.
.
Duduk di kursi mobil sambil menggigiti kuku jarinya, kelakuan Kaella mau tak mau mengundang kerutan di dahi Gabriel. Padahal sejak tadi menaiki banyak wahana di Jungle Land senyuman cewek itu selalu berkembang ceria seolah tidak ada yang dipikirkan selain bersenang-senang. Lalu di sore yang hampir menjelang malam ini, Kaella terlihat gusar saat Gabriel menancap gas untuk mengantarkannya pulang.
"Kenapa?"
Kaella melirik dengan ekor matanya. "Enggak papa."
Sudah menjadi rahasia umum dibalik jawaban nggak papa versi cewek artinya adalah apa-apa.
"Masih lapar?"
"Kenyang, Ega." Lagipula mereka baru makan sebelum akhirnya memutuskan pulang.
Bukannya Gabriel tidak mau berpikir, tetapi cewek dan segala kebungkamannya yang selalu ingin dimengerti cowok adalah sesuatu yang tidak bisa ia tangani dengan baik. Jadi Gabriel memilih membiarkan sampai Kaella cerita sendiri apa yang mengganjal di pikiran perempuan itu.
Gemas melihat cewek di sampingnya tak kunjung berhenti menggigiti kuku, Gabriel meraih tangan Kaella lalu ia kecup lama punggung tangan itu. "Mau gue bantu gigit?" tanyanya, yang belum sempat Kaella jawab pun Gabriel sudah menggigit jari-jari itu meski tidak sampai membuat sakit.
"Ega."
"Hm?"
"Lo anter gue ke rumah Sera aja."
Gabriel menjauhkan tangan Kaella dari wajahnya. "Kenapa?"
"Di rumah ada Haidar. Dia pasti udah tau gue nggak ada di kamar."
Ternyata itu yang membuat Kaella daritadi kepikiran.
"Terus kenapa?"
Kaella mendengus. Dia tahu Gabriel tidak bodoh, tetapi cowok itu memang suka menguji kesabarannya. "Lo bisa bayangin apa yang bakal terjadi kalau Haidar lihat lo nganter gue pulang?" Kengerian yang daritadi ada dalam bayangan Kaella tentang perang dunia kembali berputar. Bahkan Kaella tidak tahu harus berbuat apa kalau-kalau nanti Haidar dan Gabriel adu jotos di depan matanya.
"Kalem, biar gue yang ngomong," balas Gabriel enteng. Bahkan kalau ada timbangan untuk mengukur keentengan kapas dan omongan Gabriel barusan, jelas kapas akan kalah. Bola mata Kaella membesar.
"Maksud lo kalem?" nada suara Kaella tidak bisa untuk tidak meninggi. Seketika cewek itu terkena serangan panik. Melihat Gabriel dan Haidar bertatap muka adalah hal terakhir yang diiinginkan Kaella.
"Kael, ini bukan sesuatu yang besar dan harus ditutupi, kenapa harus panik?"
Kenapa harus panik?!? Iya, kenapa harus panik? Kenapa harus panik melihat dua bosgeng menyeramkan yang saling bermusuhan dipertemukan dalam sebuah kisah dimana Kaella ada di dalamnya menjadi sepupu dan gebetan dua manusia itu? Ha-ha-ha. YA PANIKLAH MASA ENGGAK!
"Gue bahkan lebih panik lo ketemu Haidar daripada lo nyetir dalam keadaan mabok kayak tadi malem," ujar Kaella, sepertinya kepalanya mendadak nyut-nyutan.
Gabriel mengelus lembut tangan Kaella, tersenyum geli. "Hubungan gue sama Haidar bahkan lebih romantis dari yang lo kira. Jadi, tenang, oke?"
Terdengar kurang meyakinkan, tetapi Kaella menjadi sedikit rileks berkat Gabriel yang terus mengelus tangannya sambil sesekali mengecup disana. Bahkan saat Kaella mengamati raut wajah Gabriel untuk menemukan kegentaran, ia tidak menemukannya. Lelaki itu terlihat tenang. Atau mungkin Kaella saja yang tidak pandai membaca ekspresi datar Gabriel?
Ketika mobil menepi dan Haidar terlihat berjongkok di depan rumah, punggung Kaella seketika menegak. Dengan aura segelap itu, Kaella pastikan Haidar memang sengaja menunggunya pulang. Tapi kenapa? Apa Haidar tahu kalau dia keluar sama Gabriel? Adakah anak buah Haidar yang memergoki mereka saat di Bogor tadi? Memikirkannya saja membuat nafas Kaella sesak.
Kaella menahan Gabriel yang akan membuka seatbelt. "Jangan keluar, lo langsung pulang aja," perintah Kaella. Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk kalau Gabriel sampai berhadapan dengan Haidar. Apalagi melihat Haidar segera berdiri ketika mobil yang ditumpangi Kaella ini berhenti.
Gabriel mengangkat alis. "Kayaknya lo tegang. Sini, tangan lo mau gue cium depan dia?"
Sinting!
