan orang lain tahu bahwa dia memiliki anak yang cacat. Shanin tidak akan diizinkan keluar kemana pun, tidak sebelum dia sembuh total.
Gerah, Gabriel sudahi sarapannya dan bangkit untuk keluar. "Dengan Shanin, atau tidak sama sekali," peringatnya untuk yang terakhir kali.
"Berani-beraninya kamu, Gabriel!"
Teriakan itu tidak diindahkan, dengan tangan mengepal Gabriel keluar dari rumah.
Memang, dunia tidak pernah ramah kepada orang yang lemah, dan itu bahkan berlaku dalam keluarga mereka sendiri.
Andai jalanan Jakarta sepi lengang, mungkin Gabriel sudah menekan kecepatan sampai batas maksimal. Namun kenyataannya ia justru terjebak kemacetan, yang tentu semakin membuat rasa marahnya meningkat hingga terasa mencekik. "Sialan! Sialan!" Gabriel memukul setir beberapa kali hingga kulit jarinya memerah.
.
.
***
.
.
Kaella hampir selesai dengan sarapannya ketika melihat Haidar merenggangkan otot sambil berjalan dengan santai ke meja makan. Detik selanjutnya ia hampir memuntahkan kunyahannya saat Haidar menguap lebar-lebar, mana nggak ditutup.
"Lo tau nggak, saat lo mangap selebar itu, mulut kudanil aja kalah gede sama mulut lo!" hardik Kaella.
Mendengar itu, Haidar langsung cemberut. "Bisa-bisanya gue disamain sama mulut kudanil."
"Makanya kalo nguap tuh ditutup!"
Bukannya mengangguk, Haidar malah menghampiri Kaella. Lalu mendekatkan wajahnya. Tentu saja Kaella segera menjauh waspada meski sia-sia.
"HAAAHHHH!!" Haidar menghembuskan segala komponen yang ikut tercampur bersama karbondioksida dari nafasnya. Untungnya cowok itu baru saja kelar mandi dan gosok gigi. Tapi, nyebelin banget nggak, sih?!
"Maaa! Haidar jorook!!" Dengan jengkel Kaella memukul-mukul bahu sepupu tengilnya itu. Sedangkan sang tersangka hanya cengengesan.
"Udah udah, masih pagi udah ribut aja kalian. Haidar, duduk!" Baru setelah mendengar perintah Mama, kedua anak muda itu berhenti berulah. Haidar bersiap untuk sarapannya sedangkan Kaella sudah nggak selera menghabiskan suapan terakhirnya. Keburu enek.
"Mama tuh mau kasih tau ke kalian, nanti sore Mama mau berangkat ke Jerman, katanya Papa sakit. Jadi untuk beberapa hari nanti kalian urus rumah, jangan terlalu bikin Bu Har capek! Kalian udah pada gede," ucap Mama.
Mendengarnya, refleks Haidar dan Kaella saling berpandangan, bibir mereka berkedut menahan diri untuk tidak tersenyum. Bukankah itu artinya kebebasan?
Haidar yang pertama memasang wajah sedih. "Emangnya Om Andra sakit apa, Tan?"
"Biasalah."
"Meriang ya, Tan?"
"Karena kecapekan, makannya juga nggak teratur, jadi asam lambungnya naik."
Kaella dan Haidar mengangguk. Kedengarannya tidak terlalu gawat. Apalagi mengingat orang tua Haidar juga ada disana, yang jelas-jelas masih bisa dirawat oleh mereka. Tetapi anggap saja efek LDR, dengan alibi sakit, Papa sebenarnya cuma pingin ketemu. Halahh.
"Tapi Ma," Kaella yang sudah siap untuk berangkat sekolah kemudian bangkit menghampiri mamanya untuk mencium punggung tangan. "Pulangnya jangan bawa dedek ya, Kaella punya sepupu aja repot, nggak mau punya dedek," pesannya, segera membuat pipi sang mama bersemu.
"Ngaco! Dibilangin Mama mau urusin Papa kamu yang sakit."
"Hmm," Kaella hanya membalasnya dengan gumaman.
"Hmmmmmmmmmmm," Haidar bergumam lebih panjang lagi. Keduanya saling melempar pandangan mencurigakan, lalu tertawa bersama.
Padahal belum sampai lima menit yang lalu mereka berantem.
Setelahnya Kaella benar-benar berangkat sekolah. Kabar baiknya, mobil Kaella sudah selesai diperbaiki dua hari yang lalu dan dia bisa berangkat dengan kendaraannya sendiri seperti sebelumnya. Tetapi di sisi lain dia jadi tidak bisa berangkat sama Gabriel lagi. Kan enak aja gitu, nungguin lampu merah sambil mandangin wajah ganteng Gabriel, terus tangan Kaella suka dielus dan diciumin. Aihh. Kaella jadi kangen si bosgeng.
