.
.
Merasakan sinar matahari yang mengintip lewat jendela, perlahan mata Kaella terbuka meski masih terasa berat. Tangannya menepuk-nepuk tempat kosong di tempat tidur, lalu mengernyit. Padahal sebelum pulas, Gabriel masih memeluk erat di sampingnya. Sekarang lelaki itu sudah tidak ada dalam pandangannya.
"Ega?" panggilnya serak khas suara orang baru bangun tidur, tak ada jawaban.
Dengan gerakan lambat cewek berambut hitam sebatas d**a itu pun terduduk, melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul tujuh, lalu menghembuskan nafas lelah. Dia baru tidur tiga jam yang lalu ternyata. Inginnya sih balik lagi ke alam mimpi, tapi tidak melihat Gabriel ada di sekitarnya membuat cewek itu memilih untuk bangkit.
Sesaat mata Kaella menatap takjub ke sekeliling kamar. Pertanyaannya, apa yang telah ia lakukan bersama Gabriel sampai membuat sebuah ruangan berantakan dan layak dijuluki kapal pecah? Tetapi detik berikutnya bibir itu tertarik lebar. Tentu saja melakukan sesuatu yang menyenangkan. Gabriel dengan segala dominasinya tentu tidak mustahil untuk mengacak-acak semua yang mengganggu aktifitasnya.
Kaella mengitari villa yang lumayan luas itu untuk mencari sosok Gabriel, namun tetap tidak menemukan keberadaan cowok itu sehingga ia berniat untuk menelepon, tetapi kemudian hanya bisa mendesah karena dia ingat telah meninggalkan ponselnya di kamar.
Akhirnya gadis itu hanya duduk di balkon villa yang menghadap langsung ke hamparan perkebunan teh. Embun pagi masih menyamarkan pandangannya meskipun tidak terlalu tebal. Hawa sejuk menerpa kulit dan menembus kausnya yang tipis. Sejujurnya pemandangan ini amat memanjakan mata untuk ukuran orang metropolitan yang hari-harinya selalu dihadapkan dengan bangunan dan kemacetan. Tetapi Kaella tidak menyukai dingin. Lebih baik laut daripada gunung, pikirnya. Jadi tak berapa lama kemudian ia putuskan untuk kembali ke dalam.
Kaella duduk di sofa hitam panjang. Diam lama tanpa melakukan gerakan apapun. Hanya memandangi televisi mati di depannya. Kemudian ia menghela nafas.
Lapar.
"Egaaaaa!" seru Kaella kesal. Bisa-bisanya cowok itu pergi keluar sendirian dan meninggalkan Kaella sebatang kara tanpa uang dan makanan. Apakah ini salah satu trik percobaan pembunuhan berencana secara tidak langsung? Gabriel benar-benar deh.
"Apa?"
Suara berat itu membuat Kaella memutar badan ke belakang. Tubuh tinggi Gabriel yang terbalut kaus hitam muncul dengan menenteng dua kresek di tangan.
"Kemana aja? Keluar nggak ngajak-ngajak ih!" suara Kaella terdengar merajuk. "Laper kan."
Gabriel meletakkan kresek itu di atas meja lalu membuka salah satunya. "Tadi lo masih pulas. Gue beli bubur ayam sama baju buat lo ganti."
Mata Kaella berbinar melihat bubur ayam yang sedang dibuka Gabriel. Tangannya hendak melesat meraih sendok, tetapi Gabriel lebih dulu menghalaunya.
"Mandi dulu sana."
Bibir Kaella segera mengerucut. "Lapernya nggak nahan, Ega."
"Mandi."
Gabriel tuh.... Kaella menahan nafas ingin membantah. Tetapi mana bisa. Kalau ada survei on the spot mengenai tujuh kepala paling keras di dunia, sudah pasti Gabriel terdaftar sebagai nominasinya.
"Mandiin," Kaella mengangkat tangan. Namun tatapan datar Gabriel sudah menjawab sebagai penolakan, membuat cewek itu mendengus sebal.
"Ck," decakan Gabriel terdengar, bersamaan dengan jeritan Kaella yang tiba-tiba tubuhnya terangkat seperti karung beras di pundak lelaki itu.
"Gabriel sumpah ya! Turunin nggak! Gue bisa mandi sendiri!"
.
.
***
.
.
Sebenarnya tidak ada jadwal khusus yang akan Haidar lakukan di hari Minggu ini. Apalagi jika mengingat Tante Mirka -Mama Kaella, yang sedang liburan ngurusin bayi tua di Jerman sana, bangun siang adalah kebebasan mutlak yang bisa Haidar lakukan setiap saat. Tetapi entah mengapa jiwa kebo lelaki keturunan Jakarta-Bali itu hari ini sedang absen, dan sebuah keajaiban bagi Haidar saat matanya bisa melihat dunia di jam yang bahkan belum menunjukkan pukul delapan. Mungkin karena tadi malam ia tidur terlalu awal.