Kaella memejamkan mata, geregetan. Pusing sekali menghadapi dua anjing gila sekaligus.
Setelah membuang nafas kasar, Kaella akhirnya memutuskan keluar dari mobil disusul oleh Gabriel. Segera ia dekati Haidar yang rahangnya sudah mengeras. "Gue bisa jel—"
Namun fokus Haidar bukan Kaella, melainkan cowok yang berada di belakangnya. Tak terelakkan, satu pukulan mendarat keras di pipi Gabriel kala Haidar melewati Kaella begitu saja.
"Haidar!" Kaella cepat menghalau dengan tangannya, lemah, tentu saja. Tetapi Haidar tidak akan sampai tega mendorong sepupunya meski sedang dalam mode ingin makan orang. Gabriel di belakang Kaella menyentuh ujung bibirnya yang robek, mendecih ketika matanya saling bersibobrok dalam kebencian dengan Haidar.
"Untuk ukuran pukulan tangan kiri yang lagi diperban, lumayan. Nilainya, dua setengah," ujar Gabriel seolah sengaja menyulut api agar semakin membesar. Kaella yang berada di tengah-tengah mereka bahkan meneguk ludah sekaligus ingin melemparkan Gabriel ke mobil dan menendangnya pergi sekarang juga. Serius, diantara seribu kata perdamaian, kalimat itu yang malah diucapkan Gabriel di suasana tegang seperti sekarang?
"Lo mau yang nilainya sepuluh? Maju, jangan sembunyi di balik ketek cewek."
Kampreeeeeet! Kaella mau bunuh diri aja rasanya.
Gabriel tersenyum, entah senyuman mengejek atau tengah menyembunyikan emosi. "Lo pikir dua setengah dari sepuluh? Enggak, dua setengah, dari seratus."
Tangan Haidar terkepal semakin kencang. Gatal sekali untuk segera melayangkan tinjunya. "Kael, minggir," titahnya dengan nada menusuk. Mata elangnya tak pernah berpisah dengan pandangan sengit Gabriel.
"Enggak! Sebelum salah satu dari kalian pergi, gue nggak bakal minggir," tolak Kaella tegas sambil semakin merentangkan kedua tangannya. Tidak ada yang tahu kalau Kaella juga sebenarnya gemetar. Salah salah dia yang kena bogem. Cewek itu hanya berpegang pada keyakinannya bahwa baik Gabriel ataupun Haidar tidak ada yang akan melukainya. Berdo'a saja semoga memang benar begitu.
"Minggir, Kael. Apa lo melihat salah satu dari kita bakal pergi?" Haidar mendekat perlahan.
"Haidar, lo tau akibatnya kalau sampe gue aduin ke Mama bahwa lo berantem lagi," peringatan Kaella kali ini sanggup membuat langkah Haidar berhenti meski tidak meredakan emosinya.
Mencoba menelan segala amarah yang bercokol di dadanya, Haidar memejamkan mata beberapa saat. "Masuk lo," ujarnya pada Kaella sebelum ia sendiri berbalik memasuki rumah.
Kaella akhirnya bisa menghirup nafas lega meski hanya sesaat, setidaknya pertumpahan darah berhasil ia gagalkan, walaupun nantinya harus memutar otak untuk interogasi kepulangannya bersama Gabriel.
Gabriel.
Kaella memutar tubuhnya cepat, menatap jengkel pada cowok itu. Padahal sebelumnya lelaki itu belagak seolah bisa mengatasi keadaan gawat. Bullshit.
"Emang nggak ada yang beres kalian berdua tuh!" omelnya lalu masuk ke rumah tanpa mempedulikan Gabriel lagi.
Baru menutup pintu rumah dan berniat langsung ngumpet ke kamar, Haidar sudah berdiri menyender di pintu kamarnya dengan tangan terlipat, matanya dingin tapi sarat akan emosi. Tentu saja Kaella tidak bisa melarikan diri. Dengan langkah berat ia mendekat.
"Jelaskan."
"Apa?"
"Semuanya."
"Enggak ada ap—"
Haidar segera mengangkat ponselnya tepat ke wajah Kaella. Foto Kaella di Jungle Land tadi bersama Gabriel. Detik itu juga kaki cewek itu tambah lemas. Mati udah.
"Itu bukan cuma kita berdua, kok!" Meski jelas tidak ada gunanya mencari alasan, tetapi setidaknya Kaella tetap harus mencoba.
"Oh ya?"
"Hm! Ada Sera juga, ada Titian, banyak lah pokoknya. Itu juga enggak sengaja ketemu. Kita enggak janjian, ketemu gitu aja. Lo tau kan, itu tempat umum, semua orang bisa ketemu disana."
"Terus dari sekian banyak orang yang enggak sengaja ketemu di tempat umum dan lo ketemu Gabriel, kalian jalan berdua bahkan pulang berdua? Dari sekian banyak orang, Kael. Gabriel? Kenapa harus sama Gabriel?"
Kaella memijit keningnya, pusing beneran. "Gue juga heran, dari sekian banyak orang, kenapa musuh lo mesti Gabriel?" lirih Kaella terdengar putus asa.
