.
.
Kebanting bersama motornya sendiri, Haidar merasa tangan kirinya terkilir sekarang. Jika jaket hitamnya dibuka, sudah pasti kulitnya memiliki luka baret yang cukup parah karena tadi kegasruk aspal, beruntung jaketnya enggak sampai robek. Dan kakinya juga lumayan nyut-nyutan. Meskipun menurutnya dari skala satu sampai sepuluh, rasa sakit ini berada di taraf empat, tapi yang namanya sakit tetap saja sakit. Namun sebisa mungkin air muka Haidar tetap tenang, tidak mau terlihat cemen dengan terus mengaduh di samping cewek yang —ekhem, cukup imut ini.
Teringat motor yang dia biarkan tergeletak di pinggir jalan, Haidar buru-buru menelepon salah satu temannya.
"Oit, bos! Bolos lagi ya lo? Kata Braga lo cabut abis kelas Pak Maksum? Bu Kartini udah misuh-misuh tau absen lo bolong lagi, nyumpahin biar lo ketabrak mobil masa. Astagfirullah banget memang tuh ukhti," Kelana memberondong duluan.
Pantesan Haidar kena sial. Disumpahin guru agama ternyata.
"Bantuin gue, dong," kata Haidar dengan suara pelan. Niatnya sih supaya tidak terlalu terdengar oleh cewek di sampingnya, tetapi mengingat ruang di mobil ini terbatas, mau berbisik sepelan apapun kayaknya masih bisa kedengaran.
Di seberang sana, Kelana sampai terperangah mendengar bosnya minta bantuan. Hampir saja dia bergegas karena dipikir Haidar sedang dalam bahaya, tetapi permintaan Haidar selanjutnya membuat Kelana menahan gerakan.
"Do'a orang beriman emang kuat banget ternyata. Gue beneran ketabrak mobil. Tapi nggak terlalu parah. Cuma motor gue tinggal. Bawain, di Andini, depan toko sepatu pokonya."
"Wait ... maksudnya lo beneran jatuh dari motor?"
"Hm."
"Serius, bos?" Nada Kelana menaik panik. Seumur-umur kenal Haidar, baru kali ini dia mendengar ketua gengnya jatuh dari motor.
Iya ih anjing! "Hm."
"Parah nggak?!"
Bacooooot. "Nggak ter—"
"Anjir ih anjir! Ada yang bantuin gak? Tunggu-tunggu! Gue perlu kasih tau yang lain, coba lo—"
Sambungan teleponnya buru-buru diakhiri sebelum emosi Haidar meledak karena mendengar reaksi Kelana yang berlebihan. Lalu ia memilih mengirim pesan untuk mengingatkan kembali.
Haidar:
Di jalan Andini. Depan toko sepatu. Cari aja motor gue sekitaran situ. Kalo belom ada yang maling.
Lalu tanpa menunggu balasan, ia masukkan kembali ponselnya ke saku jaket.
Haidar sadar, di antara semua penumpang yang sedang duduk di dalam mobil itu, dialah yang sejak tadi tengah diperhatikan oleh orang-orang di sekelilingnya. Termasuk cewek bermata bulat dengan bola mata cokelat gelap yang diam-diam juga melirik ke arahnya.
Haidar menengok dengan alis terangkat diiringi senyuman tipis, sarat akan kecanggungan. "Gue baru minta teman buat ambilin motor," jelasnya. Padahal tidak ada yang meminta penjelasan.
Cewek di sampingnya mengangguk kecil. Lalu setelah itu tidak ada yang bersuara sampai mobil mereka menepi di depan rumah sakit, tempat dimana untuk pertama kalinya Haidar bertemu dengan cewek itu.
Saat sopir dan seorang wanita sintal yang diingatnya sebagai 'bibi' menyiapkan kursi roda dan membantu mengangkat tubuh cewek itu untuk duduk di atasnya, Haidar tak membantu banyak, cuma tangannya sesekali refleks terangkat dengan ekspresi khawatir, takut kursi rodanya jomplang seperti saat itu. Untungnya, enggak.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari perawat untuk mengobati luka Haidar. Yang langsung diarahkan ke ruang rawat umum.
Saat Haidar membuka jaket hitamnya, terlihat luka sepanjang lengan sampai ke atas siku, lumayan parah. Sebenarnya sedari tadi Haidar cukup sadar dengan darah yang membasahi lengan jaketnya, tapi dia biarkan. Dan entah mengapa, saat ini ia tertarik menjatuhkan pandangan pada gadis yang terlihat menahan nafas ngeri ketika melihat lukanya. Saat pandangan gadis itu beralih menatapnya dengan sorot cemas, Haidar hanya mengangkat bahu enteng. Seolah berkata, "kalem, aku rapopo."
