.
.
Gabriel:
Gue depan gerbang rumah lo.
Hampir saja. Hampir saja Kaella terjungkal di kasurnya ketika membaca pesan dari Gabriel. Nyawanya bahkan belum sepenuhnya sadar saat ponselnya berbunyi. Tegang, Kaella bangkit duduk dan kembali membaca pesan itu lamat-lamat. Lalu matanya melirik jam yang menunjukkan pukul satu dinihari. Ya ampun! Gabriel lagi nge-prank apa, ya? Nggak kira-kira deh tuh cowok.
Kaella:
Serius????
Gabriel:
Perlu gue ketuk pintu rumah lo biar percaya?
Definisi ganteng-ganteng otaknya seperempat kalau Gabriel sampai nekat mengetuk pintu rumahnya.
Kaella segera beranjak dari tempat tidur. Keluar mengendap-endap seperti maling, padahal di rumahnya sendiri. Saat menuruni tangga, langkahnya berhenti melihat televisi yang masih menyala. Nafas Kaella tercekat kala menemukan Haidar masih berada di sofa, namun sepertinya cowok itu ketiduran.
Menahan nafas dan melangkah serba hati-hati, Kaella segera menuju pintu untuk keluar. Setelah dengan amat pelan ia buka pintu dan berhasil keluar tanpa membangunkan Haidar, barulah nafasnya terhembus lega. Mata Kaella menyipit melihat mobil hitam yang terparkir tepat di depan rumahnya, persis seperti pesan Gabriel tadi.
Tuk! Tuk! Kaella mengetuk kaca mobil, sudah menyiapkan segala bentuk omelan yang akan diluncurkan kepada cowok ber-image galak di dalam mobil itu.
"Lo—"
Seribu kata-kata Kaella nyangsang di tenggorokan saat melihat penampilan Gabriel yang kusut. Cowok itu keluar dengan mata agak merah, lalu langsung memeluk Kaella saat itu juga. Jelas saja jantung cewek itu hampir copot.
"Ega!"
"Miss you."
Enggak. Kaella sama sekali enggak baper. Indera penciumannya mengendus bau alkohol, dan dia yakin Gabriel sedang mabuk.
"Lo mabok, ya?" Kaella berusaha melepaskan tangan Gabriel yang melingkari tubuhnya, bukannya berhasil, malah tambah erat. Cowok itu menggeleng di ceruk lehernya.
"Dikit."
Oke, sedikit mabuk. Dan cowok itu nekat menyetir mobil? Sepertinya Gabriel punya kenalan orang dalam yang bisa nyogok malaikat maut. "Berat, tau!" Lagian gila aja! Di depan rumah loh ini. Ada Haidar di dalam!
Baru setelahnya Gabriel melepaskan pelukan. Kaella baru sadar kalau pakaian yang dikenakan Gabriel terlihat formal —dan kusut. Mengingat lelaki itu bilang malam ini datang ke pesta, mungkin Gabriel tidak pulang dulu untuk berganti pakaian sebelum menemuinya. Tolong jangan hujat pikiran Kaella, tetapi melihat Gabriel dengan kemeja hitam seperti sekarang, Kaella nggak bisa nggak kepincut. Didukung muka tegas yang tampak sayu, aura dewasa lelaki itu mendadak luber di matanya.
"Katanya mau nonton. Ayo," Gabriel menarik tangan Kaella.
"Heh! Mana ada bioskop buka jam segini!" Geregetan bercampur geli, rasanya Kaella ingin menoyor dahi pemuda ini. Tetapi ya sudahlah, lagi mabuk kan, sedikit.
Gabriel tidak jadi menggiring Kaella. Namun sejurus kemudian lelaki itu kembali menarik tangannya. Tebak kemana? Ke rumah Kaella!
"Kalau gitu nonton di rumah lo aja."
Yasalam! Itu namanya menggali liang kubur sendiri! Haidar kan lagi tidur depan TV!
"Stress! Jangan, ih!" Sekuat tenaga Kaella menarik tangan Gabriel yang hampir menggapai kenop pintu. Menyeret paksa agar kembali ke mobil, menjejalkan tubuh tinggi itu ke kursi belakang, lalu Kaella berinisiatif duduk di kursi kemudi dan menjalankan mobil Gabriel. Kemana saja asal menjauh dari rumahnya.
Dari kaca kecil Kaella intip Gabriel yang duduk menyender sambil mengurut dahi. Melihat lelaki itu lumayan kacau, ia ragu kalau Gabriel hanya sedikit mabuk.
"Lo minum berapa gelas?"
"Lupa ... Dua?" sahut Gabriel tak yakin.