Panjang umur.
Mobil hitam di belakang Kaella mengklakson padahal tidak ada apa-apa di jalanan. Saat Kaella melirik lewat kaca spion, barulah ia tahu jika itu mobil Gabriel. Tanpa sadar bibir Kaella tertarik melebar. Gabriel mengiringinya sampai ke sekolah. Definisi berangkat bareng tapi enggak satu kendaraan.
Saat di parkiran, Kaella tidak langsung keluar mobil. Malah memperhatikan Gabriel yang baru saja menepikan mobilnya tepat di sebelah cewek itu. Tahu enggak, memperhatikan Gabriel saat keluar mobil itu rasanya menyenangkan. Seolah lelaki itu sedang menebarkan pesona lewat wajah datar dan aura pekat yang sukses membuat Kaella tambah geregetan.
Merasa Kaella tidak kunjung keluar dari mobilnya, Gabriel menghampiri lalu mengetuk kaca pintu.
"Bukain, dong!" pinta Kaella.
Tidak membantah, Gabriel membukakan pintu untuk gadis itu. Membuat senyuman Kaella bermetamorfosis menjadi cengiran lebar.
"Tangannya mana?" Kaella sudah berasa jadi putri kerajaan kali ya?
Gabriel mendengus samar, tetapi tetap menjulurkan tangan kanannya dan langsung disambut. Baru setelah itu Kaella keluar mobil. Ribet banget memang bikin cewek senang tuh.
Berjalan berdampingan dengan lelaki yang dihindari oleh sebagian besar umat SMA 71 tentu saja Kaella tahu bahwa terkadang ada saja lirikan-lirikan yang tertuju padanya. Meski tidak terang-terangan, tetapi orang pasti akan peka kalau sedang dilihatin. Mungkin beberapa dari mereka heran, kok bisa-bisanya cewek cakep kayak Kaella mau sama cowok bertempramen buruk macam Gabriel. Oke, itu Kaella yang narsis.
Tetapi meski memang sering mendapatkan tatapan orang lain, kenyataannya Kaella tidak peduli. Selama itu bukan mata dari anak buahnya Haidar, dia tidak perlu kelimpungan putar otak untuk klarifikasi.
"Tangan lo kenapa merah?" Kaella baru sadar kalau tangan yang digenggamnya terdapat luka lebam yang tidak begitu kentara.
"Gapapa. Cuma kesal."
"Ck!" Kaella berdecak sambil meniup pelan punggung tangan Gabriel. Kalau ini tangannya yang luka, sudah pasti Kaella heboh kesakitan. Terkadang dia bingung, apa Gabriel ini sudah mati rasa sampai kebal sering babak belur? "Kebiasaan banget, apa-apa pake kekerasan. Nonjok orang pagi-pagi ya lo?" tuduhnya.
"Nggaklah," sangkal Gabriel. Enggak, karena memang nggak ada orang yang bisa buat ditonjokin juga.
Kaella merengut kurang percaya. Yang dia tahu, bahkan kalau Gabriel kesandung batu tuh batunya bisa langsung diajak berantem. Segila itu memang kadang. "Emang kesal kenapa?"
Gabriel mengangkat bahu. "Ada aja yang bikin kesal."
Cih. Dasar bipolar. Meskipun perangai Gabriel menyeramkan dan misterius, tetapi ada satu sisi dimana Kaella melihat sorot anak kecil yang terperangkap jauh di dalam jiwa lelaki itu. Tersembunyi dan terhalang oleh sikap keras dan kejamnya.
Kaella menengok kanan kiri. Merasa tidak terlalu banyak yang memperhatikan, buru-buru ia cium punggung jari-jari merah Gabriel. Membuat pemiliknya tertegun.
"Jangan luka terus, ya," pesannya. Lalu dengan cepat Kaella menyambar pipi Gabriel. "Dadah." Setelah melakukan tindakan tak terprediksi itu Kaella buru-buru kabur ke kelasnya sendiri.
Gabriel masih terdiam beberapa saat. Rasanya bibir Kaella masih terasa lembut menyentuh jari dan pipinya, tahu-tahu cewek itu menghilang. Tak terasa sudut bibirnya hampir tersenyum sebelum akhirnya kembali kaku saat Gabriel berbalik dan mendapati Regal yang juga terpaku menatapnya dari belakang. Sesaat dua cowok itu saling berpandangan.
Rupanya Regal lihat aksi Kaella barusan. Keuwuan yang disuguhkan di pagi hari kepada seorang jomblo seperti Regal saat baru saja berencana menghabiskan pagi yang cerah ini dengan senyuman. Sopankah begitu?!