Lalu ia biarkan perawat membersihkan lukanya.
"Haidar," ucap cewek itu tiba-tiba.
Haidar segera mengerjap saat namanya dipanggil dengan nada lembut.
"Nama lo, Haidar Ranggasena?"
Pandangan Haidar mengikuti telunjuk yang mengarah pada d**a kanannya. Ahh, name tag di seragam almamaternya.
"Iya."
"Shanin."
"Hm?"
"Nama gue, Shanin."
Sekali lagi, kelopak mata Haidar berkedip-kedip. Situasinya jadi terasa sedikit aneh. Baru kali ini dia diajak berkenalan saat tangannya lagi di perban. Tetapi ... Shanin, ya? Kedengarannya manis. Terus, apa? Haidar harus bagaimana meresponnya?
"Hai, Shanin," balas Haidar sambil tersenyum kikuk.
Begitu benar nggak, sih?
.
.
***
.
.
Di sebuah gudang yang tak terlalu besar, bercat kuning yang sudah terlalu lapuk dan banyak grafiti kata-kata kasar, dengan jendela sepanjang satu meter tanpa kaca, seseorang berhoodie hitam tampak duduk tenang memperhatikan coretan kertas di atas meja diiringi senyum miring yang tersungging misterius.
Di selembar kertas putih itu, ada empat nama tereja disana. Galaksi Bimasakti telah dicoretnya dengan tinta merah. Menyisakan dua nama terpisah dalam baris yang sejajar. Gabriel Alezander. Haidar Ranggasena. Dan satu nama di bawahnya, tepat di tengah-tengah nama mereka. Kaella Hadi Ranggasena.
Lelaki itu menarik garis menggunakan pena merah, menyambungkan nama Gabriel kepada Kaella. Lalu ia tarik pula garis dari sebelah nama Haidar menuju nama Kaella. Senyuman miring itu semakin melebar lalu perlahan berubah menjadi seringai. Inilah definisi sekali tepuk dua nyamuk mati.
.
.
***
.
.
Sepulang sekolah sore ini Kaella memang sudah berniat mengantar Mama ke bandara untuk penerbangannya ke Jerman. Seharusnya Haidar juga, tetapi sepupu lelakinya itu bilang sedang ada kerja kelompok —Kaella mana bisa percaya takhayul macam itu. Jadi hanya dia yang mengantarkan Mama.
"Kamu jangan males-malesan selama Mama nggak ada." Wejangan pertama saat Kaella menyalami tangan mamanya.
"Jangan kebanyakan main, jangan pulang larut." Pesan selanjutnya saat Kaella mencium pipi kanan dan kiri.
"Kalo bangun jangan kesiangan, entar telat mulu kamu ke sekolah. Pasti sering dihukum sama guru, ya?" Kaella hanya mengangguk saat memeluk mamanya.
"Itu Haidar bilangin jangan suka berantem. Kalau dia ada luka sedikit aja, kamu foto, kasih tau Mama."
"Siapp!" Amanat yang terakhir Kaella jawab dengan semangat.
Suara pemberitahuan keberangkatan pesawat menuju Jerman terdengar dan Mama bergegas, Kaella melambaikan tangan. Setelah memastikan sang ibu benar-benar menghilang, Kaella pergi keluar menuju tempat dimana mobilnya di parkir. Iseng, ia menelepon Gabriel. Kali saja cowok itu lagi senggang, dan Kaella bisa mengajaknya nonton bareng.
"Eh, wait, kayak kenal?" Seseorang menahan tangan Kaella yang akan masuk ke mobil. Mau tak mau cewek itu memutar badan. Pemuda tinggi dengan kaus navy dan topi hitam berdiri di depannya. Kaella sedikit familiar dengan wajahnya, namun tidak begitu ingat.
"Kaella, ya kan?"
Kaella mengerjap, mencoba mengingat. "Gilang?" tebaknya. Seketika pemuda itu tertawa.
"Njir, sejak kapan nama gue berubah jadi Gilang? Langga, Kael. Airlangga. Kafe, ingat?"
"Oh, iya!" Akhirnya Kaella mengingat lelaki yang pernah ditemuinya di kafe malam itu saat bersama Sera. Kaella tidak lupa, karena itu adalah malam dimana dia baikan lagi sama Gabriel.
"Well, dari sekian banyak tempat, nggak nyangka sih kita bisa ketemu disini. Nganter? Atau jemput?"