Kaella mengernyitkan dahinya heran. Dua gelas? Dan seteler ini? Seingatnya toleransi Gabriel terhadap alkohol itu lumayan tinggi. Bahkan dua gelas bagi Kaella pun hanya berefek sedikit pengar, enggak sampai mabuk.
"Dua botol ya?" tebak Kaella.
"Hm."
Kaella mendesis tak habis pikir. "Semembosankan itu dateng ke pesta?"
"Mungkin akan lebih baik kalau seandainya gue nggak sendiri."
"Memangnya ngarep siapa yang dateng? Gue?" Kaella tidak bermaksud geer, pertanyaan itu terucap tanpa pikir panjang. Tetapi Gabriel tidak menjawabnya.
Jakarta tidak pernah tidur. Kaella percaya itu. Buktinya masih ada saja kendaraan yang melintas di jam satu dinihari seperti sekarang, hanya saja jumlahnya berbeda jauh dengan saat siang hari. Sunyi, dan terasa lengang. Akhirnya mobil yang ia kendarai hanya terus berjalan tanpa arah tujuan.
"Kael," tiba-tiba Gabriel memanggil. Kaella kira lelaki itu tertidur karena sedari tadi hanya diam saja.
"Kenapa?"
"Kemana?"
"Nggak tau, jalan aja terus. Sampe bensinnya habis," jawab Kaella ngasal.
"Kael."
"Apa Ega?"
"Gue lapar."
Kaella terkekeh, sebenarnya tidak ada yang harus ditertawakan, tetapi kalau kalian kenal Gabriel yang sehari-harinya kayak vampire haus darah dan saat ini terlihat seperti anak kecil lupa jalan pulang, ini tuh lucu.
Kaella menepikan mobilnya dekat sebuah warung angkringan. "Tunggu bentar," titahnya sebelum keluar. Lalu Kaella menghampiri warung kecil itu, ada beberapa jenis gorengan hangat. Kaella niatnya mau beli itu, tetapi ingat kalau dirinya tidak membawa apapun, bahkan ponsel saja ia tinggal di kamar karena panik.
Sebelum berbalik untuk membawa dompet Gabriel, tahu-tahu cowok itu ada di belakangnya, memakaikan jas hitam ke pundak Kaella.
"Baju lo tipis."
Kaella jadi mengamati penampilannya. Kaus putih kebesaran dan celana pendek yang bahkan tertutup kausnya, juga sendal bulu warna hitam. Tidak terlalu seksi, cuma masalahnya... apa Gabriel tahu kalau dia tidak pakai daleman? Mendadak Kaella berdeham sambil merapatkan jas hitam itu.
Di waktu dinihari seperti sekarang, rupanya angkringan cukup ramai juga. Kaella melihat beberapa anak muda duduk tidak jauh dari tempatnya, saat salah satu dari mereka melirik dan mengedipkan mata, cewek itu buru-buru buang muka, menahan diri untuk tidak mengadu kepada Gabriel yang sedang khusyuk menyantap mie rebusnya.
Selesai dengan kebutuhan perutnya, sepertinya kesadaran Gabriel sedikit membaik —meski daritadi juga lumayan oke. Cowok itu ngotot menyetir. Jelas saja langsung ditentang oleh Kaella.
"Gini, nyawa lo cuma satu, kan? Nah, nyawa gue juga kebetulan nggak bisa diduplikat, jadi please, gue aja yang nyetir," Kaella menahan pintu depan yang sudah mau dibuka Gabriel.
"Tenang, aman."
Gigi lo aman!
"Jangan ngada-ngada deh, Ega."
"Lama-lama beneran gue cium disini ya, Kael," ancam Gabriel.
Barulah Kaella kicep. Dengan amat berat hati dia menduduki kursi penumpang, membiarkan Gabriel mengambil alih kemudi. Dalam hati Kaella hanya berharap tubuhnya tidak ada yang kurang satupun saat sampai di rumah nanti.
"Lo tidur aja, kayaknya masih ngantuk. Gue ganggu tidur lo, kan?"
Tidur dan membiarkan Gabriel menyetir sendiri dalam keadaan setengah sadar? Terus yakin nanti Kaella bisa bangun? Oh, terimakasih tapi kayaknya mata Kaella mendadak awas.
"Gue nggak ngantuk lagi, karena deg-degan lihatin jalan. Kalau lo meleng terus nabrak pembatas gimana? Nggak bisa bangun lagi entar gue."
"Gue bilang aman ya aman, Kael. Lo tidur aja. Lagian masih lumayan jauh."
"Bentar, emang mau kemana?"
"Gue lagi males pulang. Besok libur juga."
"So?"
"... Tidur aja."