Regal menepuk bahu Gabriel dua kali. "Gak papa sumpah gak papa. Demi alek kagak ngapa-ngapa. Ya tapi lo mikir lah anjeng!"
***
.
.
Dulu Shanin pernah dibisiki kalimat yang paling menghangatkan hatinya. Saat Mama berkata, "Seorang anak bisa berjalan karena ayah adalah kaki kanannya, dan ibu adalah kaki kirinya."
Artinya, Shanin tidak perlu ragu dan takut untuk terus melangkah, untuk selalu menjalani hari-harinya, karena kedua orang tuanya akan selalu menjadi kaki, dan memapah Shanin untuk terus bertumbuh dewasa. Terdengar menjanjikan.
Namun lambat laun kalimat manis itu terdengar seperti kisah klasik yang nyaris hambar tanpa rasa. Karena kini yang Shanin tahu, kedua kakinya tidak bisa diandalkan. Hidupnya diam di tempat. Semakin terpuruk, semakin ia sadar, bahwa tidak ada yang bisa menjadi kakinya. Tidak ada yang bisa menggerakkan langkahnya selain dirinya sendiri.
Seringkali, dalam lamunannya, Shanin berpikir untuk kabur. Dia bosan seharian berada di rumah —yang pelan-pelan terasa seperti sel tahanan. Namun kembali lagi pada kenyataan bahwa kakinya memang tidak sanggup untuk digerakkan. Itu hanya lamunan semata.
Nyatanya bukan kabur, kini Shanin hanya bisa duduk tersandar di dalam mobil yang mengantarkannya untuk terapi ke rumah sakit. Terapi yang melelahkan, dan sia-sia.
BRAKH!
"Astagfirullah!" Bi Isna kaget saat sesuatu menghantam mobil. Shanin ikut terkejut, seketika lamunannya buyar.
"Ya Allah ih Si Karyo gimana kamu tuh kalau bawa mobil jangan suka meleng!" omel Bi Isna mengusap d**a. Lalu segera beralih melihat kondisi Shanin. "Non Shanin gak papa kan, Non?" tanyanya panik.
Shanin menggeleng. "Nggak papa, bi."
Sementara Pak Karyo segera keluar untuk mengecek. Sepertinya tadi mobilnya memang menabrak sesuatu. Atau menabrak seseorang?! Benar saja, pria paruh baya itu melihat seorang pemuda yang tertindih motornya.
"Aduh, Pak! Jangan melongo doang, bantuin ini berat."
"Astaga kamu ngapain pake nyalip saya segala! Udah tau di belokan!" Pak Karyo bantu mengangkat motor besar itu, yang tentunya lumayan berat. Setelah memastikan pemuda itu berdiri meskipun sedikit pincang, motornya kembali dijatuhkan.
"Pak! Kira-kira itu motor saya!"
"Berat," Pak Karyo enteng menjawab. "Lagian kamu yang salah, saya nyetirnya pelan, kamu tiba-tiba muncul."
Pemuda itu tampak terdiam beberapa saat, mukanya kelihatan tidak terima. Tetapi memang benar juga, dia yang salah. Akhirnya hanya bisa meringis nyeri pada kaki dan tangan kirinya.
"Kamu kalau nggak sanggup bawa motor, ikut saya aja. Mumpung saya sekalian mau ke rumah sakit," tawar Pak Karyo. Sedikit banyak, sopir itu tetap merasa bersalah.
"Nggak perlu, saya minta teman saya jemput aja." Lelaki itu menolak, tetapi melirik juga pada mobil Pak Karyo, dan saat itulah dia melihat Shanin yang melongokkan kepalanya dari jendela. "Eh? Cewek plester?" Lalu refleks berjalan mendekat dengan kaki pincangnya.
Sementara Shanin yang mulanya penasaran, akhirnya tahu bahwa mobilnya memang telah menabrak seseorang. Dan tebak siapa? Dia adalah orang yang sama dengan lelaki yang ditemuinya tempo hari di rumah sakit. Shanin ingat wajah babak belurnya —yang sekarang sudah kembali normal.
"Bener elo ternyata," katanya.
Shanin membuka pintu. "Lo gak papa?"
"Cukup oke."
Artinya tidak baik-baik saja, kan?
Shanin membuka pintu mobil lebih lebar lagi. "Sini masuk, kita ke rumah sakit aja. Takutnya luka lo parah, gimana?" tawarnya.
Untuk beberapa saat lelaki itu diam menimbang. Sebelum akhirnya mengangguk. "Oke."
Sementara Pak Karyo kini melongo melihat pemuda yang baru saja menolak tawarannya itu sekarang sudah masuk ke mobil.
.
.
***