Dari gaya dan cara bicaranya, sebenarnya Langga ini bisa masuk kategori orang yang supel dan enak kalau diajak ngobrol, pasti bakal nyambung kalau nongkrong sama dia. Tetapi maaf, Kaella tidak minat untuk bercakap-cakap. Daripada humble, bagi Kaella tuh lebih ke ... so' asik.
"Nganter," jawab Kaella sekenanya. Lalu terdengar halo dari sambungan panggilan, Gabriel mengangkat teleponnya.
"Sama dong, gue juga, nganter bokap. Lo?"
"Kael, suara siapa?"
"Bukan siapa-siapa," Kaella menjawab Gabriel. Tetapi Langga malah mengernyit heran.
"Bukan siapa-siapa, tapi lo anter ke bandara?"
"Itu suara cowok."
Kepala Kaella mendadak pening. Tanpa sadar mendesis sambil melotot pada Langga, dan cowok itu mengernyit semakin dalam. Kaella menunjuk ponselnya untuk memberitahu kalau dia sedang menelepon. Barulah Langga membulatkan mulutnya sambil mengangguk. Lelaki itu membuat gerakan mengunci mulut.
"Lo lagi sama siapa?"
"Dibilangin bukan siapa-siapa. Cuma orang yang lagi lewat. Gue mau ngajak lo nonton, yuk?" Kaella segera mengalihkan pembicaraan. Jika pembahasan ini berlanjut, ekspresi wajah sangar Gabriel langsung terbayang di pikiran Kaella.
Gabriel tidak langsung menjawab. "... Gue ada urusan."
Harapan di wajah Kaella sirna seketika. "Jangan bilang mau berantem?"
"Nggak, bukan. Pesta peresmian. Sesuatu yang membosankan."
Tetapi ekspresi kecewa Kaella tetap tidak hilang. "Weekend, Ega." Padahal Kaella sudah mau mematahkan pesan Mama tentang jangan pulang larut malam, tetapi sepertinya dia memang harus menghabiskan malam dengan rebahan.
"Gue tau. Gimana kalau besok?"
Kaella berdecak, tetapi hanya bisa menghembuskan nafas panjang. "Yaudah." Lalu ia menutup telepon. Dengan tanpa semangat Kaella bermaksud memasuki mobilnya untuk pulang. Sepenuhnya melupakan Langga.
"Wait."
"Hm?"
Langga tampak berpikir sebentar sambil menggaruk pucuk hidungnya. Agak menyayangkan pertemuan singkat ini. "Gue dengar lo mau nonton."
"Nggak jadi."
Lelaki itu terkekeh, terdengar menyebalkan di telinga Kaella.
"Gimana kalau nonton sama gue?" tawarnya mengangkat alis.
"Jahat nggak kalau gue jawab nggak berminat?"
Langga sontak terbahak. Kaella bahkan nggak pikir dua kali untuk menjawab. "Jahat," sahutnya. "Mekdi? Gue traktir. Biar nggak bete."
"Ck," Kaella jelas kelihatan masih bete. "Oke," akhirnya walaupun setengah tidak ikhlas.
Lalu Langga dan Kaella menaiki kendaraannya masing-masing ke tempat yang telah mereka sepakati. Duduk di meja dekat jendela setelah memesan dua beef burger serta orange fizz. Langga memesan satu mcflurry oreo, katanya khusus untuk memulihkan mood Kaella.
"Kalau lo berniat dekatin gue, gue kasih tau dari sekarang aja ya, gue udah punya gebetan," tutur Kaella setelah mendengar kalimat Langga yang terasa seperti merayunya.
Lagi-lagi Langga tergelak geli. "Emang harus ya, setiap cowok yang bersikap manis itu dianggap lagi ngincer? Gimana kalau kenyataannya ceweknya aja yang baper?"
"Baguslah kalau memang anggapan gue salah," Kaella mengaduk es krimnya.
Serius hanya makan di McDonald's. Karena setengah jam setelahnya Kaella memilih pulang meskipun Langga tidak putus asa menawarinya nonton berkali-kali. Kaella mau nonton, tapi bukan sama Langga. Dan juga, nyatanya ditraktir pun tidak menghilangkan badmoodnya.
"Thanks traktirannya."
Langga mengangkat bahu santai. "Lain kali mungkin bisa gantian," guraunya. Tetapi Kaella malah mengambil dompetnya untuk tidak merasa berhutang. Langga sudah tak menghitung berapa kali dia tertawa karena sikap Kaella yang selalu terlihat tidak santai. "Ya ampun. Lo baperan."