Kaella memutar bola matanya. Gabriel adalah tipe orang yang kalau bertekad untuk tidak bicara ya sudah, tidak bisa dipaksa. Jadi Kaella memilih menyerah. Namun tetap saja matanya tidak bisa kembali pulas. Kaella memilih memperhatikan jalanan yang dilewati Gabriel.
"Tadi gue dikenalin sama anaknya teman bokap," tutur Gabriel setelah melirik Kaella yang ternyata tidak tidur. Cewek itu segera menengok.
"Cantik?"
"Ya."
Terdengar decihan. "Lo suka?"
"Enggak."
"Masa? Kan cantik."
Gabriel memelankan laju mobilnya, menengok pada Kaella yang juga menatapnya menunggu jawaban. Lalu mata tajamnya perlahan turun ke bawah, dan Kaella mengikuti arah pandang lelaki itu. Seolah mengerti isyarat pandangan itu, Kaella tertawa renyah.
"Dasar, semua cowok sama aja."
.
.
***
.
.
Mobil Gabriel menepi, ternyata lelaki itu membawanya ke puncak. Namun entah di bagian mana, Kaella tidak tahu. Yang jelas kendaraan itu berhenti dekat tebing yang tak terlalu curam, dan di bawahnya adalah hamparan kebun teh yang sekarang tampak gelap. Udara malam yang dingin segera menusuk kulit Kaella yang hanya terbungkus kaus tipis. Ia bahkan tidak berminat untuk keluar mobil.
"Dulu gue pernah kabur, dan nemuin tempat ini. Sebenarnya pemandangan disini cukup keren kalau siang."
"Harusnya lo bawa gue kesini pas siang aja," balas Kaella.
Gabriel hanya mengangkat bahu. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya. "Mau nonton apa?" tanyanya sambil melihat-lihat daftar film di aplikasi berbayar.
Kaella perhatikan wajah serius Gabriel yang sibuk dengan ponselnya, entah kenapa bibirnya tertarik untuk tersenyum. Sejak awal, Gabriel ini kekeuh banget menawarinya nonton. Apa cowok itu merasa bersalah karena sempat menolak ajakan Kaella tadi sore? Uh, jadi pengen peluk. Bagi Kaella, meskipun tidak diperlihatkan secara terang-terangan, Gabriel itu romantis dengan caranya sendiri.
"Gimana kalau ganti tawaran? Daripada nonton film, mending..." Kaella merentangkan tangannya. "Soalnya dingin."
Senyuman asimetris di wajah Gabriel segera terbit mendengar jawaban Kaella. "Kita cari villa aja kalau gitu."
.
.
***
.
.
Prang.
Tidak sengaja sebuah mangkuk kecil di atas meja tersenggol oleh tangan Kaella saat Gabriel mengangkat tubuhnya ke atas pantri. Saling menuntut sentuhan, kedua manusia itu bahkan tidak peduli dengan villa yang mereka buat berantakan. Dengan nafas menderu keduanya tak ingin saling melepaskan. Memagut semakin dalam, menyentuh semakin jauh.
Kemejanya telah tanggal, tato abstrak di bahu dan d**a kanan Gabriel terlihat. Ia biarkan Kaella menyentuhnya dengan sentuhan lembut nan menggoda. Menyusuri otot-otot perutnya, jemari lentik itu semakin turun ke bawah. Kaella menyungging senyum kepada Gabriel yang menatapnya bak rusa siap santap. Ck, memang, dalam hal menggoda, wajah itulah juaranya.
Tidak ada orang lain, malam itu hanya milik mereka berdua. Menyatu dengan cinta dan gairah. Gabriel biarkan suara-suara Kaella memenuhi ruangan. Lagipula, suara Kaella saat bercinta adalah favorite-nya.
.
.
****
.
.
Terbangun karena nyamuk yang menyedot darah sampai gemuk dan mati akibat geplakan keras, Haidar mengerjap terduduk sambil menggaruk pipinya. Lelaki itu menengok kanan kiri dengan lunglai. Televisi di depannya menampilkan sinema box office luar negeri. Ia meraih ponsel dan mengecek jam yang ternyata menunjukkan hampir pukul empat.
Rupanya dia ketiduran.
"Ck, si Kaella kebangetan banget. Bangunin kek, suruh pindah ke kamar kek. Sedih emang punya sepupu kejam macam begitu," gerutu Haidar. Ia mematikan televisi lalu masuk ke kamarnya sendiri.
Baru mendaratkan tubuhnya ke kasur, Haidar meringis ngilu karena luka di tangannya ketindihan. "Njir, sakit juga ternyata," ia mengelus-elus perban di lengan. Kali ini dengan hati-hati Haidar merebahkan tubuhnya, dan tertidur lagi.
.
.
***