Dengan pandangan sayu lelaki itu beranjak menuju kamar mandi sambil melepaskan pakaian dan melemparnya asal ke lantai. Satu lagi keajaiban yang sedang terjadi di rumah itu adalah, Haidar mandi pagi di hari libur.
Selesai mandi dan membungkus kembali tubuhnya dengan kaus putih serta celana pendek selutut, Haidar mencomoti pakaian yang tadi dia lempar asal untuk kemudian ditaruh di keranjang cucian. Buang sendiri, comot sendiri, mandiri banget memang Haidar.
"Kaella belum bangun, Bu?" tanya Haidar saat keluar kamar, kepada Bu Har yang sedang mengepel lantai. Bu Har ini asisten rumah tangga yang selalu datang setiap Sabtu dan Minggu untuk membereskan rumah, tapi tidak menetap bersama karena memang AKAMSI, alias anak kampung sini.
"Belum liat, Dar," jawab wanita paruh baya itu kalem. Haidar mengangguk sambil berjalan ke meja makan.
Kosong.
Padahal perut Haidar sudah masuk kategori keroncongan. Terakhir dia makan tuh kemarin sore.
Pemuda jangkung itu menggaruk belakang telinga, matanya melirik Bu Har yang terlihat tidak terganggu walaupun lantai yang baru saja dia pel malah diinjak Haidar. Dengan canggung ia mendekat, ngode-ngode sambil berusaha merebut gagang pel.
"Ekhem, sini biar Haidar aja yang ngepel, Bu," Haidar berhasil merebut gagang pel dan mulai memaju mundurkan benda itu. Meskipun terlihat kaku, tapi sesungguhnya Haidar itu lebih rajin daripada Kaella, beneran deh.
Bu Har yang pekerjaannya diambil alih, sekarang tampak bingung. "Makasih, Dar."
"Heem, santai, Bu. Habis ini Ibu mau ngapain?" Haidar terus mengepel diiringi tatapan Bu Har.
"Nyuci baju."
"Ah itu mah entar sama Haidar aja. Hahaha. Terus ngapain lagi, Bu?"
Bu Har tampak berpikir sebentar. "Nyetrika seragam kamu sama Kaella."
"Oh ya ampun, itu mah Haidar bisa sendiri. Terus terus, apa lagi?"
"Nyiram bunga di taman belakang."
"Wih, Haidar jago tuh! Biar Haidar aja. Terus ngapain lagi?"
"Niatnya mau goreng ikan sama bikin sayur sop."
Kali ini mata Haidar berbinar. "Wah niat yang sangat mulia," katanya. Haidar berdeham. Tidak enak mau bilang bahwa dia kelaparan. Tetapi sepertinya Bu Har mengerti arti dari semua kebaikan tiba-tiba ini, wajah teduh itu kemudian tertawa.
"Kamu laper, Dar?"
"K-kok ... Ibu tau?" mata Haidar berkaca-kaca terpana. Bu Har yang melihatnya semakin geli.
"Bilang kek, biar Ibu masak dulu."
Haidar menggaruk rambutnya, satu tangannya masih memaju mundurkan gagang pel, yang sejak tadi masih disitu-situ saja.
"Tadinya Ibu pikir kamu bakal bangun siang kayak biasa, makanya mau masak agak siangan biar masih anget pas nanti mau pada makan. Tapi berhubung cah ganteng ini udah kelaperan, Ibu masak sekarang aja. Kamu duduk aja dulu sambil nonton TV, nunggu masakannya siap, Dar" kata Bu Har, kemudian berlalu ke dapur untuk memasak.
Melihat itu, Haidar makin semangat dengan gagang pelnya. "Pokoknya lantai ini kinclong pas Bu Har udah selesai masak. Janji!"
Lagi-lagi Bu Har terbahak mendengarnya.
Haidar terus mengepel sampai ke depan pintu kamar Kaella. Pemuda itu jadi berhenti sambil berkacak pinggang. "Kael! Lihat nih gue lagi ngapain, jangan bisanya lihat pas gue rebahan doang, giliran gue lagi beberes aja lo masih molor. Cih!"
Haidar menipiskan bibir sambil melanjutkan kegiatan bersih-bersih. Tentu saja kamar Kaella tidak dirambahnya. Ndak sudi!
.
.
***
.
.
Jungle Land.
Kaella terlihat girang ketika Gabriel mengajaknya ke tempat wisata yang berada di daerah Sentul itu. Langkahnya bahkan lebih lebar dari langkah Gabriel yang terkesan diseret-seret olehnya. Matanya menatap wahana-wahana yang ada disana. Kaella menunjuk ferrish wheel, bianglala besar yang ingin ia naiki.
"Naik itu dulu, yuk!"