Kaella mencebik judes. "Nggak ada lain kali," tegasnya.
Langga cuma mengangguk-angguk. "We'll see."
Kaella memutar bola matanya. Dan mereka berpisah di parkiran. Ia melajukan mobilnya untuk pulang. Kali ini benar-benar pulang ke rumahnya.
Melihat pintu rumah yang sedikit terbuka, Haidar pasti sudah pulang.
Benar saja. Saat Kaella baru masuk rumah, ia melihat punggung Haidar sedang duduk di sofa, menonton siaran sepak bola.
"Cie, yang baru pulang kerja kelompok," sindirnya sambil berlalu ke kamar.
Terdengar balasan Haidar yang ngegas. "Gue serius kerja kelompok, Kael!"
"Gue lebih percaya pocong bisa kayang daripada lo kerja kelompok," sahut Kaella lalu menutup pintu kamar. Rupanya Haidar tidak terima, masih membalas ucapannya.
"Ap—Heh! Gue sumpahin lo beneran liat pocong kayang!"
.
.
***
.
.
Entah berapa kali Gabriel tersenyum saat dikenalkan dengan orang-orang berjas di pesta ini. Rasanya seperti memiliki wajah asing yang bukan dirinya sendiri. Dan itu memuakkan. Berjabat tangan, berbincang ramah, melakukan banyak hal palsu yang tidak Gabriel minati. Pergi adalah satu-satunya yang dia inginkan sekarang.
Namun melawan Jonathan Alezander bukanlah hal remeh yang bisa dia lakukan saat ini. Gabriel belum bisa bertindak sejauh itu. Lelaki itu hanya bisa menekan muak yang bercampur dengan pengar di kepalanya.
"Inikah Gabriel?" Seorang lelaki tua mendatangi Gabriel. Di sebelahnya, Jonathan dengan antusias menjabat.
"Abrizal. Haha. Tidak menyangka pria sibuk sepertimu datang juga. Ya, kenalkan Gabriel, penerusku." Jonathan menepuk-nepuk bahu Gabriel dengan bangga. Rasanya ingin memaki, namun Gabriel hanya bisa mendengus samar. Kemudian menjabat kenalan ayahnya seperti yang ia lakukan sejak tadi.
"Hebat, penerus yang gagah. Tetapi jangan salah, anak perempuanku juga bisa meneruskan bisnis, sebentar, mana Raleen?" Pria itu celingukan, lalu tak lama seorang gadis dengan gaun merah maroon selutut mendekat.
"Kue disini enak," ucap gadis itu sambil mengangkat potongan kue di tangan.
"Dasar rakus. Tolong jaga image anggunmu, Raleen," pria tua itu memperingatkan dengan gemas. Lalu tertawa. "Anak ini memang sedikit memalukan."
Lalu Jonathan ikut tertawa. "Orang tua kebanyakan akan berkata namanya juga anak-anak. Daripada memalukan, dia terlihat manis."
Tanpa sadar Gabriel mengepalkan tangannya. Manis? Kapan terakhir kali pujian itu sampai ke telinga Shanin? Gabriel bahkan tidak ingat apakah kata manis memang pernah terucap oleh ayahnya.
"Banyak yang bilang begitu. Oh ya, kalian belum saling mengenal? Raleen, mari berkenalan dengan keluarga Alezander, mungkin saja suatu saat kita akan menjadi lebih dekat. Benar?" Ucapan itu mengundang kekehan Jonathan.
"Kenalkan anak om, Gabriel."
Dengan mata membulat, gadis di depannya mengerjap terpana, lalu mengulurkan tangan. "Raleen."
Gabriel menjabatnya sebentar tanpa perlu menyebutkan namanya. Toh ayahnya sudah memberi tahu, kan? Lalu entah apa maksudnya, beberapa menit kemudian ia ditinggalkan berdua dengan gadis itu. Gabriel menghela nafas. Dia sungguh ingin pergi.
"Ah, kamu..." Gadis bernama Raleen tampak berpikir mencari obrolan.
"Gue nggak suka," ucap Gabriel dingin.
"M—maksudnya?"
Wajah tegas Gabriel menampilkan kedua mata tajamnya, menghunus lawan bicara dengan tatapan laser. Menilai dari atas sampai bawah, lalu berhenti pada satu titik dimana kebanyakan lelaki terfokus disana, d**a. Gabriel mendengus. Masih kalah jauh.
"Gue. Nggak suka lo," ucap Gabriel datar.
.
.
***