Pemuda itu bergeming menatapi wajah lelah Kaella. Haidar memang jahil pada sepupunya, tapi dia enggak jahat. Melihat bagaimana Kaella terlihat hopeless begini, dia tidak tega juga. Air muka keruhnya perlahan menyusut, urat-urat emosinya mulai mengendur.
"Beneran cuma kebetulan, kan?"
"Iya," Kaella tidak enak menatap Haidar.
Terdengar helaan nafas. "Ya udah." Haidar menyingkir dari hadapan Kaella. "Mandi sono. Ketek lo bau."
Menyebalkan.
"Heh," panggil Kaella, membuat Haidar yang sudah turun tangga jadi berbalik lagi. "Lo tuh kalau mau berantem seenggaknya ngotak dikit. Nonjok orang pake kaus oblong sama kolor begitu lo pikir keren? Malu-maluin gue banget sih!" cibir cewek itu sebelum menutup pintu kamar dengan sebal.
Haidar hanya diam berkedip, lalu mengamati penampilannya. Biasa saja, meski menurut Kaella lebih pantas jadi gembel daripada bosgeng.
.
.
***
.
.
Rumah bukan tempatnya untuk pulang. Gabriel tidak merasakan arti pulang sesungguhnya disana. Tidak ada tempat untuk menaruh lelah atau sekadar meringankan bebannya. Tidak ada rasa hangat di tempat yang selalu bernuansa dingin. Andai bukan karena ingin mengikuti perkembangan kesehatan Shanin, mungkin sudah sejak lama Gabriel enyah dari rumah dan mencari apartemen atau tempat tinggal lain daripada harus berhadapan dengan ayahnya. Dia paling malas harus berhadapan dengan pria tua itu. Seperti sekarang. Begitu ia memasuki rumah, sapaan dingin menggema masuk ke telinganya.
"Baru pulang setelah menghilang di pesta peresmian dan bahkan meninggalkan Raleen sendiri. Hebat, Gabriel. Tingkah memalukanmu sudah seperti orang yang punya segalanya."
Jonathan Alezander duduk di sofa tunggal dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, matanya terlihat fokus memantau pekerjaan melalui tablet. Gabriel diam sebentar di tempatnya, selanjutnya melanjutkan langkahnya tak peduli.
"Perhatikan kelakuan kamu jika masih ingin memiliki masa depan, Gabriel. Jangan menjadi tidak berguna seperti adikmu."
Rahang Gabriel mengeras, ingin sekali berbalik dan menghancurkan segalanya di depan pria sombong itu, namun semuanya jelas sia-sia dan hanya akan mendengar ucapan menjengkelkan lainnya. Ia memilih tetap mengabaikannya. Satu-satunya yang Gabriel lakukan hanyalah membanting pintu kamarnya.
Sepertinya pulang adalah pilihan yang salah.
Sedangkan di rumah yang sama namun di ruangan yang berbeda, di salah satu kamar tempat dimana gadis itu masih membuka mata dan mampu mendengar ucapan ayahnya, bibir Shanin terkatup rapat walau hatinya terasa amat nyeri mendengar kalimat itu. Tidak berguna.
Iya.
Toh dia memang tidak berguna.
.
.
***
.
.
Mau pura-pura tidak peduli pun, nyatanya Haidar kepikiran juga. Perkara Kaella yang pulang bareng Gabriel tadi sore ternyata membuat isi kepalanya penuh asumsi. Meski sepupunya itu berkata pertemuan mereka hanyalah kebetulan, tetapi Haidar tak mudah percaya ada kebetulan seperti itu. Gabriel dan dirinya adalah musuh. Dan Kaella adalah sepupunya. Situasi kebetulan macam apa yang mempertemukan musuh dan sepupunya dalam satu tempat tanpa rencana?
Jika nanti sampai Haidar tahu kalau Gabriel ingin menghancurkannya lewat Kaella, maka jangan halangi Haidar yang akan menjadi perantara malaikat maut untuk mencabut nyawa b******n itu.
"Sialan," desis Haidar memukul setir. Gara-gara di rumah kepikiran terus, dia jadi ingin cari angin segar. Tetapi motornya ada di Kelana, akhirnya Haidar keluar pakai mobil Kaella. Membawa kendaraan roda empat itu tanpa arah.
Entah kemana.
Lalu berhenti di bahu jalan.
Pikiran kalut di kepalanya membuat Haidar bersandar seraya memejamkan mata, mencoba agar lebih rileks.
Setelah beberapa menit merasa lebih baik, pemuda itu tersadar sesuatu.
Bahwa Haidar menepikan mobilnya di dekat rumah sakit. Dia tertegun lama. Tanpa sadar mengecek keningnya, kali saja dia meriang. Sehat, kok.
Haidar terdiam lagi. Mencari alasan tentang mengapa ia harus berhenti di tempat yang dipenuhi orang sakit.
"Hahaha," tawa renyahnya terdengar pelan.
Jadi begitukah?
.
.
***