"Pelan-pelan," Gabriel menahan tangan Kaella yang menariknya, membuat punggung cewek itu termundur menabrak dadanya. Barulah cewek itu nyengir, jalannya memelan namun tetap memimpin di depan.
Diam-diam Gabriel selalu memperhatikan ekspresi apa yang ditampilkan oleh cewek di depannya. Kaella tuh termasuk golongan orang yang tidak bisa berbohong dengan wajahnya. Kalau kecewa mukanya kelihatan bete, kalau bahagia cengirannya tidak pernah luntur. Entah mengapa rasanya betah memandangi wajah itu lama-lama. Kaella memang tidak menjerat dengan kepolosan, namun justru Gabriel dibuat mabuk kepayang dengan godaan-godaannya. She is a little b***h, but i like it.
Lumayan banyak pengunjung hari itu. Beberapa datang untuk menikmati akhir pekan dengan keluarga, ada pula yang sengaja datang berdua dengan kekasihnya, seperti Gabriel dan Kaella.
Eh, tapi kan mereka bukan sepasang kekasih...
Ini mungkin terdengar seperti b******n, tetapi Gabriel cukup nyaman dengan status mereka yang hanya begini. Lelaki itu belum merasa ingin orang lain mengetahui kehidupannya terlalu dalam. Ada beberapa hal yang tidak ingin Gabriel beberkan. Juga, sebenarnya dia merasa bahwa menjalin hubungan dengan seseorang berarti berani menyeretnya ke dalam masalah, yang mungkin bisa berbahaya.
"Kael."
"Hm?"
Terpaan angin yang menerbangkan helai rambut Kaella membuat Gabriel terpaku pada manisnya senyuman cewek itu.
"Lo senang?"
"Kelihatannya?" Senyuman itu semakin lebar sehingga menampilkan gigi rapih Kaella. Benar kan Gabriel bilang, wajah Kaella tidak bisa berbohong.
"Baguslah."
"Pertanyaannya gue balik, lo senang?"
"Hm."
Senyuman Kaella lenyap. "Hm? Apa itu hm?"
"Lo tadi nanya apa?"
"Tapi kan jawabannya iya apa enggak, bukan hm. Ck, jangan irit-irit kalau ngobrol sama gue. Gue nggak suka."
Padahal cewek itu juga tidak menjawab dengan iya ataupun tidak.
Gabriel berpindah posisi yang tadinya duduk di depan kini duduk di samping Kaella, menatap lekat mata bening itu. "Iya, gue senang. Gue selalu senang kalau lagi sama lo."
Blush.
Pipi Kaella pasti semerah tomat matang sekarang. Pertanyaan dalam otaknya sekarang begini, kalau gue cium ada yang lihat nggak, ya?
.
.
***
.
.
Selesai.
Haidar benar-benar menyelesaikan pekerjaan Bu Har —kecuali nyetrika, maaf, dia enggak bisa. Mengepel seisi rumah membuat lelaki itu sadar bahwa ternyata rumah ini lumayan luas juga. Belum lagi koleksi tanaman di kebun belakang, ya ampun, bahkan Haidar baru tahu kalau ada bunga matahari di belakang rumah. Buat apa Tante Mirka pelihara bunga matahari, sih? Bikin pabrik kuaci? Kurang bersyukur punya restoran gede. Ck ck.
Pemuda itu tergolek lemas di sofa dengan tangan merentang. Bulir-bulir keringat membasahi kaus putih yang ia kenakan. Padahal Haidar sudah mandi, tapi rasanya dia perlu mandi lagi.
"Kok belum makan, Dar?" Bu Har menengok Haidar yang masih terpejam di sofa, kemudian melirik pada sop hangat di atas meja makan yang belum disentuh.
"Oh iya, padahal laper ya," Haidar terkekeh, lalu beranjak mengambil piring dan menyentong nasi. "Bu Har nggak sekalian? Sini dah, makan bareng," tawarnya.
"Sebelum kesini tadi udah makan. Yaudah kamu habisin itu makannya," Bu Har menolak, memilih ke belakang untuk menyiapkan pakaian yang akan disetrika.
Haidar makan dengan tenang.
Menit menit berlalu, makanannya belum habis, namun perhatian Haidar teralihkan pada ponsel yang bergetar di saku celananya. Ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Disertai sebuah foto yang cukup jelas.
0812345xxxx:
*Sent a photo.
Gue lihat Kaella di Jungle Land. Tebak sama siapa?
Kunyahan Haidar terhenti seketika.
Ditatapnya serius foto itu, diperbesar berkali-kali. Ini memang Kaella. Dan pria yang berdiri di sampingnya...
"b*****t!"
Haidar bergegas ke kamar sepupunya, menerobos masuk tanpa mengetuk.
Kosong.
Tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan di ruangan itu, rahangnya mengeras, tak terasa tangannya mengepal kuat. Haidar murka.
.
.
***